Terima kasih kepada Pdt Rudy Rahabeat yang telah memotret senior dan guru Pdt Jop Seleky (JS). Jari jemari saya tak tahan rasanya untuk menari kegirangan melihat sosok yang satu ini. Coretan kecil ini hanya sepenggal upaya "memotret" melalui cuplikan-cuplikan memori sejak menjadi mahasiswa pada fakultas teologi tahun 1990an dan pertemuan terakhir dengan JS sekitar tahun 2008 di Jakarta. Sejak 2009 ketika saya dan keluarga kembali ke Ambon, tidak lagi mendengar kabar tentang beliau dan istri (mama Ade) di Jakarta.
Menghidupi buku dan mengejar sejarah
Ketika menjadi mahasiswa tahun 1990an, JS adalah salah seorang dosen senior bidang sejarah gereja. Waktu itu Pdt M. Tapilatu sedang studi doktor. Kesan pertama saya ketika mengikuti kelas sejarah gereja (berseri), cara penyajian JS tampak monoton dan angker. Namun setelah beberapa kali pertemuan baru terasa kenikmatan mengikuti kelas sejarah gereja oleh JS karena kemampuannya mengolah bahan-bahan bacaan sejarah (Ragi Cerita dan Harta dalam Bejana) dibumbui oleh gaya bertutur yang kocak dan sesekali teatrikal.
Meskipun demikian, kalau soal tugas, minta ampun! Meringkas Ragi Cerita, Harta dalam Bejana dan terjemahan satu bab berbahasa Inggris. Ternyata di balik cara bertutur yang kocak ketika mengajar JS serius menerapkan cara belajar sejarah gereja yang sangat disiplin. Disiplin bukan dalam arti artifisial (dibuat-buat) tapi sungguh-sungguh menekankan proses mengasah kemampuan dengan bertekun membaca berbagai materi pembelajaran.
Kedisiplinan yang diterapkan bukanlah "omdo" (omong doang). JS mempraktikkannya sebagai tradisi hidupnya. Ia sungguh-sungguh menghidupi buku. Kisah menarik yang tidak pernah saya lupa tentang JS adalah ketika Usi Ko Leleury (staf sirkulasi perpustakaan fakultas teologi) mengunci beliau selama beberapa jam di dalam perpustakaan. Jika tidak mengajar, perpustakaan adalah "rumah kedua" JS. Biasanya beliau akan mengambil setumpuk buku, ditaruh di meja, lalu mulai membaca. Sungguh-sungguh membaca! Bukan sekadar membolak-balik halaman atau "speed-reading". Jika sudah demikian, jangan coba-coba mengusiknya. Sebaliknya, JS pun tidak lagi peduli dengan sekitarnya. Dunia ini seolah-olah milik mereka berdua - maksudnya JS dan buku.
Saat itu JS datang ke perpus tepat jam istirahat siang. Karena tidak mau mengganggu beliau, Usi Ko mengunci beliau di perpus dan pulang ke rumahnya untuk nanti kembali sore hari. Apa yang terjadi? Ketika sore hari Usi Ko membuka perpus, JS masih membaca dengan posisi seperti ditinggalkan, kecuali tumpukan buku mulai terbagi antara yang belum dibaca dan sudah dibaca. Soal keintiman JS dan buku masih banyak cerita yang bisa dituturkan. Kita bisa tersenyum simpul atau mungkin tertawa mendengar kisah ini. Tetapi satu hal yang jelas JS memperlihatkan keteladanan integritas intelektual dengan caranya menghidupi buku dalam proses pembelajaran sejarah. Lembar demi lembar dihayati dengan kunyahan intelektualitas penuh kenikmatan. Bagi saya, kecintaan pada buku telah menularkan kegairahan untuk menjadikan buku sebagai teman, bukan beban, dalam studi dan hidup.
Gaul gaya JS
Rambut boleh memutih. Usia bisa menua. Tapi soal semangat gaul, JS adalah dosen paling gaul saat itu. Gaul dalam arti beliau gemar mengikuti kegiatan apapun yang diselenggarakan oleh senat mahasiswa fakultas (SMF) waktu itu, terutama outbond. Sebut saja jalan sehat, cross-country, dan berenang. Pernah satu waktu SMF menggelar lomba berenang di tapal kuda Air Salobar, mulai dari pantai ke [hampir] tengah teluk Ambon lalu kembali lagi ke pantai. Sudah bisa ditebak, jangankan dosen, mahasiswa pun "hosa-tar-sadiki" dan banyak yang menyerah. Hanya JS (dari pihak dosen) yang mampu menyelesaikannya dengan tuntas meskipun tidak mencatat waktu terbaik.
Sampai di pantai, kami menyambut beliau dengan sorak-sorai. "Pa paling hebat ee." Demikian celetuk seorang mahasiswa kepadanya. Dengan gayanya yang khas, JS membalas, "He, he, model isap tabaku deng minong sopi bagini bagemana... baraaangkaat..." Huraaa... Gaya gaul itu juga menjadi ciri khas mama Ade. Hanya saja mama Ade akan marah jika para mahasiswa mempermainkan JS.
Ketangguhan fisiknya terbentuk karena gaya hidupnya yang bersahaja. Kemana-mana JS lebih memilih berjalan kaki. Begitu getolnya berjalan kaki sampai-sampai beliau pernah meninggalkan mama Ade (dan sepedamotor) di pasar dengan pulang berjalan kaki. Padahal waktu pergi ke pasar, JS menggonceng mama Ade dengan sepedamotor bututnya. Gaya hidup yang bersahaja itu terus menjadi atribut identitasnya sebagai pendeta dan guru. Pdt Elifas Tomix Maspaitella, salah satu anak tutornya, pernah menceritakan bertemu JS pulang belanja dari pasar dan sedang berjalan kaki menenteng ikan satu tas plastik kembali ke Kusu-kusu Sere. Waktu itu kondisi kota Ambon masih cukup "panas". Berjalan kaki dari kota Ambon ke Kusu-kusu Sere di tengah terik siang!
Suatu ketika, dalam acara HUT GPM di GPIB Paulus, JS datang sendiri dari Pamulang. Ketika acara usai, Nancy bertanya pulang naik apa, JS menjawab naik bus. Bapa kamponang! Jakarta Pusat ke Pamulang sangat jauh apalagi naik bus tengah malam. Nancy kemudian meminta bantuan Pdt Frida Kailola (alm.) yang melayani di jemaat GPIB Pamulang. Pdt Frida Kailola bersedia memberi tumpangan bahkan mengantar JS sampai ke rumahnya di Pamulang.
Ah, waktu berjalan tak terasa. JS kini sudah memasuki usia 82 tahun. Tidak banyak yang kami murid-muridnya bisa berikan setelah menimba begitu banyak ilmu dan keteladanan hidup dari beliau. Tahun 2009, sebelum kembali ke Ambon, saya dan Nancy bertemu beliau dalam satu acara di GPIB Imanuel Gambir Jakarta. Kami bilang, "Bapa, katong mau pulang Ambon. Bapa bae-bae deng mama Ade di Jakarta." Untuk sesaat JS menatap saya tanpa berkata apa-apa. Lalu beliau berkata, "Gaspersz, biking samua bae-bae." Saya tidak tahu apa maksudnya. Hanya dari retina matanya yang katarak saya melihat berair dan pancaran sumanga seorang guru yang teladan hidupnya nyaris terlupakan.
Dangke bapa Jop. Beta cuma bisa menulisnya sebagai "monumen hidup" dari Jacob Seleky yang membuat beta jatuh cinta pada sejarah. Seng tau apa tempo katong bisa bakudapa maar beta dan keluarga pung pasawari: Upulahatala Lanite Tapele dan segala moyang-moyang dari penjuru pulau-pulau jaga Bapa Jop sekeluarga.
Read more ...
Menghidupi buku dan mengejar sejarah
Ketika menjadi mahasiswa tahun 1990an, JS adalah salah seorang dosen senior bidang sejarah gereja. Waktu itu Pdt M. Tapilatu sedang studi doktor. Kesan pertama saya ketika mengikuti kelas sejarah gereja (berseri), cara penyajian JS tampak monoton dan angker. Namun setelah beberapa kali pertemuan baru terasa kenikmatan mengikuti kelas sejarah gereja oleh JS karena kemampuannya mengolah bahan-bahan bacaan sejarah (Ragi Cerita dan Harta dalam Bejana) dibumbui oleh gaya bertutur yang kocak dan sesekali teatrikal.
Meskipun demikian, kalau soal tugas, minta ampun! Meringkas Ragi Cerita, Harta dalam Bejana dan terjemahan satu bab berbahasa Inggris. Ternyata di balik cara bertutur yang kocak ketika mengajar JS serius menerapkan cara belajar sejarah gereja yang sangat disiplin. Disiplin bukan dalam arti artifisial (dibuat-buat) tapi sungguh-sungguh menekankan proses mengasah kemampuan dengan bertekun membaca berbagai materi pembelajaran.
Kedisiplinan yang diterapkan bukanlah "omdo" (omong doang). JS mempraktikkannya sebagai tradisi hidupnya. Ia sungguh-sungguh menghidupi buku. Kisah menarik yang tidak pernah saya lupa tentang JS adalah ketika Usi Ko Leleury (staf sirkulasi perpustakaan fakultas teologi) mengunci beliau selama beberapa jam di dalam perpustakaan. Jika tidak mengajar, perpustakaan adalah "rumah kedua" JS. Biasanya beliau akan mengambil setumpuk buku, ditaruh di meja, lalu mulai membaca. Sungguh-sungguh membaca! Bukan sekadar membolak-balik halaman atau "speed-reading". Jika sudah demikian, jangan coba-coba mengusiknya. Sebaliknya, JS pun tidak lagi peduli dengan sekitarnya. Dunia ini seolah-olah milik mereka berdua - maksudnya JS dan buku.
Saat itu JS datang ke perpus tepat jam istirahat siang. Karena tidak mau mengganggu beliau, Usi Ko mengunci beliau di perpus dan pulang ke rumahnya untuk nanti kembali sore hari. Apa yang terjadi? Ketika sore hari Usi Ko membuka perpus, JS masih membaca dengan posisi seperti ditinggalkan, kecuali tumpukan buku mulai terbagi antara yang belum dibaca dan sudah dibaca. Soal keintiman JS dan buku masih banyak cerita yang bisa dituturkan. Kita bisa tersenyum simpul atau mungkin tertawa mendengar kisah ini. Tetapi satu hal yang jelas JS memperlihatkan keteladanan integritas intelektual dengan caranya menghidupi buku dalam proses pembelajaran sejarah. Lembar demi lembar dihayati dengan kunyahan intelektualitas penuh kenikmatan. Bagi saya, kecintaan pada buku telah menularkan kegairahan untuk menjadikan buku sebagai teman, bukan beban, dalam studi dan hidup.
Gaul gaya JS
Rambut boleh memutih. Usia bisa menua. Tapi soal semangat gaul, JS adalah dosen paling gaul saat itu. Gaul dalam arti beliau gemar mengikuti kegiatan apapun yang diselenggarakan oleh senat mahasiswa fakultas (SMF) waktu itu, terutama outbond. Sebut saja jalan sehat, cross-country, dan berenang. Pernah satu waktu SMF menggelar lomba berenang di tapal kuda Air Salobar, mulai dari pantai ke [hampir] tengah teluk Ambon lalu kembali lagi ke pantai. Sudah bisa ditebak, jangankan dosen, mahasiswa pun "hosa-tar-sadiki" dan banyak yang menyerah. Hanya JS (dari pihak dosen) yang mampu menyelesaikannya dengan tuntas meskipun tidak mencatat waktu terbaik.
Sampai di pantai, kami menyambut beliau dengan sorak-sorai. "Pa paling hebat ee." Demikian celetuk seorang mahasiswa kepadanya. Dengan gayanya yang khas, JS membalas, "He, he, model isap tabaku deng minong sopi bagini bagemana... baraaangkaat..." Huraaa... Gaya gaul itu juga menjadi ciri khas mama Ade. Hanya saja mama Ade akan marah jika para mahasiswa mempermainkan JS.
Ketangguhan fisiknya terbentuk karena gaya hidupnya yang bersahaja. Kemana-mana JS lebih memilih berjalan kaki. Begitu getolnya berjalan kaki sampai-sampai beliau pernah meninggalkan mama Ade (dan sepedamotor) di pasar dengan pulang berjalan kaki. Padahal waktu pergi ke pasar, JS menggonceng mama Ade dengan sepedamotor bututnya. Gaya hidup yang bersahaja itu terus menjadi atribut identitasnya sebagai pendeta dan guru. Pdt Elifas Tomix Maspaitella, salah satu anak tutornya, pernah menceritakan bertemu JS pulang belanja dari pasar dan sedang berjalan kaki menenteng ikan satu tas plastik kembali ke Kusu-kusu Sere. Waktu itu kondisi kota Ambon masih cukup "panas". Berjalan kaki dari kota Ambon ke Kusu-kusu Sere di tengah terik siang!
Suatu ketika, dalam acara HUT GPM di GPIB Paulus, JS datang sendiri dari Pamulang. Ketika acara usai, Nancy bertanya pulang naik apa, JS menjawab naik bus. Bapa kamponang! Jakarta Pusat ke Pamulang sangat jauh apalagi naik bus tengah malam. Nancy kemudian meminta bantuan Pdt Frida Kailola (alm.) yang melayani di jemaat GPIB Pamulang. Pdt Frida Kailola bersedia memberi tumpangan bahkan mengantar JS sampai ke rumahnya di Pamulang.
Ah, waktu berjalan tak terasa. JS kini sudah memasuki usia 82 tahun. Tidak banyak yang kami murid-muridnya bisa berikan setelah menimba begitu banyak ilmu dan keteladanan hidup dari beliau. Tahun 2009, sebelum kembali ke Ambon, saya dan Nancy bertemu beliau dalam satu acara di GPIB Imanuel Gambir Jakarta. Kami bilang, "Bapa, katong mau pulang Ambon. Bapa bae-bae deng mama Ade di Jakarta." Untuk sesaat JS menatap saya tanpa berkata apa-apa. Lalu beliau berkata, "Gaspersz, biking samua bae-bae." Saya tidak tahu apa maksudnya. Hanya dari retina matanya yang katarak saya melihat berair dan pancaran sumanga seorang guru yang teladan hidupnya nyaris terlupakan.
Dangke bapa Jop. Beta cuma bisa menulisnya sebagai "monumen hidup" dari Jacob Seleky yang membuat beta jatuh cinta pada sejarah. Seng tau apa tempo katong bisa bakudapa maar beta dan keluarga pung pasawari: Upulahatala Lanite Tapele dan segala moyang-moyang dari penjuru pulau-pulau jaga Bapa Jop sekeluarga.
Ithaca, 6 April 2015