Pemerintah Filipina memberlakukan status Darurat Militer di Marawi. Perang pun pecah, mengusir penduduk Marawi ke tenda-tenda pengungsian, menjegal kerinduan anak-anak untuk belajar dengan tenang-damai di sekolah, mendepak orang-orangnya dari tempat-tempat pekerjaan mereka. Saudara-saudara ingin tahu rasanya? Tanyakan itu kepada rakyat Maluku, rakyat Poso, rakyat Papua dan rakyat Aceh. Berbahagialah saudara-saudara yang tiada pernah mengalaminya. Jangan sekali-kali pernah bermimpi ingin merasakan dan mengalaminya.
Marawi berjarak tak jauh dari Indonesia. Tapi "angin"-nya sudah berhembus kuat menggoyang rekatan kebangsaan kita. Jangan naif menganggap terorisme bisa ditangkal hanya dengan rangkaian kata berlembar-lembar dalam formula RUU Anti-Terorisme. Kecenderungan untuk meneror (membuat liyan takut) sesungguhnya ada dalam diri setiap manusia ketika ia merasa nyaman dengan kuasa dominasi atas liyan yang dimilikinya. Kuasa yang pongah mempesona hingga ada yang tak ragu menancapkan paku-paku kebencian di otak anak-anak hingga mereka tak segan berseru "bunuh Ahok" dalam langgam nada menyambut hari yang suci di bulan Ramadhan. Ya, seruan bengis yang meluncur dari mulut-mulut mungil, yang bahkan mungkin tak tega menatap kucuran darah dari leher ayam yang digorok untuk digoreng menjadi santapan.
Paku-paku kebencian itu kini sudah telanjur menghujam dalam, mematikan syaraf-syaraf nurani hingga anak-anak akil-balik yang sedang bergolak jiwa mencari pengakuan jatidiri di balik panji-panji geng motor, tak segan membacok siapa saja tanpa alasan. Kecuali alasan memuaskan hasrat memangsa sesamanya manusia. Itu wajah teror sehari-hari kita saat ini.
Tak usah menunggu "Darurat Militer" karena jika nurani kita jeli maka kita bisa merasakan bahwa kita sedang memasuki goncangan kebangsaan yang sangat kritis alias gawat darurat. Goncangan kebangsaan yang dimulai dari membiarkan pikiran dan rasa kebencian atau permusuhan bergerak liar di dunia maya. Lantas, menggumpal dalam bentuk-bentuk perilaku penuh kekerasan di dunia nyata, karena menganggap semua yang berbeda adalah ancaman bagi dirinya dengan seluruh atribut identitas yang melekat - entah etnis, agama, maupun afiliasi ideologi politik.
Ruang-ruang virtual menjadi arena menabur benih-benih kebencian dan cemoohan tanpa batas. Simbol-simbol negara diinjak-injak dan dihina, kemajemukan dikafirkan oleh doktrin-doktrin agama dan politik yang monolitik. Tumpah-ruah segala hujatan seolah bisa menggantikan Tuhan yang menjatuhkan palu penghakiman "sesat" - sesat agama, sesat pikir, sesat ideologi.
Apakah situasi gawat-darurat ini akan kita biarkan berlarut-larut membuat kita hanyut dalam hempasan arus kebencian, keserakahan kuasa-harta, dan kekerasan demi kekerasan yang menggerus etika kebangsaan "menjadi Indonesia" yang dengan susah-payah kita jaga dan rawat selama ini?