"Gile coy, gue baru ngerti kenapa para sarjana amrik bisa jadi rujukan international," celetuk seorang sohib yang baru pulang "nyantri" di salah satu kampus amrik. "Memangnya apa?" tanyaku penasaran. "Hampir semua mereka adalah jebolan sekolah dalam negeri!" jawabnya lugas.
"Hebatnya lagi, meskipun mereka studi dalam negeri tapi hampir semua riset mereka mengenai isu-isu di luar negeri," sambungnya berapi-api. Tapi tiba-tiba terdiam. "Sebenarnya kalau soal itu, bukannya para sarjana Indonesia lebih hebat? Mau jebolan luar negeri kek dalam negeri kek, hampir semua topik riset tesis/disertasinya mengenai isu-isu dalam negeri. Nah, mestinya kan hasil riset mereka jadi rujukan internasional tentang Indonesia. Tapi kok selalu para sarjana amrik yang dirujuk termasuk untuk studi Indonesia? Yang studi dalam negeri dengan riset luar negeri berapa ya?" katanya lagi.
"Meneketehe," jawabku kesal sambil melanjutkan membaca dan, ah ini dia, "Kegiatan riset akan otomatis berkembang apabila riset sudah menjadi kebutuhan industri, pemerintah, atau kegiatan masyarakat lain. Masalahnya, sebagian besar industri kita tidak membutuhkan riset. Pemerintah juga tidak begitu membutuhkan hasil riset dalam menjalankan amanat pembangunan bangsa. Kegiatan masyarakat pun sebagian besar juga tidak membutuhkan riset. Oleh karena itu, masalahnya menjadi sangat sederhana, yakni bahwa riset kita tidak berkembang karena memang tidak begitu dibutuhkan." demikian tulis Johanes Eka Priyatma, Rektor Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (Kompas, 27 September 2016).
"Serius neh, Pak Johanes?" batinku.
"Wooii bro! Jadi nggak elo sekolah di luar negeri? Atau elo sekolah aja dalam negeri tapi riset luar negeri? Gimana?" tanya sohib ngeyel membuyarkan lamunanku.
"Tau ah!" dongkol aku menjawabnya sambil ngeloyor meninggalkannya melongo melihat angka-angka di tagihan kafe yang terpaksa dibayarnya.
Terngiang jelas kata-kata guruku, "Penelitian adalah ekstensi perjumpaan intersubjektif antara subjek peneliti dan subjek yang diamati. Maka penelitian bukan soal laporan, statistik dan tabel-tabel, tapi pengerukan kedangkalan pengetahuan melalui interaksi yang manusiawi. Di situlah penelitian menjadi bernyawa kemanusiaan."
Read more ...
"Hebatnya lagi, meskipun mereka studi dalam negeri tapi hampir semua riset mereka mengenai isu-isu di luar negeri," sambungnya berapi-api. Tapi tiba-tiba terdiam. "Sebenarnya kalau soal itu, bukannya para sarjana Indonesia lebih hebat? Mau jebolan luar negeri kek dalam negeri kek, hampir semua topik riset tesis/disertasinya mengenai isu-isu dalam negeri. Nah, mestinya kan hasil riset mereka jadi rujukan internasional tentang Indonesia. Tapi kok selalu para sarjana amrik yang dirujuk termasuk untuk studi Indonesia? Yang studi dalam negeri dengan riset luar negeri berapa ya?" katanya lagi.
"Meneketehe," jawabku kesal sambil melanjutkan membaca dan, ah ini dia, "Kegiatan riset akan otomatis berkembang apabila riset sudah menjadi kebutuhan industri, pemerintah, atau kegiatan masyarakat lain. Masalahnya, sebagian besar industri kita tidak membutuhkan riset. Pemerintah juga tidak begitu membutuhkan hasil riset dalam menjalankan amanat pembangunan bangsa. Kegiatan masyarakat pun sebagian besar juga tidak membutuhkan riset. Oleh karena itu, masalahnya menjadi sangat sederhana, yakni bahwa riset kita tidak berkembang karena memang tidak begitu dibutuhkan." demikian tulis Johanes Eka Priyatma, Rektor Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (Kompas, 27 September 2016).
"Serius neh, Pak Johanes?" batinku.
"Wooii bro! Jadi nggak elo sekolah di luar negeri? Atau elo sekolah aja dalam negeri tapi riset luar negeri? Gimana?" tanya sohib ngeyel membuyarkan lamunanku.
"Tau ah!" dongkol aku menjawabnya sambil ngeloyor meninggalkannya melongo melihat angka-angka di tagihan kafe yang terpaksa dibayarnya.
Terngiang jelas kata-kata guruku, "Penelitian adalah ekstensi perjumpaan intersubjektif antara subjek peneliti dan subjek yang diamati. Maka penelitian bukan soal laporan, statistik dan tabel-tabel, tapi pengerukan kedangkalan pengetahuan melalui interaksi yang manusiawi. Di situlah penelitian menjadi bernyawa kemanusiaan."