Saya rupanya termasuk orang yang “kurang beruntung” untuk menikmati kemegahan salah satu gereja di jantung Kota Ambon. Saya hanya “cukup beruntung” mendengarkan cerita-cerita dari mulut teman-teman atau kenalan atau orang lain yang kebetulan bersua tentang betapa megah-mewah gedung gereja tersebut. Kata mereka pula, sejak direnovasi makin banyak pengunjung yang beribadah setiap hari Minggu. Selain kursi-kursi lipat [empuk?] di dalamnya penuh sesak, jejeran mobil-mobil bermerek mahal pun memadati area parkir halaman gereja dan sepanjang badan jalan sekitar gereja. Namun, hingga kini teman-teman saya itu tak pernah bilang mengapa sampai terjadi lonjakan pengunjung ibadah Minggu di gedung gereja nan megah-mewah itu. Saya hanya bisa berandai-andai mungkin karena interior gereja yang makin nyaman membuat betah orang duduk berlama-lama di dalamnya; mungkin khotbah-khotbah para pendetanya juga kian menyala-nyala seiring bangunan gereja atau arsitektur mimbar yang makin kinclong; mungkin suguhan liturgi ibadahnya makin bervariasi mengikuti saputan cat elegan gereja; mungkin kemegahan gereja turut mendongkrak rasa “gengsi” kaum penikmat ibadah di situ; mungkin terbentuk semacam citarasa elitis jika tiap hari Minggu bisa beribadah di situ berbaur dengan para pejabat kota/provinsi; mungkin … [apa lagi ya?]. Begitulah, saya hanya bisa bilang “mungkin begini-begitu”.
Sebagai pendeta GPM yang menjalani ritual sidi tahun 1990an, pernikahan tahun 2001 dan penahbisan menjadi pendeta tahun 2008, gedung gereja ini punya nilai historis tersendiri bagi saya dan keluarga. Meskipun jujur saja saya sendiri pada waktu-waktu itu tidak terlalu mempertimbangkan aspek kemegahmewahan gereja itu sebagai faktor utama. Gedung gereja itu tetap punya cerita khusus dalam kehidupan pribadi saya. Sayang sekali, saat menatap gambar bangunan luar dan dalam pasca-renovasi saya seperti merasa teralienasi dari kesejarahannya. Bangunan itu terlampau megah menurut ukuran kacamata saya sebagai orang kampung[an]. Rasa “bangga” dan “citarasa elitis” serta-merta luruh dalam pandangan saya saat menyadari bahwa tampaknya saya bukan kaum bergengsi yang betah mengunjunginya dalam ritual mingguan.
Saat menatapnya saya sontak teringat gedung gereja berdinding gaba-gaba di Waikolo, sebuah kampung/jemaat kecil sekitar 8 km sebelum kota kecamatan Taniwel yang menjadi lokasi KKN saat masih menjadi mahasiswa tempo dulu atau bangunan gaba-gaba sejenis di Jemaat Rumberu atau bangunan semi-permanen berdebu di Jemaat Marantutul pedalaman Tanimbar Selatan atau di Jemaat Piliana di dataran tinggi Telutih. Daftar tersebut tentu masih bisa ditambah lagi sepanjang mungkin oleh rekan-rekan pendeta yang telah malang-melintang melayani beraneka konteks jemaat-jemaat di seantero wilayah pelayanan GPM. Apakah gambaran gedung gereja jemaat-jemaat GPM di luar kota Ambon separah itu? Ah, tentu saja tidak. Kalau kita berkeliling mengunjungi jemaat-jemaat GPM maka jelas tampak bahwa salah satu penanda atau landmark yang utama adalah gedung gereja dengan menara yang menjulang mengalahkan tinggi pohon-pohon kelapa milik anggota jemaat di sekitarnya. Bahkan sering dari kejauhan di tengah laut mata kita bisa melihat dengan jelas bangunan besar gereja di tengah-tengah perkampungan penduduk negeri/desa ditambah monumen salib berukuran raksasa. Namun, jelas juga bahwa umumnya gedung gereja itu hanya satu-satunya bangunan megah-raksasa di tengah-tengah rumah-rumah mungil nyaris reot warga jemaat di sekitarnya. Bisa ditebak bahwa tidak ada pejabat nasional atau artis terkenal yang tinggal di situ – paling-paling pejabat teras kecamatan yang kebetulan berasal dari kampung itu dan membangun rumah pribadi di situ.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa rata-rata dana pembangunan yang dibutuhkan biasanya melewati nominal 100jutaan. Malah, saya pernah mendengar ada yang menyundul angka fantastis 1Milyar. Luar biasa! Yang lebih mengagumkan adalah hampir sebagian besar merupakan swadaya anggota jemaat plus kerja keras panitia pembangunan gereja yang berusaha melobi sana-sini untuk bantuan dana tambahan. Sudah pasti yang tidak boleh dilupakan adalah “kuasa doa” ibu/bapa pendeta ketua majelis jemaat setempat. Kekaguman saya membuncah setiap kali mendengar cerita-cerita “heroik” di balik doa dan kerja keras jemaat dan pendeta untuk pembangunan gedung gereja yang “wah” itu. Tetapi juga terbersit kegetiran kala mendengar cerita-cerita “sendu” macetnya aliran dana atau “melesetnya” dana pembangunan gereja sehingga tidak tepat penggunaannya sebagaimana direncanakan semula. Begitulah, apapun resikonya kita (baca: jemaat dan pendeta) tetap merasa membutuhkan gedung gereja yang “representatif” (sebuah istilah yang lebih bernuansa eufemistik untuk menyebut megah dan bergengsi). Beberapa rekan pendeta bilang “gedung gereja” atau “rumah pastori” bisa dilihat sebagai prestasi buah karya mereka selama bertahun-tahun melayani di jemaat tertentu. Saya setuju dan salut! Saya sendiri tidak punya kemampuan sekaliber rekan-rekan pendeta di jemaat-jemaat.
Cukupkah? Sebagai sesama pendeta GPM, saya pasti bilang “tidak cukup”. Apanya yang tidak cukup? Nah, sampai pada pertanyaan ini kita bisa mengurai jawaban panjang lebar. Tetapi sebagai alumni pengasuh sekolah minggu latihan (semilat) di Talake dulu saya selalu suka penggalan syair salah satu lagu sekolah minggu yang berbunyi “gereja bukanlah gedungnya, tapi gereja adalah orangnya”. Kira-kira begitu. Syair sederhana tetapi maknanya menukik tajam pada esensi misi kristiani institusi-institusi gereja yang hidup di mana-mana termasuk di Maluku. Syair sederhana tetapi mengandung konotasi setajam silet yang mengiris pedis hakikat menggereja dalam konteks modern saat ini.
Orang Kristen yang saleh atau jemaat-jemaat Kristen di banyak tempat di dunia saat ini sedang menghadapi dua gelombang kembar yang dahsyat menggulung habis makna misi kristiani, yaitu [1] gelombang kapitalisme dan [2] gelombang konsumerisme. Kedua gelombang ini sangat dahsyat melibas eksistensi kemanusiaan modern. Kapitalisme melibas solidaritas dan menekuknya hanya sebatas relasi berbasis kepentingan mempertahankan kapital (modal) dan mengeruk keuntungan material sebagai upaya memenuhi hasrat keserakahan manusia yang tiada habisnya. Konsumerisme adalah “saudara-kembar” kapitalisme yang memberikan rasionalisasi tentang betapa pentingnya menerima kapitalisme seolah-olah sebagai cara untuk menjadi manusia sejati melalui pemenuhan libido ekonomi memiliki sebanyak mungkin barang sebagai penanda prestise kemodernan seseorang atau satu kelompok sosial. Materi atau barang pun seolah-olah bernyawa penuh pesona sehingga dikejar-kejar penuh nafsu birahi seolah-olah itulah satu-satunya penanda kemanusiaan sejati di era modern ini. Kedua “saudara-kembar” ini pun menggaet “saudara-sepupu” mereka sebagai mekanisme melepaskan hajat ekonomi secara leluasa, yaitu “utang”. Manusia modern kini mampu membeli dan memiliki apa saja dengan berutang melalui apa yang dengan citarasa bergengsi disebut “credit card”.
Apa salahnya berutang? Saya tidak ingin tergesa-gesa menyebutnya “salah” atau “benar”. Saya hanya ingin menunjukkan dua titik fatal berutang dalam sistem ekonomi kapitalis dan konsumeristik, yaitu [1] makin tergerusnya nilai kemanusiaan menjadi sebatas komoditas dan [2] makin menguatnya reifikasi atau pembendaan kemanusiaan dan relasi-relasinya. Dengan berutang maka relasi pemberi-penerima utang mengeras menjadi relasi dimana penerima utang diposisikan sebagai komoditas yang nasibnya tidak lagi ditentukan oleh dirinya sendiri (powerless) melainkan oleh orang lain yang dalam hal ini lebih berkuasa (powerful). Inilah yang jauh-jauh hari disinyalir oleh Martin Buber sebagai pergeseran relasi “I-Thou” menjadi “I-It”. Bersamaan dengan itu maka terjadilah reifikasi (pembendaan) kemanusiaan dan relasi-relasinya. Relasi-relasi kemanusiaan tidak lagi berlangsung secara organik tetapi makin mekanik karena tersusun dalam sebuah sistem baku yang tidak lagi memberi ruang bagi ekspresi emosional maupun spiritual. Siapa yang keluar dari mekanisme sistem baku tersebut akan terhempas dengan sendirinya karena eksistensinya otomatis dianggap melanggar “kenormalan” dan oleh sebab itu dilihat sebagai anomali yang bisa merusak sistem sehingga perlu dialienasi.
Lantas, apa hubungannya dengan cerita awal tentang kemegahmewahan gedung gereja di atas? Hubungan argumentatif bisa ditarik ke segala arah. Yang jelas, masyarakat dan jemaat-jemaat GPM saat ini sedang berguling-guling digulung oleh gelombang kapitalisme dan konsumerisme yang dahsyat. Pada satu sisi, pameran kemegahan dan kemewahan simbol-simbol material keagamaan – seperti gedung gereja – sedang merajalela di tengah-tengah hamparan wajah kuyu-kusam kemiskinan pada sebagian besar kehidupan jemaat-jemaat GPM hingga saat ini. Pada sisi lain, kekuatan kapitalisme sedang menekuk leher kita sehingga tidak mampu lagi menatap dan menentukan masa depan kita sendiri. Para cukong pemilik modal sedang mencabik-cabik tubuh kemanusiaan dan jemaat-jemaat melalui investasi milyaran untuk memperkosa tanah dan laut yang menjadi sumber penanda kemanusiaan warga jemaat di wilayah-wilayah kepulauan tertentu. Jemaat-jemaat GPM menghadapi ancaman perpecahan internal karena proses reifikasi (pembendaan) relasi-relasi kemanusiaan yang sangat kuat dideterminasi “u[t]ang”. Kasus-kasus mulai dari Gunung Botak di Pulau Buru, Investasi Perselingkuhan Pengusaha-Penguasa yang mengincar Aru, Perebutan Kavling Pulau Seram oleh kaum petinggi negara, sampai pada masterplan Blok Aru, Blok Marsela, dll, serta sejumlah kasus yang belum terungkap ke permukaan, sebenarnya secara telanjang sedang menantang GPM apakah pada usia ke-79 tahun 2014 ini makin perkasa, bijaksana dan mempesona ataukah ibarat manusia renta yang terbungkuk-bungkuk dan terseok-seok mengalami osteoporosis (pengeroposan) misi dan praksis berteologinya akibat deraan dua gelombang dahsyat kapitalisme dan konsumerisme tadi?
Selamat memasuki hitungan ke-79!
Aku menulis maka aku belajar
Thursday, September 18, 2014
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment