Mgr Andreas Sol menggenapi peziarahan hidupnya di dunia menjadi 100 tahun. Ingatanku merayap mundur ke pertengahan 1990an. Saat itu ada tugas menulis makalah tentang manusia dan kebudayaan Maluku. Perpustakaan kampus UKIM (pernah) memiliki koleksi arsip dan pustaka tentang Maluku yang disimpan rapi dalam sebuah ruangan bernama “Moluccana”. Kubilang “pernah” karena pada tahun 2004 ketika kompleks kampus UKIM dibombardir hingga luluh lantak, tidak banyak koleksi yang bisa diselamatkan di tengah desing peluru dan mortir, serta dentuman bom. Untuk tugas itu, sudah kutelusuri rak demi rak. Meski terseok-seok dalam memahami sebagian besar pustaka yang berbahasa Belanda, Jerman dan Inggris tapi rasanya belum ada yang pas dengan tujuan makalahku. Petugas perpustakaan pun menyarankan bertandang ke Perpustakaan Rumphius.
Perpustakaan Rumphius sejatinya bukan perpustakaan umum. Perpustakaan ini terletak di kompleks keuskupan Amboina. Untuk mendapat akses ke situ harus dengan izin dari sang pemilik koleksi sekaligus pengelolanya: Mgr Andreas Sol. Beliau menemuiku, menanyakan maksud dan tujuan, lalu meminta kejelasan apa yang kucari. Awalnya aku juga bingung. Tapi percakapan ringan dengan Mgr Sol sedikit demi sedikit memperjelas arah. Lantas, dengan ramah aku pun diajak masuk ke perpustakaannya. Ruangannya tidak terlalu luas sebagaimana lazimnya perpustakaan umum. Tapi aku rasa “isi”-nya jauh lebih lengkap dan terawatt melebihi perpustakaan manapun di Kota Ambon, terutama untuk koleksi Maluku. Semua itu bisa dilihat dari cara Mgr Sol memperlakukan buku-buku yang dipegangnya. Beliau pun dengan lancar menjelaskan setiap rak koleksi pustakanya berikut tumpukan arsip-arsip dan ratusan manuskrip, yang entah dari berapa ratus tahun lalu. “Untuk bagian ini, saudara hanya boleh melihat katalognya dan tidak bisa menyentuhnya karena usianya sudah sangat tua,” demikian katanya ketika aku menanyakan apakah boleh membaca koleksi arsip pada salah satu sudut ruangan.
Perlakuan Mgr Sol terhadap koleksi pustakanya di Perpustakaan Rumphius membuatku kagum sekaligus diam-diam menumbuhkan “kecintaan” terhadap buku. Dedikasinya yang besar seumur hidupnya untuk mengumpulkan berbagai koleksi arsip dan pustaka mengenai Maluku tampaknya menjadi sumber energi dan spiritualitasnya yang membuat stamina fisik dan kesadarannya tetap bugar. Beliau tidak hanya menyimpan tapi lebih jauh juga menjadi pemandu pustaka yang enerjik. Aku ingat suatu ketika beliau menunjukkan kepadaku setumpuk buku tulis sederhana yang penuh dengan tulisan tangan. “Ini adalah tulisan tangan buku harian seorang tahanan politik di Buru,” jelasnya. Kami pun terlibat dalam diskusi ringan seputar peristiwa penahanan ribuan orang yang mengalami nasib sebagai tahanan politik di Pulau Buru. Yang paling mengesankan bagiku adalah tidak perduli berapa kali aku berkunjung ke Perpustakaan Rumphius, Mgr Sol selalu menyampaikan pesan: “Kalau saudara punya arsip atau buku terbaru mengenai Maluku, saya harap saudara bersedia memberikan salinannya untuk Rumphius.” Aku mengusahakannya tetapi selalu “kalah gesit” karena ternyata bahan yang kutawarkan (selalu) sudah tersedia di Rumphius.
Mgr Sol dan Perpustakaan Rumphius adalah satu tarikan nafas dan belahan jiwa. Tidak terhitung berapa banyak sarjana yang sudah melakukan penelitian tentang Maluku, yang mesti “sowan” dan “bertapa” di perpustakaan ini, juga berkonsultasi dengan Mgr Sol. Perpustakaan Rumphius menjadi tempat penyimpanan “harta dalam bejana” yang tak habis-habisnya memberikan inspirasi bagi muncul dan berkembangnya wawasan-wawasan baru mengenai spektrum manusia dan kebudayaan Maluku. Semua itu tentu saja tidak dapat dilepaskan dari “tangan dingin” Mgr Andreas Sol, yang telah mendedikasikan seluruh hidupnya membangun dan merawat Perpustakaan Rumphius sebagai “mata air pengetahuan” dengan menyusun secara cermat berbagai jenis koleksi literatur mengenai Maluku.
Sudah 100 tahun Mgr Andreas Sol melakukan peziarahan intelektual dan spiritualnya. Beliau memperlihatkan dengan tegas-jelas bahwa intelektualitas dan spiritualitas bukanlah dua hal yang berbeda dan terpisah, melainkan menyatu dan bersenyawa membentuk karakter manusia yang bermartabat. Beliau tidak hanya mewariskan kepada generasi masa depan Maluku sebuah “tempat” (place) berisi ribuan judul koleksi literatur yang mengagumkan dan diakui dunia. Beliau terlebih mewariskan kepada umat manusia suatu space atau ruang wacana yang melampaui sekat-sekat dan batas-batas kebudayaan (karena place ini menjadi tempat peziarahan ilmu manusia dari berbagai bangsa dan negara).
Perpustakaan Rumphius adalah “harta dalam bejana” yang menyimpan selaksa makna dalam benih-benih hikmat dan pengetahuan. Warisan rohani dan intelektual Mgr Sol ini hanya akan menjadi sekadar place jika tidak menggugah kecintaan pada pengetahuan. Rasanya, dari keabadian yang sedang diziarahinya kini, beliau tetap menanamkan benih-benih harapan bahwa cinta akan kemanusiaan dengan seluruh matra kebudayaannya hanya dapat dilanggengkan melalui cinta akan pengetahuan dan hikmat yang membawa kemanusiaan pada kesadaran semesta akan cinta yang seutuhnya. Tidakkah itu makna sejati philosophia?
Selamat berziarah dalam keabadian Mgr Andreas Sol! Rumah buku Rumphius tetap menjadi rumah cinta bagi kemanusiaan di Maluku.
Aku menulis maka aku belajar
Sunday, March 27, 2016
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment