Aku menulis maka aku belajar
Wednesday, August 31, 2016
Mengenang Abdullah Soulissa
Perjumpaan dengan beliau hanya terjadi tak lebih lima kali. Itupun terjadi dalam suasana yang tidak disengaja. Kebanyakan pada acara-acara formal yang berlangsung di kampus dan/atau ruang-ruang seminar.
Namun, namanya selalu menjadi rujukan penting bagi setiap orang yang ingin memahami dinamika sejarah, sosial, politik, kebudayaan dan agama di Maluku. Entah sudah berapa ratus sarjana dan peneliti dari dalam dan luar negeri yang mencantumkan namanya sebagai sumber rujukan wawancara maupun mencatat perannya dalam trajektori sejarah sosial dan kebudayaan lokal di Maluku. Suatu anugerah kehidupan dari Sang Khalik yang luar biasa, yang menuntunnya melampaui tiga zaman: kolonial, awal kemerdekaan dan Indonesia kontemporer.
Sosoknya tidak hanya ditentukan oleh peran politiknya semata tetapi lebih oleh kharisma sebagai "orang tatua" yang telah kenyang pengalaman manis-pahit berjalan bersama masyarakat Maluku yang kepadanya ia mengabdikan hidupnya hingga akhir tarikan nafasnya. Kharisma itu pula yang mengisi bejana kebudayaan lokal Maluku dengan nilai-nilai kebajikan dan persaudaraan, yang kemudian menjadi pilar-pilar makna membangun kesadaran dan praktik hidup yang terbuka dan saling hormat perbedaan dalam konteks yang lebih luas: Indonesia.
Abdullah Soulissa adalah anak zamannya. Peran dan kharismanya turut membentuk habitus kebudayaan Salam-Sarane di Maluku. Dia adalah putra terbaik Leihitu untuk Indonesia.
Sopo horomate Upu Abdullah Soulissa! Kami Maluku mengenangmu.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment