Setiap buku punya cerita. Setiap buku punya logika. Cerita adalah pantulan pengalaman kehidupan dalam rangkaian momen-momen kesejarahan. Logika adalah gerak nalar untuk menjernihkan setiap momen tersebut. Simpul keduanya membentuk olah interpretasi yang melibatkan unsur dan aktor yang jamak. Dengan demikian, pembacaan terhadap satu buku pada hakikatnya adalah gerak hermeneutis memahami dunia-buku itu dan dunia sang pembaca buku itu. Itulah yang membuat buku mempunyai "roh"-nya sendiri, yang bergentayangan meninggalkan raga penulis/aktor untuk merasuki dunia-dunia baru pembaca yang menjadi fabrikasi wacana yang unik.
Rabu, 16 Agustus 2017, Lembaga Penelitian (Lemlit) UKIM menggelar acara peluncuran buku bertajuk "Inspirator dari Timur: Jejak Pemikiran dan Perjuangan Johannes Latuharhary dan Johannes Leimena" (UKIM Press 2017). Dalam konteks pendidikan tinggi, acara semacam ini sudah lazim. Tidak ada yang unik. Tetapi buku ini unik, dan karenanya momentum peluncuran buku ini besok, sehari sebelum peringatan Proklamasi Republik Indonesia ke-72, menjadi momentum yang unik. Apa uniknya?
Muatan buku ini bukanlah tulisan-tulisan mutakhir, tetapi bukan berarti bisa dianggap usang. Pada tahun 1995, 1996 dan 1997, secara berturut-turut UKIM menggelar Kuliah Memorial (Memorial Lecture) untuk beberapa tokoh pergerakan nasional dan kemerdekaan Indonesia asal Maluku. Profesi dan peran mereka beragam tapi komitmen mereka untuk mengukuhkan Indonesia merdeka adalah satu.
Tahun 1995 Kuliah Memorial dimulai dengan membahas "Dua Johannes" (Latuharhary dan Leimena), 1996 membahas E.U. Pupella dan Hamid bin Hamid, dan 1997 membahas J.B. Sitanala dan Duba Latuconsina. Ada semangat yang besar bahwa selepas acara itu seluruh materi yang dipresentasikan akan diolah untuk dipublikasikan. Namun, cita-cita itu pupus seiring dengan gonjang-ganjing konflik sosial yang meluluhlantakkan masyarakat Ambon/Maluku selama 1999-2005. Kampus UKIM tak luput dari dampak konflik. Sebagian besar gedung hangus terbakar dan hancur beserta isinya, termasuk arsip Kuliah Memorial tersebut.
Lama sekali peristiwa Kuliah Memorial itu hanya menjadi cerita-cerita dari mulut ke mulut dan sekadar ingatan bersama dari orang-orang yang pada tahun-tahun itu terlibat dalamnya. Sampai kemudian pada awal tahun 2017, ada seorang alumnus (yang tahun 1995 adalah mahasiswa peserta acara Kuliah Memorial) yang menemukan kembali bundel materi Kuliah Memorial "Dua Johannes" di antara tumpukan koleksi pustaka pribadinya. Arsip itu kemudian diserahkan ke pihak Lemlit UKIM, yang kemudian memutuskan untuk mengetik ulang, menyunting dan menerbitkannya tepat sehari sebelum peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI yang ke-72.
Pilihan momentum tersebut bukan tanpa alasan. Alasan yang utama adalah kedua Johannes ini (Latuharhary dan Leimena) adalah dua aktor sejarah yang turut menyumbang memberi isi "keindonesiaan" sebagai nasionalitas yang jamak. Nasionalitas semacam itu menolak determinasi konsensus kebangsaan yang hanya berpijak pada adagium basi "mayoritas-minoritas". Keduanya mampu memberi argumentasi yang kokoh dalam perdebatan sengit bersama-sama dengan perwakilan kelompok-kelompok sosial-politik-agama Nusantara bahwa pilihan mengindonesia tidak bisa dan tidak boleh disandarkan pada arogansi identitas (etnis dan agama) serta tunduk pada hegemoni monarkhi. Pilihan mengindonesia adalah pada "res-publica", yang serta-merta menjadikan Indonesia sebagai simpul kesepakatan bernegara.
Itulah yang menjadikan buku ini unik. Meskipun berisi catatan-catatan reflektif mengenai kedua Johannes tersebut yang dipaparkan pada tahun 1995, namun tetap terkandung "roh" yang menggerakkan nalar dan praksis keindonesiaan saat ini (2017 ~ 22 tahun kemudian) untuk menjernihkan kembali kesepakatan mengindonesia itu berhadapan dengan kecenderungan arogansi kekuasaan yang berupaya memangkas identitas jamak Indonesia hanya menjadi bonsai identitas monolitik di atas pijakan pseudo-logika "mayoritas-minoritas".
Rabu, 16 Agustus 2017, catatan-catatan reflektif mengenai "Dua Johannes" ini akan dipublikasikan dan ditanggapi oleh beberapa pihak. Besar harapan, publikasi buku ini akan menjadi sumber inspirasi bagi generasi muda Indonesia untuk kembali merefleksikan dan menyelami kedalaman makna dan hakikat "menjadi Indonesia" yang pernah disepakati tahun 1945. Besar harapan pula, memasuki usia 72 tahun "menjadi Indonesia" nanti tanggal 17 Agustus 2017, kita tidak hanya meriah dengan lomba makan krupuk, balap karung atau panjat pinang; atau hanya secara formalitas mengikuti upacaranya. Tapi juga mampu menebarkan harapan bahwa angka 72 bukanlah senja melainkan ufuk yang mengarahkan visi kebangsaan kita jauh ke masa depan, serta tidak mengubur cita-cita kemerdekaan itu hanya demi sebutir biji kepentingan kekuasaan yang pongah dan tamak.
Salam Indonesia!
Aku menulis maka aku belajar
Thursday, August 17, 2017
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment