Aku menulis maka aku belajar

Tuesday, March 29, 2016

Baku Hela Blok Masela

Majalah TEMPO edisi 29 Februari-6 Maret 2016 merilis laporan utama mengenai “baku hela” dua kementerian kabinet Presiden Joko Widodo, yang digawangi oleh Menko Maritim dan Sumber Daya (Rizal Ramli) dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Sudirman Said). “Baku hela” dua menteri tersebut terkait mekanisme pengelolaan Blok Masela antara onshore dan offshore, yang sempat menimbulkan kegaduhan politik di internal kabinet dan membuat gerah sang presiden.

Mengatasi kegaduhan tersebut Presiden pun mengambil sikap dengan menjatuhkan pilihan pada onshore (kilang darat). Penilaiannya sejauh ini lebih pada manfaat ekonomis dengan rujukan onshore lebih murah dan mendatangkan manfaat kepada rakyat Maluku. Pada laporan khusus yang sama pula, TEMPO mendeteksi kongkalikong para pengusaha dan spekulan tanah yang mulai menggeliat di Saumlaki (Maluku Tenggara Barat) yang rencananya akan menjadi pangkalan logistik Inpex Masela.

Keputusan Presiden pada onshore turut menuai kritik internal karena itu berarti seluruh rencana pengembangan (plan of development) yang telah disusun harus dikaji-susun ulang. Itu berarti pula pengelolaan proyek Blok Masela akan molor setidaknya 3-4 tahun. Konsekuensinya, menurut perhituangan SKK Migas, jika proyek ini terus mundur maka setiap tahun negara kehilangan potensi pendapatan minimal US$ 3,6 miliar atau sekitar Rp 49 triliun (lihat TEMPO 28 Maret-3 April 2016).

Terlepas dari perhitungan ekonomi, ada faktor lain yang tampaknya mulai mencuat, yaitu [1] faktor ketahanan dan kesejahteraan masyarakat setempat di tengah “badai” politik-ekonomi negara ini, dan [2] faktor ekspansi dominasi negara melalui isu pertahanan (militer) di kawasan tersebut. Faktor kedua sudah mulai dipersoalkan sebagaimana liputan KOMPAS 29 Maret 2016 halaman 4 dengan tajuk “Blok Masela: Strategi Pertahanan Penting Dipikirkan”.

Faktor pertama mengenai ketahanan dan kesejahteraan masyarakat setempat di tengah “badai” politik-ekonomi negara, ternyata belum (tidak?) disentuh. Padahal, faktor ini menjadi penentu seberapa jauh dan relevan pengelolaan kekayaan alam mendatangkan manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia, terutama Maluku. Bukan tidak mungkin bahwa faktor inilah yang menjadi pemicu naiknya tensi konflik horizontal dan vertikal. Sudah tentu, atas nama kepentingan nasional, untuk urusan bisnis mega proyek semacam ini kekuatan negara (militer) akan turut memainkan peran penting.

Cerita semacam itu bukan baru. Sudah sejak tahun 1993 satu tim peneliti melakukan kajian lapangan yang menghasilkan suatu laporan penelitian dengan tajuk yang miris: Potret Orang-Orang Kalah ~ Kasus penyingkiran masyarakat kepulauan Maluku. Laporan penelitian lapangan tersebut dengan gamblang mendedah bagaimana perselingkuhan penguasa (negara/militer) dan pengusaha (kapitalis) membuahkan situasi rumit marjinalisasi masyarakat setempat kepulauan mulai dari Utara hingga Selatan. Jika melihat lebih ke timur Indonesia, fenomena penyingkiran serupa juga dapat dilihat oleh “mata telanjang” namun jarang ditanggapi sebagai “fakta telanjang” bagaimana kolaborasi negara/militer dan kaum kapitalis “sukses” membungkam dan menihilkan eksistensi masyarakat setempat sebagaimana diungkap oleh Imparsial dalam buku Sekuritisasi Papua: Implikasi Pendekatan Keamanan terhadap Kondisi HAM di Papua (2011).

Sebagaimana hiruk-pikuk soal “papa minta saham” Freeport beberapa waktu lalu, demikian pula pada urusan mega proyek Blok Masela ini, isu kemanusiaan masyarakat setempat jelas sunyi-senyap. Kalaupun itu dibicarakan – seperti catatan pinggir Forum Doktor Ilmu Politik Universitas Indonesia (FDIP-UI) [KOMPAS 29 Maret 2016] – keberadaan dan kebudayaan masyarakat setempat hanyalah lampiran dari isu besar strategi pertahanan negara. Jika ulasan Blok Masela dalam laporan utama TEMPO dapat dilihat sebagai “perspektif atas” (negara) maka semestinya mega proyek ini harus dilanjutkan dengan “perspektif bawah” (masyarakat sipil) yang jelas-jelas menjadi pihak “korban” dan “kurban” (tumbal) dari pendekatan pembangunan berparadigma “metropolis” daripada “populis”.

Dengan demikian, kajian dampak lokal dari “perspektif bawah” penting dilakukan sebagai penyeimbang sehingga mega proyek ini tidak hanya jadi urusan utak-atik angka profit yang bisa diraup sembari abai pada eksistensi kemanusiaan dan kebudayaan masyarakat setempat. Entah pemerintah provinsi maupun para peneliti (universitas dan aktivis kemanusiaan) penting menjadikannya sebagai agenda utama pembangunan Maluku, serta tidak pasrah menyerahkan sepenuhnya pada keputusan politik pemerintah “pusat”. Seberapa ampuh “perspektif bawah” mengusik kemapanan “perspektif atas” (bahwa negara selalu menang atas rakyat)? Kita lihat saja episode berikutnya.
Read more ...

Sunday, March 27, 2016

Mgr Andreas Sol: Menghidupi Maluku Lewat Buku

Mgr Andreas Sol menggenapi peziarahan hidupnya di dunia menjadi 100 tahun. Ingatanku merayap mundur ke pertengahan 1990an. Saat itu ada tugas menulis makalah tentang manusia dan kebudayaan Maluku. Perpustakaan kampus UKIM (pernah) memiliki koleksi arsip dan pustaka tentang Maluku yang disimpan rapi dalam sebuah ruangan bernama “Moluccana”. Kubilang “pernah” karena pada tahun 2004 ketika kompleks kampus UKIM dibombardir hingga luluh lantak, tidak banyak koleksi yang bisa diselamatkan di tengah desing peluru dan mortir, serta dentuman bom. Untuk tugas itu, sudah kutelusuri rak demi rak. Meski terseok-seok dalam memahami sebagian besar pustaka yang berbahasa Belanda, Jerman dan Inggris tapi rasanya belum ada yang pas dengan tujuan makalahku. Petugas perpustakaan pun menyarankan bertandang ke Perpustakaan Rumphius.

Perpustakaan Rumphius sejatinya bukan perpustakaan umum. Perpustakaan ini terletak di kompleks keuskupan Amboina. Untuk mendapat akses ke situ harus dengan izin dari sang pemilik koleksi sekaligus pengelolanya: Mgr Andreas Sol. Beliau menemuiku, menanyakan maksud dan tujuan, lalu meminta kejelasan apa yang kucari. Awalnya aku juga bingung. Tapi percakapan ringan dengan Mgr Sol sedikit demi sedikit memperjelas arah. Lantas, dengan ramah aku pun diajak masuk ke perpustakaannya. Ruangannya tidak terlalu luas sebagaimana lazimnya perpustakaan umum. Tapi aku rasa “isi”-nya jauh lebih lengkap dan terawatt melebihi perpustakaan manapun di Kota Ambon, terutama untuk koleksi Maluku. Semua itu bisa dilihat dari cara Mgr Sol memperlakukan buku-buku yang dipegangnya. Beliau pun dengan lancar menjelaskan setiap rak koleksi pustakanya berikut tumpukan arsip-arsip dan ratusan manuskrip, yang entah dari berapa ratus tahun lalu. “Untuk bagian ini, saudara hanya boleh melihat katalognya dan tidak bisa menyentuhnya karena usianya sudah sangat tua,” demikian katanya ketika aku menanyakan apakah boleh membaca koleksi arsip pada salah satu sudut ruangan.

Perlakuan Mgr Sol terhadap koleksi pustakanya di Perpustakaan Rumphius membuatku kagum sekaligus diam-diam menumbuhkan “kecintaan” terhadap buku. Dedikasinya yang besar seumur hidupnya untuk mengumpulkan berbagai koleksi arsip dan pustaka mengenai Maluku tampaknya menjadi sumber energi dan spiritualitasnya yang membuat stamina fisik dan kesadarannya tetap bugar. Beliau tidak hanya menyimpan tapi lebih jauh juga menjadi pemandu pustaka yang enerjik. Aku ingat suatu ketika beliau menunjukkan kepadaku setumpuk buku tulis sederhana yang penuh dengan tulisan tangan. “Ini adalah tulisan tangan buku harian seorang tahanan politik di Buru,” jelasnya. Kami pun terlibat dalam diskusi ringan seputar peristiwa penahanan ribuan orang yang mengalami nasib sebagai tahanan politik di Pulau Buru. Yang paling mengesankan bagiku adalah tidak perduli berapa kali aku berkunjung ke Perpustakaan Rumphius, Mgr Sol selalu menyampaikan pesan: “Kalau saudara punya arsip atau buku terbaru mengenai Maluku, saya harap saudara bersedia memberikan salinannya untuk Rumphius.” Aku mengusahakannya tetapi selalu “kalah gesit” karena ternyata bahan yang kutawarkan (selalu) sudah tersedia di Rumphius.

Mgr Sol dan Perpustakaan Rumphius adalah satu tarikan nafas dan belahan jiwa. Tidak terhitung berapa banyak sarjana yang sudah melakukan penelitian tentang Maluku, yang mesti “sowan” dan “bertapa” di perpustakaan ini, juga berkonsultasi dengan Mgr Sol. Perpustakaan Rumphius menjadi tempat penyimpanan “harta dalam bejana” yang tak habis-habisnya memberikan inspirasi bagi muncul dan berkembangnya wawasan-wawasan baru mengenai spektrum manusia dan kebudayaan Maluku. Semua itu tentu saja tidak dapat dilepaskan dari “tangan dingin” Mgr Andreas Sol, yang telah mendedikasikan seluruh hidupnya membangun dan merawat Perpustakaan Rumphius sebagai “mata air pengetahuan” dengan menyusun secara cermat berbagai jenis koleksi literatur mengenai Maluku.

Sudah 100 tahun Mgr Andreas Sol melakukan peziarahan intelektual dan spiritualnya. Beliau memperlihatkan dengan tegas-jelas bahwa intelektualitas dan spiritualitas bukanlah dua hal yang berbeda dan terpisah, melainkan menyatu dan bersenyawa membentuk karakter manusia yang bermartabat. Beliau tidak hanya mewariskan kepada generasi masa depan Maluku sebuah “tempat” (place) berisi ribuan judul koleksi literatur yang mengagumkan dan diakui dunia. Beliau terlebih mewariskan kepada umat manusia suatu space atau ruang wacana yang melampaui sekat-sekat dan batas-batas kebudayaan (karena place ini menjadi tempat peziarahan ilmu manusia dari berbagai bangsa dan negara).

Perpustakaan Rumphius adalah “harta dalam bejana” yang menyimpan selaksa makna dalam benih-benih hikmat dan pengetahuan. Warisan rohani dan intelektual Mgr Sol ini hanya akan menjadi sekadar place jika tidak menggugah kecintaan pada pengetahuan. Rasanya, dari keabadian yang sedang diziarahinya kini, beliau tetap menanamkan benih-benih harapan bahwa cinta akan kemanusiaan dengan seluruh matra kebudayaannya hanya dapat dilanggengkan melalui cinta akan pengetahuan dan hikmat yang membawa kemanusiaan pada kesadaran semesta akan cinta yang seutuhnya. Tidakkah itu makna sejati philosophia?

Selamat berziarah dalam keabadian Mgr Andreas Sol! Rumah buku Rumphius tetap menjadi rumah cinta bagi kemanusiaan di Maluku.
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces