Dalam karyanya Nationalist, Soldiers and Separatists: The Ambonese Islands from Colonialism to Revolt 1880-1950 (KITLV 1990), sejarawan Australia, Richard Chauvel melakukan analisis sejarah sosial yang komprehensif mengenai dinamika sosial-politik dan kebudayaan masyarakat Ambon sejak masa kolonial hingga pertengahan abad ke-20. Tajuk bukunya pun jelas menggambarkan dinamika tersebut melalui pergeseran-pergeseran identifikasi diri yang sangat ditentukan oleh konteks sosial-politik dan konstruk kebudayaan lokal, regional dan global. Chauvel dengan lugas memperlihatkan melalui kajian arsip dan wawancara mendalam beberapa pelaku sejarah bahwa identitas sosial adalah konstruksi mental dan realitas sosial yang dinamis. Perspektif itu membingkai cara kita memahami perubahan sosial-budaya dan sejarah sosial sebagai suatu “proses”, bukan entitas yang beku dan jumud. Dengan cara itu, membaca data sejarah adalah seni menginterpretasi atau hermeneutik yang melibatkan berbagai spektrum dimensional mulai dari struktur kesadaran pembaca, konteks penulis teks dan ideologi yang dikandung oleh teks yang ditulisnya, hingga produksi-reproduksi teks yang diterima yang membentuk persepsi pembaca yang berbeda-beda, hingga tiba pada taraf pengetahuan lebih lanjut.
Di antara kerumunan data dan interpretasi sejarahnya, ada satu momentum historis yang menarik untuk dicermati, yaitu apa yang oleh Chauvel disebut Namlea affairs atau “Peristiwa Namlea”. Mengapa menarik? Alasan saya sederhana: noktah sejarah atau wacana Peristiwa Namlea tahun 1946 pada kenyataannya tidak mengalami proses reproduksi, interpretasi dan proliferasi wacana yang signifikan sebagaimana halnya diskursus “Republik Maluku Selatan” (RMS). Dalam kajian budaya (cultural studies) hal itu dapat dipahami dengan melihat siapa yang memproduksi wacana tertentu, ideologi apa yang melatarinya, hubungan kekuasaan seperti apa yang terbentuk melalui [re]produksi wacana itu, dan untuk tujuan apa wacana tersebut di[re]produksi. Sedangkan dalam bingkai analisis sejarah sosial, [re]produksi suatu wacana – dalam hal ini sejarah – tidak dapat dilepaskan tautannya dari kekuasaan/kepentingan yang menungganginya. Dengan demikian, suatu wacana (politik, budaya, dan sejarah) tidak pernah bebas nilai. Dalam perspektif itu “sejarah” selalu terbuka untuk didedah secara interpretatif, yang pada gilirannya melahirkan produk-produk wacana yang menarik bagi kepentingan pembaca kontemporer. “Peristiwa Namlea 1946”, dalam bacaan saya, memperlihatkan sisi lain proses identifikasi kemalukuan yang kerap ditenggelamkan oleh metanarasi separatisme RMS. Itu yang saya lihat sebagai wacana Nasionalisme Maluku dalam proses historis “menjadi Indonesia”.
Peristiwa Namlea 1946: dialektika kaum Republikan dan Regionalis
Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 tidak serta-merta meredam segala bentuk gerakan revolusioner pada akhir 1940an. Dalam bahasa Ben Anderson, “Indonesia” saat itu sebenarnya adalah suatu komunitas terbayang (imagined community) yang konsepnya diadopsi oleh Sukarno dari social imaginary pemerintah Hindia-Belanda. Jelas, social imaginary keindonesiaan ala Sukarno saat itu belum diterima oleh kelompok-kelompok etnis yang masih berkutat dengan identitas primordialnya sendiri. Pergolakan di beberapa daerah selain faktor internal, juga disulut oleh kecemasan bahwa Indonesia yang dibayangkan Sukarno tak lebih adalah bentuk dominasi baru etnis Jawa sebagai kelompok etnis dengan jumlah terbesar. Ibarat lolos dari mulut singa masuk ke mulut buaya.
Demikian pula suasana batin kaum elite Ambon saat itu. Di Ambon saat itu, sudah ada kaum nasionalis seperti Pupella, Reawaru, Hamid bin Hamid yang membentuk Sarekat Ambon. Namun, karakteristik kaum nasionalis Ambon berbeda dengan kaum nasionalis di Jawa dan Sumatra. Pada satu sisi mereka belum sepakat mengenai format nasionalisme itu sendiri. Semangat nasionalis Pupella tidak sebangun dengan spirit Reawaru. Pupella ingin Ambon tetap menjadi bagian dari Negara Indonesia Timur (NIT) dalam konfigurasi federalisme Republik Indonesia Serikat (RIS). Sedangkan Reawaru lebih condong pada penyatuan Ambon dalam format kesatuan (unitary) Republik Indonesia.
Pada pihak lain, kaum nasionalis Ambon berada di tengah-tengah kaum konservatif pro-Belanda yang terus bermimpi tentang nostalgia Ambon bersama Belanda. Mereka kukuh menginginkan kembalinya kekuasaan Belanda setelah rontoknya kekuasaan Jepang, karena dengan demikian terbuka peluang untuk mengembalikan otoritas politik mereka seperti sebelumnya. Selain itu, kaum konservatif juga was-was bahwa meleburnya Ambon dalam format kesatuan Republik Indonesia akan menggerus habis kekuasaan tradisional mereka seperti yang terjadi selama pendudukan Jepang. Benturan prinsip secara internal vis-à-vis kaum konservatif memposisikan kaum nasionalis Ambon pada dilema dan dinamika politik yang khas. Dalam catatannya yang lain, Chauvel mengatakan bahwa kaum nasionalis Ambon sebenarnya tidak lahir sebagai bentuk ideologi dan aksi perlawanan terhadap kaum penjajah. Oleh karena itu, lanjut Chauvel, tidak ada revolusi di Ambon tetapi kontrarevolusi.
Sebaliknya, dinamika revolusioner lebih dirasakan oleh kaum Republikan Ambon yang berada di Jawa. Melalui keterlibatan mereka dalam berbagai organisasi revolusi, kaum Republikan Ambon ditempa dalam dinamika pergolakan ideologis dan politik yang lebih intensif di Jawa. Konteks inilah yang membentuk karakter Republikan Ambon di Jawa lebih garang dan militan dibandingkan kaum nasionalis di Ambon. Mereka tidak hanya pelaku aksi-aksi jalanan tetapi konseptor-konseptor politik nasionalisme Indonesia, seperti Johannes Latuharhary dan Johannes Leimena. Dalam konteks revolusi tersebut, “Peristiwa Namlea 1946” mesti dilihat sebagai salah satu ekspresi militansi kaum Republikan Ambon di Jawa di tengah gelora perlawanan terhadap kolonialisme dengan melibatkan diri dalam aksi-aksi menyebarluaskan pesan-pesan kaum Republikan.
Bulan Maret 1946, sekitar duapuluh pemuda Ambon dari Yogyakarta dan Magelang berlayar menuju kepulauan Ambon dengan dua kapalmotor sederhana, Sindoro dan Smeroe, dari Tegal. Mereka hanya membawa bahan makanan secukupnya, beberapa senjata dan surat pengantar dari Gubernur Latuharhary. Kelompok ini adalah bagian dari program penyebaran gagasan kaum Republikan ke wilayah-wilayah luar Jawa yang diorganisir oleh Badan Penjelidik Militer Chusus yang dipimpin oleh Kolonel Zulkifli Lubis (Perdjuangan rakjat Maluku 1968:57).
Setelah hampir sebulan berlayar mereka memasuki perairan kepulauan Ambon. Dari Smeroe, sembilan pemuda dipimpin oleh Bram Matulessy turun di Pulau Ambelau, antara Ambon dan Buru. Dari Ambelau pelayaran dilanjutkan dengan perahu kecil ke Pulau Ambon dan mendarat di Negeri Lima, pesisir Hitu, sekitar tanggal 28 Maret. Dari Negeri Lima, para pemuda ini berjalan menyusuri pesisir Hitu dan menyinggahi setiap negeri untuk menyampaikan pesan Republikan. Kedatangan mereka dan pesan yang dibawa disambut antusias oleh sebagian besar masyarakat pesisir Hitu, meskipun tetap ada yang menunjukkan keraguan. Selain menyampaikan pesan Republikan, para pemuda ini juga membagikan koran-koran Republikan dari Jawa. Namun, perjalanan berakhir di Hitu karena tentara-tentara KNIL yang mengendus kedatangan mereka kemudian menghadang dan menangkap mereka.
Kelompok lain di kapalmotor Sindoro merapat di Namlea pada tanggal 3 April. Kedatangan mereka disambut oleh wakil kepala pemerintahan lokal (Hoofd van Plaatselijk Bestuur – HPB), Abdullah Basalam. Anton Papilaja mendapat tugas menyebarluaskan informasi kaum Republikan di Namlea. Sisanya melanjutkan pelayaran dengan Sindoro tetapi gagal mencapai tujuan berikut karena ditangkap di Piru. Di Buru, selain melakukan sosialisasi pesan-pesan Republikan, Papilaja juga mengorganisir sejumlah pemuda Muslim lokal dengan bantuan A. Pattisahusiwa (bekas tentara), beberapa polisi, Raja Liliali dan Kajeli. Pada 6 April, Papilaja, Pattisahusiwa dan ratusan pendukungnya berhasil mengambil-alih kendali Namlea dan menahan Wim Gaspersz (HPB) serta beberapa stafnya. Gaspersz hanya dibantu kekuatan sekitar 15 polisi dan sedikit amunisi. Beberapa hari berikutnya Pemerintah Belanda melancarkan dua kali serangan untuk merebut kembali Namlea. Serangan pertama gagal dengan korban Sersan Latupeirissa. Serangan kedua dilancarkan dengan jumlah pasukan dan senjata lebih besar, dan berhasil merebut kembali Namlea pada 10 April. Tentara mengejar kaum Republikan hingga ke pedalaman. Sekitar empatpuluh orang ditangkap, termasuk Raja Liliali (Perdjuangan rakjat Maluku 1968:62-64).
Meskipun kelompok pendukung Republikan ini dapat dibekuk dan “pemberontakan” mereka dengan mudah diredam, tetapi peristiwa ini cukup menggemparkan Pemerintah Belanda dan kaum konservatif di Ambon saat itu. Hal yang paling menggelisahkan mereka adalah tanggapan antusias masyarakat Buru dan Jazirah Leihitu terhadap kedatangan para pemuda Republikan Ambon ini. Malah, ternyata sebelum kedatangan para pemuda ini, Raja Liliali telah membagikan bahan-bahan politik Republikan yang diterimanya dari M.A. Ely, seorang nasionalis dan kerabat istrinya yang merupakan keluarga raja di Asilulu. Pemerintah Belanda dan kaum konservatif kemudian menyadari bahwa tidak semua masyarakat Ambon menyambut positif kedatangan pasukan sekutu di Ambon sebagai bentuk romantisme politik akan kembalinya Belanda.
Di antara kisah-kisah heroik dan tragis dalam sejarah “menjadi Indonesia”, Peristiwa Namlea 1946 mungkin bukan yang spektakuler. Tentu saja, soal spektakuler atau biasa-biasa saja sangat tergantung bagaimana kita (pembaca) menempatkan narasi itu dalam bingkai konteksnya secara luas, yaitu konteks pertarungan politik global, regional dan lokal. Ketiga konteks ini saling berkelindan membentuk ruang budaya (cultural space) dan wacana politik (political discourse) orang Ambon/Maluku dalam interkoneksitas wacana nasionalisme secara luas. Dengan demikian, proses identifikasi diri melalui cermin sejarah lebih dilihat sebagai upaya menemukan makna yang menuntun pada tercapainya pengertian yang lebih luwes dan luas. Tidak lagi terperangkap pada upaya membaca sejarah sebagai stigmatisasi yang melumpuhkan kegairahan menggali maknanya bagi konteks kini dan nanti. Artinya, hanya mereka yang buta-sejarah yang getol membangun stigma orang Maluku identik dengan separatisme sehingga Ambon selalu penuh “ritual-ritual” simbolik justifikasi yang mengarah pada produksi wacana sesat semacam itu setiap bulan April. Jangan sekali-kali melupakan sejarah adalah slogan supaya kita tidak ditundukkan karena buta sejarah.
Ithaca, 4 April 2015
Aku menulis maka aku belajar
Sunday, April 5, 2015
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment