Apa yang terbayang di benak kita saat mendengar kata "Indonesia"? Anda pasti punya aneka jawaban dan tanggapan. Monggo kerso. Tapi anda pernah merasa "Indonesia"? Tak perlu njlimet berteori karena yang saya maksud sederhana: bagaimana perjumpaan berbagai kelompok etnis dengan citarasa budayanya memberi rasa dalam relasi-relasi keseharian kita.
Kita tentu tak asing dengan "rumahmakan Padang", "warung Tegal", "pisang Ambon" (di Ambon disebut pisang meja), "bakso Malang", "bubur Manado", "bika Ambon" (asli Medan!), "Chinese food", "gudeg Jogja", "coto Makassar" atau "burjo Kuningan" dll. Semua memakai nama lokal tapi ada dimana-mana dan digemari banyak orang dari berbagai identitas. Malah, di beberapa tempat sudah berlangsung hibridisasi kreatif: kalau di Manado ada "babi rica" maka di Salatiga jadinya "rica-rica menthok". Daging bumbu "rw" pun bisa jadi "sate gukguk".
Tapi ini bukan tentang semua kuliner itu. Ini tentang percakapan dengan seorang pemangkas rambut "Madura" (yang labelnya bisa ditemukan hampir di setiap kota di Indonesia). Bagi saya, inilah keunikan mengindonesia ketika dalam keseharian kita mengalami perjumpaan-perjumpaan yang hidup sembari saling menyerap keunikan multi-identitas di sekitar kita.
Namanya Haji Marjuki. Hingga usianya yang ke-79 tahun ini ia masih setia menjalani profesi sebagai pemangkas rambut "Madura". Beristri satu, beranak lima. Kelima anaknya sudah sarjana dan menggeluti berbagai profesi di beberapa kota. Ia dan istrinya tinggal berdua di rumah yang sekaligus menjadi kios pangkas rambut di daerah pecinan Kota Salatiga.
Profesi pemangkas rambut sudah ditekuninya sejak keluar dari tanah Madura tahun 1964 dan mengikuti paman kerabat jauh yang juga pemangkas rambut sejak tahun 1938 di Semarang. Ia kemudian menikahi anak perempuan tunggal pamannya ini dan dikaruniai lima anak.
Rumah mereka di kawasan pecinan Kota Salatiga adalah rumah peninggalan mertuanya. Mertuanya membeli dari seorang pengusaha kecil peranakan Tionghoa di Semarang yang usahanya melorot nyaris bangkrut. Rumah itu ditempatinya sampai sekarang tanpa mengubah sama sekali arsitektur luar dan dalam, bahkan seluruh perabot kerjanya masih klasik warisan mertuanya.
"Semua anak kami jadi orang lewat pangkas rambut ini," katanya sambil jemarinya terus memainkan gunting dan sisir di kepalaku. Dia mengaku tak terbiasa memakai pemangkas listrik. "Saya tidak mimpi berprofesi lain sejak menerima warisan rumah dan perabot/perlengkapan pangkas rambut dari mertua saya," sambungnya. "Alhamdulilah, tahun1998 saya dan istri bisa naik haji."
Ia mengaku tak lagi ngoyo dengan usianya yang tahun depan genap 10 windu jika masih dianugerahi setahun lagi oleh Yang Maha Kuasa. Para pelanggannya pun tak banyak. Sebagian besar adalah pelanggan lama. "Pak Titaley (Rektor UKSW) dan Pak Manopo (mantan walikota Salatiga) sering gunting rambut di sini," katanya. "Sekarang saya menjalani saja sisa umur ini. Syukurlah, anak-anak tidak ada yang meneruskan profesi pemangkas rambut. Senang sekaligus susah. Susahnya, ini perabotan warisan orang tua mau dikemanakan? Saudara-saudara saya di Madura sudah meninggal dunia semua. Saya anak bungsu. Istri saya anak tunggal." lanjutnya bercerita sambil sesekali menatap cermin memastikan kerapian hasil guntingannya.
"Sudah selesai mas. Maaf ya agak lama, maklum sudah tua," katanya sambil merapikan peralatannya.
Terima kasih pak Marjuki untuk cerita hidup hari ini. Saya meminta izin memotret kios pangkas rambutnya lalu pamit. Di depan rumahnya ada andong yang lewat. Pak kusir dengan santai memegang tali kekang kuda diiringi suara penyiar RRI mengulas berita pilkada Jakarta yang kian "memanas". Aku memacu bronpitku menerobos sejuk Salatiga dengan mendung menggantung.
Aku menulis maka aku belajar
Sunday, October 2, 2016
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment