Perhelatan gerejawi Sidang MPL Sinode GPM
tahun 2012 kian dekat. Dapat dibayangkan bahwa kesibukan pun meningkat
mempersiapkan segala sesuatu untuk dipertanggungjawabkan, dilaporkan,
dievaluasi, dan dipercakapkan untuk tindak lanjut dari seluruh proses
menggereja pada semua lini pelayanan. Ada kekecewaan secara pribadi
karena saya tidak bisa terlibat dalam peristiwa tersebut. Saya beberapa
kali mengikuti persidangan MPL (dulu: BPL) tapi kekecewaan kali ini
semata-mata karena tidak bisa menginjakkan kaki di Klasis Pulau-pulau
Babar. Sesuatu yang sudah lama menjadi kerinduan tapi belum terwujud.
Penyelenggaraan Sidang MPL Sinode GPM tahun 2012 di Klasis Babar tentu memiliki makna substansial dan strategis. Makna substansialnya terletak pada konteks geografis dan kebudayaan jemaat-jemaat GPM di kepulauan Babar. Jika menggunakan lensa “pusat-pinggiran” (centre-periphery) maka secara geografis gugusan pulau-pulau ini berjarak sangat jauh dari kota/pulau Ambon yang selama ini selalu dilihat sebagai “pusat” (pemerintahan, pendidikan, modernitas, dll). Perspektif tersebut berimplikasi pada menguatnya gerakan menuju “pusat” dalam bentuk urbanisasi. Gerakan menuju “pusat” itu memperlihatkan bahwa konteks sosiobudaya Babar lebih dikonotasikan sebagai “[ter]pinggir[k]an”.
Konotasi “[ter]pinggir[k]an” sudah lazim dalam wacana pembangunan sejak zaman kolonial hingga era kemerdekaan politik sekarang di Indonesia. Konotasi tersebut dengan segera mencuatkan pencitraan tentang “ketertinggalan”, “keterbelakangan”, uncivilized, yang selalu kontras dengan citra modernitas pada “pusat”: melimpahnya fasilitas publik yang memberi kenyamanan dan efisiensi pada warganya. Dengan demikian, perspektif tentang konteks geografis sedemikian pada gilirannya memengaruhi cara pandang kita tentang kebudayaan masyarakatnya, yang juga dianggap [ter]pinggir[k]an.
Sudah cukup lama saya mendengar istilah “blakang tana”. Sejauh saya tahu, ketika disebutkan istilah itu menunjuk pada situasi sosial dan budaya seseorang atau sekelompok orang yang berasal dari wilayah yang jauh dari Ambon. Biasanya itu ditujukan kepada “orang-orang Tenggara”, suatu istilah lain lagi yang bernada pejoratif ketika dikontraskan dengan situasi sosial “orang Ambon” dan budaya “adiluhung” Ambon (yang terbukti kemudian hanya penjiplakan setengah-hati budaya kolonial Belanda). Penamaan tersebut merupakan reproduksi pencitraan patron-klien yang diciptakan oleh pemerintah kolonial (terutama Belanda) yang menggunakan strategi segregasi sosiobudaya demi memudahkan pelestarian hegemoni kolonial. Hingga kini pun kita masih bisa melihat dan mendengar pelestarian hegemoni kolonial tetap berlanjut dalam ingatan kolektif dan konstruksi identitas masyarakat dan jemaat kita.
Lantas, apa makna strategisnya? Euforia pemekaran wilayah (kabupaten), termasuk kabupaten Maluku Barat Daya, tentu berdampak ekonomis dan politis yang signifikan bagi proses-proses sosial di Babar. Sudah menjadi opini umum bahwa sebagian besar proses pemekaran wilayah berujung pada keretakan relasi-relasi sosial, bahkan konflik yang berdarah-darah. Wilayah dan komunitas yang semula diagung-agungkan memiliki keharmonisan dan kesatuan hidup, tiba-tiba berubah menjadi kubu-kubu politik identitas yang saling mendaku memiliki otoritas melebihi yang lain.
Parpol-parpol yang mengusung ide pemekaran wilayah saling berbenturan kepentingan politik sehingga tidak lagi fokus pada penguatan fondasi sosiobudaya pasca-pemekaran untuk menentukan prioritas dan strategi pembangunan yang menjadi idealnya semula. Apa yang tampak menguat hanyalah kontestasi kekuatan-kekuatan politik yang mencari celah-celah kesempatan memperkuat posisi kelompoknya sendiri sembari tak peduli pada tujuan-tujuan politik bagi kepentingan rakyat bersama.
Dalam kekalutan situasi politik semacam itu – terbuka maupun terselubung – ada harapan-harapan yang ditujukan kepada institusi-institusi keagamaan (baca: gereja) agar memainkan peranan politik secara strategis. Politik di sini baiknya dipahami dalam pengertian yang luas, sebagai upaya mengelola relasi-relasi kekuasaan dalam masyarakat untuk mencapai tujuan ideal bersama sebagaimana telah disepakati (konsensus). Dalam konteks sedemikian, gereja (GPM) tidak punya pilihan lagi selain terlibat aktif dalam pengelolaan relasi-relasi kekuasaan agar berjalan seturut dengan visi dan misi menggerejanya. Di sini gereja memerlukan strategi yang bersifat dialektis antara misi teologis dan misi sosiologis/politis. Gereja tidak bisa menghindarinya sebagai pelarian dari tanggung jawabnya.
Bagaimanakah makna substansial dan makna strategis ini dimanifestasikan selanjutnya? Tentu bukan kewenangan saya untuk mengelaborasinya lebih lanjut dan lebih dalam. Setidaknya catatan ini hanya menjadi semacam “lampu kuning” agar percakapan selama sidang MPL tidak hanya menjadi retorika basi atau pepesan kosong. Dana miliaran rupiah yang digelontorkan untuk penyelenggaraan sidang ini mesti menjadi pusat keprihatinan bahwa di baliknya ada tangan-tangan kurus yang memberi dengan hati penuh cinta kepada gerejanya; ada perut-perut kelaparan saat menyuguhkan makanan kepada peserta sidang; ada tangisan-tangisan menyayat hati di balik tawa saat melayani kebutuhan peserta persidangan; ada keinginan tak terucapkan saat mendengar para peserta bicara tentang program pelayanan; dan ada persoalan besar yang tidak terelakkan – “Apa yang kami (jemaat) terima setelah semua ini usai?”
Selamat berlayar dan bersidang!
Penyelenggaraan Sidang MPL Sinode GPM tahun 2012 di Klasis Babar tentu memiliki makna substansial dan strategis. Makna substansialnya terletak pada konteks geografis dan kebudayaan jemaat-jemaat GPM di kepulauan Babar. Jika menggunakan lensa “pusat-pinggiran” (centre-periphery) maka secara geografis gugusan pulau-pulau ini berjarak sangat jauh dari kota/pulau Ambon yang selama ini selalu dilihat sebagai “pusat” (pemerintahan, pendidikan, modernitas, dll). Perspektif tersebut berimplikasi pada menguatnya gerakan menuju “pusat” dalam bentuk urbanisasi. Gerakan menuju “pusat” itu memperlihatkan bahwa konteks sosiobudaya Babar lebih dikonotasikan sebagai “[ter]pinggir[k]an”.
Konotasi “[ter]pinggir[k]an” sudah lazim dalam wacana pembangunan sejak zaman kolonial hingga era kemerdekaan politik sekarang di Indonesia. Konotasi tersebut dengan segera mencuatkan pencitraan tentang “ketertinggalan”, “keterbelakangan”, uncivilized, yang selalu kontras dengan citra modernitas pada “pusat”: melimpahnya fasilitas publik yang memberi kenyamanan dan efisiensi pada warganya. Dengan demikian, perspektif tentang konteks geografis sedemikian pada gilirannya memengaruhi cara pandang kita tentang kebudayaan masyarakatnya, yang juga dianggap [ter]pinggir[k]an.
Sudah cukup lama saya mendengar istilah “blakang tana”. Sejauh saya tahu, ketika disebutkan istilah itu menunjuk pada situasi sosial dan budaya seseorang atau sekelompok orang yang berasal dari wilayah yang jauh dari Ambon. Biasanya itu ditujukan kepada “orang-orang Tenggara”, suatu istilah lain lagi yang bernada pejoratif ketika dikontraskan dengan situasi sosial “orang Ambon” dan budaya “adiluhung” Ambon (yang terbukti kemudian hanya penjiplakan setengah-hati budaya kolonial Belanda). Penamaan tersebut merupakan reproduksi pencitraan patron-klien yang diciptakan oleh pemerintah kolonial (terutama Belanda) yang menggunakan strategi segregasi sosiobudaya demi memudahkan pelestarian hegemoni kolonial. Hingga kini pun kita masih bisa melihat dan mendengar pelestarian hegemoni kolonial tetap berlanjut dalam ingatan kolektif dan konstruksi identitas masyarakat dan jemaat kita.
Lantas, apa makna strategisnya? Euforia pemekaran wilayah (kabupaten), termasuk kabupaten Maluku Barat Daya, tentu berdampak ekonomis dan politis yang signifikan bagi proses-proses sosial di Babar. Sudah menjadi opini umum bahwa sebagian besar proses pemekaran wilayah berujung pada keretakan relasi-relasi sosial, bahkan konflik yang berdarah-darah. Wilayah dan komunitas yang semula diagung-agungkan memiliki keharmonisan dan kesatuan hidup, tiba-tiba berubah menjadi kubu-kubu politik identitas yang saling mendaku memiliki otoritas melebihi yang lain.
Parpol-parpol yang mengusung ide pemekaran wilayah saling berbenturan kepentingan politik sehingga tidak lagi fokus pada penguatan fondasi sosiobudaya pasca-pemekaran untuk menentukan prioritas dan strategi pembangunan yang menjadi idealnya semula. Apa yang tampak menguat hanyalah kontestasi kekuatan-kekuatan politik yang mencari celah-celah kesempatan memperkuat posisi kelompoknya sendiri sembari tak peduli pada tujuan-tujuan politik bagi kepentingan rakyat bersama.
Dalam kekalutan situasi politik semacam itu – terbuka maupun terselubung – ada harapan-harapan yang ditujukan kepada institusi-institusi keagamaan (baca: gereja) agar memainkan peranan politik secara strategis. Politik di sini baiknya dipahami dalam pengertian yang luas, sebagai upaya mengelola relasi-relasi kekuasaan dalam masyarakat untuk mencapai tujuan ideal bersama sebagaimana telah disepakati (konsensus). Dalam konteks sedemikian, gereja (GPM) tidak punya pilihan lagi selain terlibat aktif dalam pengelolaan relasi-relasi kekuasaan agar berjalan seturut dengan visi dan misi menggerejanya. Di sini gereja memerlukan strategi yang bersifat dialektis antara misi teologis dan misi sosiologis/politis. Gereja tidak bisa menghindarinya sebagai pelarian dari tanggung jawabnya.
Bagaimanakah makna substansial dan makna strategis ini dimanifestasikan selanjutnya? Tentu bukan kewenangan saya untuk mengelaborasinya lebih lanjut dan lebih dalam. Setidaknya catatan ini hanya menjadi semacam “lampu kuning” agar percakapan selama sidang MPL tidak hanya menjadi retorika basi atau pepesan kosong. Dana miliaran rupiah yang digelontorkan untuk penyelenggaraan sidang ini mesti menjadi pusat keprihatinan bahwa di baliknya ada tangan-tangan kurus yang memberi dengan hati penuh cinta kepada gerejanya; ada perut-perut kelaparan saat menyuguhkan makanan kepada peserta sidang; ada tangisan-tangisan menyayat hati di balik tawa saat melayani kebutuhan peserta persidangan; ada keinginan tak terucapkan saat mendengar para peserta bicara tentang program pelayanan; dan ada persoalan besar yang tidak terelakkan – “Apa yang kami (jemaat) terima setelah semua ini usai?”
Selamat berlayar dan bersidang!