"Akselerasi" pembangunan juga paling terasa dengan "percepatan" beroperasinya perusahaan-perusahaan logging dan tambang, serta kapal-kapal asing di wilayah perairan nelayan tradisional, yang berdampak pada "percepatan" pemangkasan hutan-hutan serta pengurasan isi laut yang luar biasa. Sarana transportasi antarpulau di INTIM juga "luar biasa": luar biasa susah, luar biasa mahal, luar biasa amburadul. Di Pulau Seram, ada puluhan jembatan rusak yang terbengkalai sehingga untuk menyeberang sungai-sungai besar di sana diperlukan perjuangan berat. Akses jalan yang "beradab" hanya dibuka dari/menuju lokasi perusahaan. Di Kepulauan Aru, transportasi antardesa hanya dilayani oleh perahu motor tempel atau "ketinting" dengan waktu tempuh rata-rata 8-12 jam dengan posisi duduk satu gaya tanpa ada "rest area". Belum lagi mesti menunggu berminggu-minggu jika musim ombak besar. Masih panjang catatan jika mau ditambah.
Itu baru soal Maluku. Belum lagi jika merambah makin ke timur, Papua Barat. Ada raksasa bisnis bernama Freeport yang beroperasi di dataran tinggi Mimika. Raksasa ini adalah salah satu penghasil tunggal tembaga dan emas terbesar di dunia yang pernah mengeruk hasil 86 ton emas. Berdasarkan data Freeport-McMoran per akhir 2009, Freeport Indonesia merupakan penyumbang pendapatan terbesar bagi induk perusahaan tambang emas yang berpusat di Phoenix, Arizona, AS, dengan "prestasi" membukukan pendapatan US$5,9 miliar, jauh melampaui perusahaan Freeport yang beroperasi di Amerika Utara dengan pendapatan US$4,8 miliar.
Bayangkanlah dengan "prestasi" spektakuler itu, Papua Barat seharusnya berwajah molek setara atau bahkan melebihi negara-kota Singapura atau Brunei Darusalam. Sayang seribu sayang, itu hanya impian bolong tak peduli di siang atau malam hari.
INTIM oh INTIM... kau kian intim dengan kemiskinan dan ketidakadilan, dan melahirkan generasi-generasi frustrasi... Saat bicara tentang ini, sobat Papua yang saya kenal cuma berujar: "Kaka, dorang memang inti." Itu suda.
No comments:
Post a Comment