Tak banyak narasi tentang Mesir yang saya tahu hingga bersua dengan sahabat-sahabat karib Murtafie Harris dan Eid Salah. Cak Harris, demikian panggilan akrab Murtafie, adalah dosen UIN Sunan Ampel, jebolan Universitas Al-Azhar Kairo Mesir. Kami satu angkatan studi di ICRS Yogyakarta dan teman diskusi yang asyik. Melaluinya banyak narasi tentang Islam dan Gerakan Islam di Mesir, termasuk pengalaman mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang belajar di sana, yang saya dengar.
Sementara Eid Salah adalah seorang pendeta Mesir Kristen. Kami bertemu dalam program International Summer School on Religion and Public Life tahun 2012, suatu program belajar bersama lintas ilmu, lintas agama dan kebudayaan serta lintas negara kerjasama UGM dan Boston University, di Yogyakarta dan Bali. Di situ saya berkenalan dan bersahabat hingga kini. Darinya saya mendapat banyak informasi mengenai Kekristenan di Mesir, melengkapi narasi tentang Islam Mesir dari Cak Harris.
Mesir punya sejarah peradaban agama-agama yang panjang. Dalam rentang historis tersebut masyarakatnya bergulat dinamis dengan realitas sosial-politik, ekonomi dan keagamaan yang kompleks. Semua faktor itu pada gilirannya membentuk karakter sosial yang khas dan cenderung keras. Tidak mudah memahami orang Mesir, demikian pernyataan kedua sahabat tadi. Fakta itu tampak jelas pada seorang "senior" angkatan di ICRS dari Mesir.
Narasi kekerasan, dengan dalih apapun, tampaknya terekam kuat dalam sejarah dan realitas Mesir, sebagaimana tercatat dalam teks-teks Hebrew Bible (Old Testament). Kontur psikologi budaya dan relasi agama-agama turut memainkan peran signifikan dalam konstruk kesadaran dan praksis hidup keseharian orang Mesir. Pada sisi lain, Mesir memperlihatkan pula kekuatannya dalam membangun tradisi dan peradaban yang mumpuni dalam pengetahuan.
Serangkaian aksi kekerasan agama beberapa waktu belakangan tentu saja mesti dilihat dalam konstelasi sosial-politik baik internal maupun eksternal, terutama di kawasan Timur Tengah. Aksi serangan bom yang disasar kepada dua gereja Kristen Koptik pada bulan April lalu, dan berlanjut dengan serangan bom Masjid Al-Rawdah di Sinai yang menewaskan 235 orang itu memperlihatkan bahwa ancaman sesungguhnya ada pada konstruk kesadaran sosioreligius yang serba absolut. Oleh karenanya bahasa keagamaan yang dialogis dan humanis tidak mampu meredam belitan tiga simpul: kuasa-agama-senjata. Dengan semua yang serba absolut, "identitas" yang sama tak cukup kuat mengikat solidaritas. Pembenaran atau justifikasi yang serba mutlak itu pun menjadi dalil teologis untuk melumat habis kekayaan kultural yang membesarkan peradabannya.
Di Indonesia, kita berprihatin atas makin beringasnya kuasa-agama menggilas modal-modal humanisme hanya demi justifikasi utopia teologis. Bahkan belakangan kita disuguhi tontonan vulgar bahwa kuasa-agama tidak selalu butuh senjata tetapi kata. Maka kita kini sementara mengunyah kata-demi-kata yang ampuh bak senjata yang menewaskan nalar kemanusiaan dan gelisah etika yang sebenarnya berfungsi menyambung matarantai nurani lintas-batas identitas.
Akankah kita juga takluk oleh senjata permainan kata-kata yang melipat nalar waras menjadi narasi-narasi kebohongan? Lantas, merasa bahwa kitalah pemegang kemutlakan paripurna untuk menentukan hidup-mati liyan. Narasi pilu Mesir yang didera kepongahan kuasa-agama-senjata banyak memberi pelajaran bagi kita orang Indonesia. Termasuk pelajaran bahwa modal humanisme pada hakikatnya tak pernah sepenuhnya pudar, seperti dentang lonceng yang menandai dukacita sekaligus membunyikan harapan bahwa kemanusiaan tak layak diluluhkan hanya demi sepetak surga.
No comments:
Post a Comment