Monday, July 31, 2017
Walang Pekabaran Injil
Friday, July 21, 2017
UKIM: Kampus Tanpa "Jantung"
Satu semester sudah berlalu. Ada banyak pengalaman menarik dalam proses belajar bersama mahasiswa setelah 5 tahun vakum mengajar karena tugas studi. Dalam proses belajar-mengajar satu semester beta juga belajar bahwa banyak perubahan yang terjadi dibandingkan 2009-2010 saat belum pergi studi.
Hal yang paling menarik sekaligus menggelisahkan adalah perubahan besar karakter akademik mahasiswa yang indikator paling jelas bisa dilihat dari kemampuan menalar dan mendialogkan nalarnya dengan sejumlah referensi (literatur). Beta melihat setidaknya dua faktor penyebab:
[1] Gempuran gaya hidup berandroid jelas telah mengikis nyaris habis kemampuan mahasiswa (juga dosen?) untuk tahan bertekun melahap buku-buku referensi dari setiap matakuliah. Ini terlihat dari kegagapan mahasiswa dalam menanggapi suatu isu (bahkan yang paling populer sekalipun) dengan suatu alur nalar yang mumpuni sesuai dengan status yang disandangnya: mahasiswa. Pada setiap jam-jam kosong transisi antar-matakuliah, pemandangan lazim adalah mahasiswa yang bergerombol duduk di area parkiran, atau di tangga-tangga menuju lantai 2-3 gedung fakultas teologi. Yang dilakukan,sejauh beta amati, adalah ngobrol (tukel), mengotak-atik laptop (tidak jelas apa yang dikerjakan dengan laptop itu) dan yang paling banyak adalah "merenungi" androidnya masing-masing sambil sesekali senyum-senyum sendiri. Tidak ada yang tampak membaca buku.
[2] Makin luruhnya tradisi akademik yang dalam dunia kampus ditandai oleh tingginya kekerapan (frekuensi) diskusi-diskusi ilmiah, baik yang dikelola oleh kelompok-kelompok mahasiswa maupun oleh dosen-mahasiswa. Bahkan undangan diskusi di luar kampus pun tak ditanggapi serius. Dampak yang paling kentara dari fakta tersebut adalah lemahnya kemampuan mahasiswa dalam mengartikulasi gagasannya di kelas, termasuk dalam merumuskan pertanyaan dan menangkap ide-ide utama yang bisa diolah sebagai argumentasi dalam menanggapi suatu isu. Penggunaan bahasa (Indonesia) yang blepotan baik secara lisan maupun tulisan, serta miskin kosa-kata, memperlihatkan secara gamblang bahwa aktivitas olah-nalar tidak berjalan seimbang antara mencerap (membaca) dan menceritakan (artikulasi/argumentasi).
Keadaan itu tidak bisa sepenuhnya ditimpakan sebagai kesalahan mahasiswa. Ada hal prinsipil yang turut menyumbang sebagai faktor penyebab memburuknya situasi itu selama bertahun-tahun. Itu adalah KETIADAAN PERPUSTAKAAN DALAM KOMPLEKS KAMPUS UKIM. Sering beta sulit mencerna secara akal sehat mengapa para petinggi kampus tidak melihat hal ini sebagai situasi gawat-darurat (emergency) bagi nafas hidup dan detak jantung aktivitas akademik di kampus. Padahal dimana-mana kita selalu mendengar slogan "Perpustakaan adalah Jantung Universitas".
Kekuatan utama universitas-universitas besar di dunia adalah "jantung yang kuat dan sehat" alias perpustakaan yang hebat. Kehebatan perpustakaan bukan pada kemegahan gedungnya melainkan pada "tali poro" atau isi koleksi literatur yang dimilikinya. Itulah yang menjadi magnet utama mengapa orang memilih studi di suatu kampus.
Ketika tahun 2015 beta menjalani program sebagai "visiting scholar" di Cornell University, New York, Amerika Serikat, rekomendasi yang diberikan oleh promotor dan co-promotor adalah karena Cornell mempunyai perpustakaan terbaik dunia terutama untuk studi Asia Tenggara dan Indonesia (bersaing dengan Universitas Leiden di Belanda dan Australia National University). Perpustakaan Olin-Kroch, salah satu gedung dari 5 gedung perpustakaan utama di Cornell, adalah gedung berlantai 5 yang memuat khusus koleksi Kajian Asia Tenggara dan Indonesia. Lantai dasar berisi naskah-naskah klasik dan arsip. Lantai 1-5 memuat berjubel literatur tentang Indonesia, yang bahkan tidak lagi bisa ditemukan di Indonesia. Tapi itulah yang membuatnya tetap "kuat" dan "unik" karena memiliki "jantung yang sehat". Selain tentu saja tersedianya ruang-ruang diskusi di perpustakaan.
Kenyataan itu menyadarkan beta bahwa persoalan terbesar dan utama membangun tradisi akademik di UKIM, pertama-tama adalah dengan memperkuat "jantung" (perpustakaan) dan menjadikannya sebagai bagian vital dan sentral dalam aktivitas akademik keseharian. Tapi bagaimana itu bisa terjadi kalau gedung perpustakaan jauh "ilang-ilang" di Kusu-kusu Sere sana? Beta saja sebagai dosen sejak awal semester sampai akhir semester ini "malas" ke sana meskipun punya kendaraan sendiri. Apalagi yang harus naik angkutan umum. Waktu menunggu angkot lebih lama daripada waktu membaca di perpustakaan Kuser.
Bagaimana mengharapkan mahasiswa membaca dan berdiskusi (tentang isu atau bahas buku) jika kondisi "jantung" dipisahkan dari "tubuh utama"? Bagaimana pula dosen mau merekomendasikan buku referensi (apalagi yang berbahasa Inggris minimal)? Sedangkan untuk yang berbahasa Indonesia saja dosen harus "memaksa" mahasiswa (karena dosen enggan meminjamkannya untuk difotokopi oleh mahasiswa) untuk membeli buku dan mahasiswa memelas agar tidak usah beli buku (dan lebih suka mengisi paket data)? Maka yang termudah adalah menggantungkan harapan pada "tete gugel" untuk mencari informasi dalam rangka membuat makalah tugas. Tak heran, semua makalah mahasiswa, bahkan skripsi dan tesis, penuh dengan catatan-kaki yang diambil dari internet begitu saja dan mengalami "busung lapar" literatur buku-buku teks.
Tahun 1847, untuk menanggapi karya M. Proudhon "Philosophy of Poverty", Karl Marx menulis sebuah risalah bertajuk "The Poverty of Philosophy". Apakah situasi yang sedang dijalani oleh UKIM, yang kehilangan detak jantungnya, saat ini juga sedang mengarah pada "the poverty of philosophy"?
Walahuallam
Ambon Banjir
Setiap kali hujan lebat mengguyur Ambon, foto-foto dan klip-klip video dampak banjir di berbagai wilayah Pulau Ambon pun berseliweran di medsos. Sekadar info bencana atau protes terhadap situasi, termasuk terhadap mereka yang punya kewenangan/kuasa/aparatur untuk mengubah situasi itu, kita tidak tahu pasti.
Ada banyak problem di balik "banjir" dan "tanah longsor", yang sudah jadi wajah suram kebanyakan masyarakat urban di Indonesia (termasuk Kota Ambon). Salah satu yang penting untuk ditanyakan adalah: Apakah ada yang tahu, bagaimana visi-misi pembangunan dan eksekusi program cepat-tanggap bencana, terutama mengenai tata ruang kota dan penanganan banjir, dari pemkot Ambon dan para cagub dan cawagub Maluku?
Setidaknya, jangan hanya spanduk dan banner saja yang "bak jamur di musim hujan" tapi saat hujan seperti sekarang ini malah tidak ada "jamur"-nya (baca: JAMinan URgensi). Setiap kepemimpinan publik harus memiliki sensitivitas untuk menetapkan jaminan urgensi (jamur) sebagai basis kebijakannya setelah melakukan pemetaan masalah dari rakyat/warga yang akan dilayaninya.
Hal itu juga menegaskan bahwa yang sudah terpilih memimpin kota ini dan yang akan maju berkompetisi di Pilkada Gubernur nanti bertanggung jawab memenuhi cita-cita yang dikampanyekan sekaligus membuka jalur-jalur aspirasi bagi persoalan-persoalan publik melalui visi-misi dan program-program pembangunan yang terukur dan realistis.
Kembali ke "banjir". Masih ada yang ingat apa solusi programatik pemkot? Dan apakah ada yang tahu dan bisa berbagi info apa saja yang "dijanjikan" para cagub/cawagub?
Atau kita puaskan diri saja "dibanjiri" janji-janji pembangunan pada "musim kampanye" dan siap siaga mengungsi setiap kebanjiran air di musim hujan?