Catatan singkat ini pertama-tama ditulis sebagai apresiasi atas
penghargaan Tannenbaum yang diterima oleh Pdt Jacky Manuputty
(selanjutnya: JM) beberapa waktu lalu di New York. Beberapa tahun lampau
saya sudah menulis refleksi singkat ketika menghadiri penganugerahan
Maarif Award kepada JM di Taman Ismail Marzuki Jakarta (lihat “Maarif
Award untuk Rakyat Maluku” dalam buku IMAN TIDAK PERNAH AMIN).
Kendati pemberian ini patut diberi penghormatan yang selayaknya, saya
tidak ingin terlalu berbuih-buih dengan pujian-pujian kepada JM.
Tegasnya, saya tidak ingin jatuh pada perangkap kultus individu secara
berlebihan tapi abai menangkap makna dari proses yang dijalani oleh JM.
Saya justru ingin melihat sisi lain yang sempat saya kenal dari
pengalaman berdialog dan bekerja bersama-sama JM hingga saat ini. Itulah
titik pijak saya untuk menuliskan sesuatu tentang pencapaian JM seperti
yang telah kita lihat melalui penganugerahan penghargaan bertaraf
internasional kepadanya.
Pencapaian JM tersebut tentu bukan sesuatu yang jatuh dari langit
begitu saja. Ini merupakan salah satu buah dari hasil kerja keras dan
konsistensi memperjuangkan sesuatu bagi kepentingan komunitas yang
diadvokasi oleh JM. Hal yang paling jelas dalam pengalaman saya bersama
JM adalah ketegasannya untuk tidak membeo pada capaian orang lain dan
kegigihan untuk menampilkan sesuatu yang orisinal, buah dari pemikiran
dan kreativitas diri. Prestasi orang lain menjadi acuan untuk menggarap
seluruh potensi diri dan menghasilkan sesuatu yang khas. Itulah yang
kemudian ditawarkan dalam proses belajar bersama dengan orang lain.
Orang lain – siapapun dia – tidak menjadi patron yang kepadanya kita
hanya “tunduk” dan “kagum” sambil bahkan setengah memuja, tetapi orang
lain menjadi mitra berpikir dan belajar untuk menemukan kapasitas diri
sendiri dalam berkreasi.
Mengikuti langkah-langkah panjang JM, bisa membuat kita
pontang-panting. Pernyataan ini bisa dibaca secara harafiah, karena saya
pernah mengikuti JM berjalan kaki usai menjadi juri lomba debat dan
lomba bertutur dalam dialek Ambon pada Jambore Anak se-Klasis Pulau
Ambon beberapa waktu lalu. Kami berdua berjalan kaki dari Seilale sampai
ke Amahusu. Anda bisa membayangkan kaki saya yang “imut-imut” ini harus
mengikuti langkah-langkah “raksasa” JM. Tidak bisa menyuruhnya berjalan
pelan-pelan, jadi terpaksa saya yang harus “gici-gici” mengikuti ayunan
langkah JM.
Pernyataan itu bisa juga dibaca secara interpretatif bahwa JM selalu
cenderung mengayunkan langkah-langkahnya dengan bentangan yang lebih
luas dan dengan kecepatan yang agak sulit diikuti oleh kaum “easy-going”
(suka santai). JM tidak pernah berhenti bergerak atau puas pada satu
“positioning”. Oleh karena itu selalu saja ada hal-hal yang dipikirkan
dan dilakukan untuk mengusik apa-apa yang dianggap orang lain sudah
mapan. Apa yang saya pelajari dari situ adalah kepekaan yang
terus-menerus diasah menanggapi realitas untuk menembus kemapanan dan
menghidupi realitas secara bergairah melalui ide-ide baru yang orisinal.
Ekspresi itu tampak dari keterlibatan JM dalam aktivitas seni tari
(koreografer) dan teater.
Jika JM memperoleh penghargaan sebagai “provokator perdamaian” maka
saya melihatnya sebagai sebuah kelayakan jika melihat bagaimana
konsistensi dan persistensi JM terlibat dalam aktivitas resolusi konflik
dan perdamaian selama konflik sosial Maluku sejak tahun 1999.
Pendekatan resolusi konflik dan perdamaian dengan berbasis pada
penguatan “local wisdom” dan jejaring internasional menjadi salah satu
karakteristik pendekatan JM. Menurut saya, JM tidak terlalu percaya
bahwa teori-teori konflik dan perdamaian pada level yang sangat abstrak
mampu meretas jalan perdamaian secara mumpuni. Ia tampaknya sangat yakin
pada kapasitas komunitas lokal dalam membangun mekanisme pertahanan
diri berbasis penyadaran kebudayaanlah yang sebenarnya menjadi fondasi
membangun kesadaran dan praksis perdamaian itu. Kritiknya terhadap
pendekatan formal oleh apparatus negara (sipil dan militer)
mengindikasikan bahwa masyarakat memiliki kemampuan mereka sendiri yang
selama ini mengalami pelumpuhan dan pembodohan demi kepentingan
[apparatus] negara itu sendiri.
Banyak narasi saya bersama JM. Tapi cukuplah sampai di sini. Narasi
reflektif singkat ini hanya ingin membuka sedikit celah kesadaran kita
bahwa belajar dari orang lain dan di tempat lain itu penting. Tetapi
“belajar” dalam arti sesungguhnya bukanlah membeo, bahkan hanya menjadi
subordinasi orang lain. “Belajar” – seperti yang saya pelajari dari JM –
adalah mengenal kapasitas diri sendiri, budaya sendiri, komunitas
sendiri (lokal) lantas itu menjadi titik berangkat untuk menawarkan
sesuatu kepada orang lain agar juga belajar dari diri kita sendiri. JM
sudah memperlihatkan bahwa dunia internasional belajar dari orang
Maluku. Itu berarti kita punya sesuatu dalam diri kita untuk kita
tawarkan sebagai model pembelajaran bersama masyarakat internasional.
Yang “Barat” (Western) tidak selamanya harus menjadi acuan pembelajaran
kita. Mereka harus juga belajar dari kita. Tentu dengan satu syarat
bahwa kita sungguh-sungguh mengenal siapa diri kita, bagaimana
kebudayaan kita sendiri, dan sejauh mana kita mampu mengelola kapasitas
budaya kita untuk dikenal orang lain, bukan sebagai “objek turisme”
belaka tapi sebagai mitra berpikir dan belajar.
Selamat untuk rakyat Maluku melalui penghargaan kepada bung Jacky Manuputty!
No comments:
Post a Comment