Undangan dari Ketua Klasis Pulau Ambon Utara dan Ketua Majelis Jemaat Rumahtiga untuk berbagi dalam forum diskusi jemaat Walang PI (29/07), beta terima dengan "antusias" dan "malu hati". "Antusias" karena forum diskusi ini sudah berumur lama dengan melibatkan para pendeta, majelis jemaat dan warga jemaat. Jadi sifatnya terbuka dan informal tapi serius. Untuk itu materinya perlu disiapkan dengan baik sesuai tema yang disodorkan. "Malu hati" karena semestinya forum-forum diskusi semacam ini lebih hidup dan dinamis dalam lingkungan akademis seperti kampus. Kenyataannya, menggelar diskusi informal tapi serius dan konsisten di kampus ternyata sulit sekali. Ini impresi sementara beta. Jadi anggaplah lebih bernuansa subjektif.
Diskusi berjalan seru dan menggairahkan kendati ditemani guyuran hujan lebat. Itu pula yang justru "memberi angin" bagi kami untuk melanjutkan obrolan hingga sempat membuat moderator, Dr. Agus Kastanya, agak kewalahan membatasi percakapan yang terus mengalir seiring derasnya hujan di luar.
Beta cukup puas dengan dinamika diskusinya. Setidaknya dari situ beta menimba banyak wawasan berharga, terutama dari peserta yang bukan pendeta, mengenai isu utama diskusi. Oh ya, Walang PI kali ini kami membahas tentang "Misiologi Masyarakat Urban: Tantang-Jawab GPM". Dengan isu atau tema itu, perhatian lebih dipusatkan pada memahami realitas pembangunan jemaat dalam konteks masyarakat urban di Kota Ambon dengan seluruh dampak derivatifnya pada berbagai bidang. Pada titik-titik tertentu beberapa isu telah digarap dalam proses penyusunan renstra jemaat. Namun, pada titik-titik lain ada sejumlah dinamika konteks yang membutuhkan penanganan "darurat" yang mesti ditindaklanjuti secara taktis dan kreatif dalam sinergitas jemaat-jemaat dan klasis.
Hal menarik lain yang menantang adalah pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh peserta (yang didominasi warga jemaat GPM Rumahtiga) sangat kuat mengindikasikan perlunya pendekatan pelayanan yang komprehensif dan humanis. Maksudnya, menurut mereka, persoalan-persoalan tertentu tidak bisa ditangani semata-mata dengan selalu merujuk pada legal-standing aturan gereja sebab membutuhkan fleksibilitas atau keluwesan dalam menanggapinya. Landasannya adalah perspektif dan praksis humanisme (kemanusiaan).
Ini tampak misalnya pada kasus ibu Mien Rahakbauw di Hatu yang menderita kurang gizi tanpa mampu berbuat apa-apa karena kondisi hidup yang sangat miskin. Pelayanan kepada ibu MR tidak sempat dilakukan karena ada tarik-menarik alasan bahwa ibu MR bukan anggota jemaat setempat. Atas laporan dari seorang pemuda yang juga pegiat media, Klasis Ambon Utara bersama beberapa KMJ mengambil langkah sigap untuk menangani masalah ibu MR sampai membawanya ke rumahsakit untuk mendapat penanganan medis yang memadai serta menjamin dukungan finansial kesehatannya.
Itu contoh kasus yang kemudian menggiring diskusi kami lebih dalam menyelisik makna, perspektif dan praksis misi kristiani GPM saat ini. Banyak isu-isu lanjutan yang pada akhirnya terbuka untuk dibincangkan bersama dalam forum diskusi berikutnya. Yang jelas, kegairahan peserta untuk bincang-bincang "sersan" semacam ini penting terus dihidupkan untuk menangkap kegelisahan bersama yang pada gilirannya dapat mewujud dalam aksi-aksi kemanusiaan bersama.
Salut untuk Walang PI Jemaat Rumahtiga.
*Terima kasih untuk putriku, Kailani (3 thn), yang telah menemani selama diskusi sebagai peserta termuda dan menyimak dengan tekun*
No comments:
Post a Comment