Aku menulis maka aku belajar

Saturday, May 27, 2017

SAHUR

Setiap pagi mendengar ajakan sahur setelah adzan subuh, menarik ingatanku ke masa kecil di Malang. Dilahirkan di Surabaya, aku menjalani masa kecil dan remaja, hingga lulus SMA, di kampung Bareng, Kecamatan Klojen, Kotamadya Malang. Aku dan kedua adik tinggal bersama Opa-Oma. Orangtua kami bekerja di Kalimantan Selatan.

Di antara banyak pengalaman, ada pengalaman berkesan selama tinggal di kampung Bareng. Setiap bulan puasa, teman-teman di kampung Bareng selalu mengajak berkeliling sambil "kotekan", menabuh ember, memukul kentongan dan kaleng bekas, sambil melilitkan sarung di leher dan berteriak bersahutan "sahur, sahur" pada titik-titik perhentian tertentu. Kampung Bareng adalah kampung urban padat penduduk dengan gang-gang kecil yang saling berhubungan sehingga nyaris tidak ada yang namanya "gang buntu".

Kelompok sahur di sekitar kampung kami terbagi ke dalam beberapa kelompok berdasarkan umur. Dalam kelompok-kelompok itu aku bertemu dengan banyak teman "Sekolah Minggu". Kami menikmati suasana itu sebagai suasana hiburan dan pertemanan, karena sehari-hari kami memang adalah teman-teman sepermainan: sepedaan, layangan, nekeran, umbulan, sambil sesekali mencari belut di petak-petak sawah pinggiran kampung. Lagipula, suasana permainan bersama semacam itu, kala itu, merupakan saat yang paling menghibur dan mengasyikkan ketimbang nonton tivi yang hanya ada satu saluran resmi - TVRI - dengan selingan "siaran niaga" yang itu-itu saja.

Karena yang dibunyikan bukan "nada-nada agamis" maka tidak ada syair yang perlu dilafaskan bersama. Hanya "kotekan" alias bunyi-bunyian yang dihasilkan dari benda-benda yang dipukul (ember, kaleng, kentongan bambu). Maka bunyi-bunyian tanpa syair itu menjadi harmoni yang memecah kesunyian dini hari seputar kampung. Suara yang keluar dari mulut kami hanya teriakan "sahur, sahur" sambil sesekali gelak tawa. Harmoni bunyi tanpa syair dan karenanya bebas tafsir, karena bunyi itu diproduksi oleh semua dan menjadi milik semua, dengan satu misi bersama: membangunkan warga untuk sahur. Maka "kotekan" sahur menjadi tindakan bersama warga Bareng (apapun agamanya). Suatu tindakan kebudayaan yang melangkaui matra ritualistik internal saudara-saudara Muslim yang menjalani ibadah puasa.

Setelah puluhan tahun meninggalkan Kota Malang, beberapa kali sempat singgah dan bertandang ke kampung Bareng. Sempat pula bersua beberapa teman bermain dulu sambil bertukar cerita tentang ingatan bersama yang rajutannya tetap merekatkan hubungan persahabatan kami sebagai warga kampung, kendati saat ini sudah banyak yang tinggal di luar Bareng. Tentu saja, kampung Bareng dan warganya sudah banyak yang berubah. Gang-gang kecil masih ada meski tampak seolah-olah menyempit di mataku. Mungkin juga karena himpitan rumah-rumah yang kian memadati celah-celah tersisa. Tidak banyak lagi orang Bareng yang kukenal kecuali segelintir yang dulu tergolong senior yang masih hidup dan krasan di Bareng.

Kota Malang kini kian padat dengan aneka manusia dan kendaraan, juga perubahan jalur-jalur lalu-lintas yang beberapa kali sempat membuatku kesasar. Apalagi sudah ada beberapa lokasi wisata yang besar di Kota Batu, kota tetangga Malang. Tapi bagiku "Malang pancet mbois". Selamat menjalani ibadah puasa.

Salam satu jiwa!

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces