Tiba-tiba sadar ketika dalam percakapan ringan di kafe perpustakaan seorang teman berujar: "Well, tell me a bit about your president today." Waduh, kok bisa blank sama sekali bahwa Indonesia sudah punya presiden ya. Lha, hampir semua tautan berita mempertontonkan ini republik seperti tanpa "panglima tertinggi". Semua bisa ngomong, semua bisa demo, semua bisa marah dan... semua bisa ditangkap. Jangan-jangan kelak hanya karena dianggap "merusak generasi muda" semua layak ditembak mati. Maap masbro/mbaksis, ini pasti gara-gara saya kelamaan nongkrongin pesbuk daripada riset.
Jelas, saya setuju bahwa jumlah teman-teman muda - juga yang "tua-tua keladi" kata madam Anggun de la France - penikmat narkoba yang kian membengkak di negeri ini adalah sesuatu yang memprihatinkan karena saya juga tidak mau anak-anak saya menjadi salah satunya. Tapi apa soalnya hanya bisa dipagari pada aspek individual si "pengedar"? Saya jadi ingat kata mister Howard Dick & Jeremy Mulholland yang ngomong soal "the state as marketplace" (Aspinall & Van Klinken, The State and Illegality in Indonesia 2011). Apa iya begitu? Kalau memang begitu, berarti pengedar hanya satu matarantai dari rangkaian panjang lainnya: penikmat, pembeli, penjual, calo, dst. Berarti ada sistem dan operator sistem yang bergoyang dumang di situ toch? Trus gimana? Harusnya atas nama sabda moral "merusak generasi muda" mereka semua digiring dan ditembak. Ngeri kan? Atau lebih pas: Beranikah? Kata mas Jaduk sih "begini ya begini tapi mbok yo jangan begitu". Artinya, ini jelas bukan soal "pengedar" yang harus di-dor demi petuah heroik menyelamatkan generasi [muda] bangsa.
Konon mbah jenggot bilang "agama adalah narkoba", tapi sekarang tampaknya "narkoba adalah agama". Kisah narkoba mengalir dari slempitan "barang haram" yang lolos-mulus di perhentian parkiran udara antarnegara, laris-manis transaksi dari penjara-penjara, kisah sukses para ambtenaar yang jadi calo dan penikmatnya, mengalir dan mengalir hingga "amazing grace" di arena pesakitan, dari artis yang sok-Prancis dan ngajari tentang "Indonesia" hingga Kang-Guru yang bermurah hati katanya mau mbiayai sekolah anak-anak Endonesa. Matur tengkyu masbro. Enaknya sih, jika diniatin, mbok dikirimi saja duitnya untuk mahasiswa kere kayak saya ini daripada repot-repot ngurus ke tempat sampeyan. Atau gimana kalau ongkos itu dihibahkan untuk anak-anak yang dulu bapak-bapaknya juga ditembak mati karena "terorisme"? Wani po ra? Narkoba jelas bukan masalahnya. "Kecanduan" dan "kemungkinan untuk menjadi pecandu" itu masalahnya. Di balik "state as marketplace" jelas terjadi transaksi atau yang lebih budayawi kata eyang Marcel Mauss "gift as exchange" - loe jual gue beli, gue jual loe musti beli dong. Patron-client dan pertemanan yang terbentuk oleh "trust" (Eisenstadt, Patron, Clients & Friends: Interpersonal relations and the structure of trust in society) yang menyuburkan dan menghidupi praktik-praktik clientelistik di Endonesa Raya ini.
Yo wes lah, masbro. Untuk soal "about president" disimpul sendiri aja. Hiduplah Endonesa Raya!
Aku menulis maka aku belajar
Tuesday, May 5, 2015
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment