Aku menulis maka aku belajar

Monday, February 27, 2017

Menyambut Sidang Tanwir Muhammadiyah 2017 di Ambon


Perhelatan Sidang Tanwir Muhammadiyah akan berlangsung di Ambon pada 24-26 Februari 2017 dengan mengusung tema “Kedaulatan dan Keadilan Sosial menuju Indonesia Berkemajuan”. Menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah, Dr. Haedar Nashir, sebagaimana dilansir oleh media daring Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWMU), ada empat pertimbangan: Pertama, karena Maluku sudah masuk pada fase revitalisasi gerakan Muhammadiyah; Kedua, kebutuhan pemerintah bersinergi dengan Muhammadiyah; Ketiga, ada kepentingan juga dari Muhammadiyah untuk makin memperkokoh rekonsiliasi masyarakat Maluku; Keempat, karena kawasan Maluku termasuk daerah terluar dari Negara Indonesia. Saat ini Muhammadiyah perlu memperhatikan dakwah di kawasan-kawasan terluar Indonesia. “Muhammadiyah concern untuk memikirkan dakwah di kawasan itu,” demikian pernyataan Haedar Nashir.

Keempat pertimbangan yang dikemukakan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah tersebut secara gamblang memperlihatkan substansi utama dari Sidang Tanwir tahun ini. Hal itu diperkuat oleh kemasan tema yang juga menggambarkan pokok-pokok pergulatan wacana dan program yang menjadi concern Muhammadiyah. Dengannya pula dapat dilihat bahwa apa yang menjadi concern Muhammadiyah tidak semata-mata berkutat pada dirinya sendiri tetapi mencoba melampaui batas-batas identitasnya secara realistis dalam konteks kebangsaan Indonesia dengan seluruh kompleksitas derivasi situasi problematiknya. Pada titik itulah, dapat ditemukan nisbah pergulatan wacana dan praksis kebangsaan antara Muhammadiyah dan elemen-elemen kebangsaan lain dalam konstruk sosial-politik masyarakat multikultural Indonesia.

Dakwah Muhammadiyah di Ambon

Sejauh yang saya tahu, belum banyak studi kritis mengenai sejarah dan dinamika kontemporer mengenai Muhammadiyah di Maluku atau Ambon. Hal itu berbanding terbalik dengan melimpahnya kajian-kajian dari berbagai perspektif mengenai eksistensi gerakan Islam Muhammadiyah di daerah-daerah lain, terutama di Pulau Jawa. Tentu saja tidak bisa dipungkiri fakta bahwa Muhammadiyah, yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada 18 November 1912 pada awalnya berpusat di Yogyakarta. Namun, usaha untuk memperluas cakupan ranah dakwah Muhammadiyah sebenarnya telah dilakukan ketika pengurus Muhammadiyah Residen Yogyakarta mengirim surat kepada Gubernur Jenderal yang memohon agar ruang aktivitas Muhammadiyah diperluas meliputi Hindia Belanda. Kendati permohonan itu tidak serta-merta disetujui, namun upaya meyakinkan pemerintah Hindia Belanda terus dilakukan. Hingga tahun 1925 Muhammadiyah telah memiliki 29 cabang. Ketika menggelar kongres pada 1930, jumlah cabang telah mencapai 112 dengan 24.000 orang anggota; tahun 1935 anggotanya mencapai 43.000 dengan 710 cabang; tahun 1938, jumlah cabang menjadi 852 dengan 250.000 anggota.

Pada era 1930an itu, tepatnya tahun 1933 menurut catatan sejarawan Richard Chauvel (1990:163-164), dibentuk cabang Muhammadiyah Ambon. Pembentukannya terjadi dalam konteks lokal yang sedang mengalami proses “re-Islamization”. Sebagaimana di Jawa, terjadi pula benturan ideologis-teologis gerakan purifikasi Islam vis-à-vis eksistensi Islam lokal yang secara sosiologis kerap disebut perjumpaan diametral antara kaum modernis versus kaum tradisionalis. Islam punya sejarah panjang di Maluku. Eksistensi Islam lokal terbentuk melalui pengakaran ajaran Islam dalam praktik-praktik kebudayaan lokal Maluku sehingga melahirkan suatu postur Islam yang kontekstual.

Gerakan “modernisasi” Muhammadiyah itu turut membidani lahirnya kelompok-kelompok modernis yang direpresentasikan oleh kaum Muslim urban di Ambon. Komunitas Muslim di Kota Ambon sejak dulu bukanlah komunitas yang homogen-monolitik. Chauvel mencatat bahwa komunitas Muslim di Kota Ambon terdiri dari orang Ambon, orang Arab, orang Tionghoa dan etnis-etnis Nusantara lainnya. Kelompok-kelompok etnis non-Ambon sudah ada sejak zaman VOC dan sudah kawin-mawin di antara mereka atau dengan penduduk lokal Ambon. Orang Tionghoa dan Arab mempunyai pengaruh tertentu dalam komunitas Muslim Ambon. Namun sejak era 1920an peran mereka digeser oleh kehadiran ulama-ulama Ambon. Dengan demikian, kelahiran Muhammadiyah di Ambon sebenarnya turut dibentuk oleh dinamika kemajemukan masyarakat Ambon yang turut pula membawa serta ketegangan-ketegangan internal dan eksternal pada dirinya.

Pergeseran Paradigma Dakwah Muhammadiyah

Gerakan dakwah Islam yang melembaga melalui organisasi Muhammadiyah berjalan seiring dinamika sosial-politik dan kebudayaan masyarakat Indonesia. Sebagaimana masyarakat dan elemen-elemen sosialnya bergerak secara dinamis, maka Muhammadiyah juga melakukan berbagai tajdid (revitalisasi) untuk menyesuaikan pesan-pesan dakwah Islami dengan perubahan sosial masyarakat Indonesia. Zakiyuddin Baidhawy (2011) memetakan tiga pergeseran paradigma dakwah Muhammadiyah dalam refleksi seabad perjalanan organisasi Islam ini.

Paradigma pertama adalah dakwah puritan-rasionalis. Kelahiran Muhammadiyah pada awal abad ke-20 dalam konteks masyarakat Jawa yang kental dipengaruhi cultural-mindset feodalistik telah mendorong Ahmad Dahlan melakukan dekonstruksi cara beragama menurut kaidah ilmiah. Persoalan kemasyarakatan masa itu dihadapi oleh Muhammadiyah melalui aksi transformatif al-Ma’un pada tiga ranah: [1] ranah sosial karitatif (ith’am masakin) berupa santunan makan-minum bagi fakir miskin; [2] ranah pendidikan modern (tadarrus) dengan melakukan sintesis model pendidikan keagamaan dan pendidikan sekuler untuk mengentaskan bangsa dari kejumudan; [3] ranah pelayanan sosial dan kesehatan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Rasionalisasi yang mengedepankan progresivisme tindakan inilah yang mendorong Muhammadiyah mewujudkan ajaran-ajaran agama dalam bentuk trilogi praksis sosial di atas dalam koridor “Islam berkemajuan”.

Paradigma kedua adalah puritan-reformis. Pergeseran paradigmatis terjadi menjelang akhir abad ke-20 ketika makin menguat fenomena Muhammadiyah mengkristalkan diri sebagai kekuatan ideologi dominatif. Kemerosotan moral kepemimpinan nasional selama Orde Baru menjadi batu loncatan bagi Muhammadiyah keluar dari bayang-bayang kegelapan tajdid di bidang dakwah. Dalam konteks ini, tarikan politik praktis menguat di seputar pergantian rezim. Muhammadiyah menampilkan doktrin “tauhid sosial” sebagai penegasan purifikasi jilid II dari orientasi dakwah seputar TBC (takhayul, bid’ah dan churafat) ke arah pemberangusan kultus individu dan korupsi-kolusi-nepotisme. Sidang Tanwir di Semarang (1999) menandai pergeseran perjuangan Muhammadiyah di bidang politik, yang pada gilirannya memberikan amanat penuh kepada PP Muhammadiyah untuk melakukan ijtihad politik. Amien Rais direlakan untuk melepas jabatan ketua umum dan mendirikan/memimpin Partai Amanat Nasional (PAN).

Paradigma dakwah kultural. Wacana dakwah kultural muncul dalam Sidang Tanwir di Bali tahun 2002. Dakwah kultural adalah upaya menanamkan nilai-nilai Islam dalam seluruh dimensi kehidupan dengan memperhatikan potensi dan kecenderungan-kecenderungan manusia sebagai makhluk budaya secara luas, dalam rangka menghasilkan kultur baru yang bernilai Islami sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya (PP Muhammadiyah, 2003:14). Dakwah kultural ini meliputi dua saluran utama: [1] Konvensional: menyampaikan ajaran Islam melalui ceramah, khotbah, dialog interaktif dan kegiatan tabligh lainnya; [2] Komunikasi: sebagai proses interaksi nilai dan saling mempengaruhi dalam rangka terjadinya perubahan pemahaman, keimanan dan pengalaman Islam secara individual; perubahan struktur dan norma kehidupan menuju masyarakat madani (civil society) secara sosial.

Dakwah Kultural dalam Masyarakat Multikultural

Pergeseran paradigma dakwah sebagaimana ditelisik oleh Baidhawy tersebut memperlihatkan bahwa Muhammadiyah bergerak secara dinamis menanggapi perubahan-perubahan sosial-politik dan kebudayaan dalam masyarakat Indonesia, sambil secara cermat melakukan proses embodiment ajaran-ajaran Islam (tataran normatif) sebagai upaya membumikan pesan-pesan keislaman yang transformatif dalam kehidupan masyarakat secara komprehensif.

Proses embodiment semacam itu pada hakikatnya terjadi dalam ruang dialog dan percakapan untuk mencapai mufakat bagi misi internal dan eksternal Muhammadiyah. Di situlah Sidang Tanwir menjadi arena penting untuk mengevaluasi perjalanan dan aktivitas Muhammadiyah, sekaligus menyepakati wacana dan praksis lanjutan organisasi ini bagi kemashalatan orang banyak. Variabel-variabel “kedaulatan” dan “keadilan sosial” yang tercantum pada tema Sidang Tanwir di Ambon jelas mengindikasikan keberpihakan politik dan ekonomi Muhammadiyah dalam konteks pembangunan masyarakat Indonesia yang berkeadilan. Bagi saya, di situlah terletak nisbah aksiologis antara dakwah kultural Muhammadiyah dan misi-misi kemanusiaan yang diemban pula oleh agama-agama lain di Maluku dan Indonesia.

Kran demokratisasi yang terbuka lebar sejak gerakan Reformasi 1998, telah menjadi momentum penting bagi setiap elemen kebangsaan Indonesia untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang diproklamasikan tahun 1945. Akan tetapi, harus diakui bahwa cita-cita kemerdekaan sebagai ideal type nasionalisme keindonesiaan telah banyak ditelikung oleh berbagai kepentingan sesaat dan elitis yang menggoyahkan konstruk ideologis Pancasila dan tatanan keindonesiaan yang majemuk. Apalagi jika semangat desentralisasi politik-ekonomi tidak diimplementasikan dalam format nasionalisme yang konstruktif dan egaliter. Fondasi keindonesiaan sedang digiring oleh pihak-pihak tertentu untuk ditunggalkan pada satu ideologi ahistoris, seakan-akan “Indonesia” adalah entitas geopolitik yang terjadi taken for granted, final, dan mengabaikan proses kemenjadiannya dalam trajektori historis serta matra antropologisnya.

Pada kenyataannya, setiap elemen kebangsaan – etnis, bahasa dan agama – sedang dan terus “menjadi Indonesia”, memberi makna fundamental membangun keindonesiaan melalui proses dialog dan negosiasi identitas. Dalam proses semacam itulah maka Sidang Tanwir Muhammadiyah di Ambon tahun 2017 ini tidak hanya menjadi kepentingan warga Muhammadiyah saja, tetapi juga menjadi kepentingan bersama masyarakat Maluku dan Indonesia. Simpul perjumpaan aneka identitas etnis, bahasa dan agama yang menjadi kekayaan mengindonesia itu pun terjadi karena setiap elemen kebangsaan saling menguatkan postur keindonesiaan yang multikultural ini sebagai common ground menuju Indonesia yang berkemajuan. Selamat datang di Ambon dan selamat bersidang Tanwir! Tuhan memberkati.
Read more ...

Thursday, February 9, 2017

SBY dan Sandiaga Uno

Salah satu momen "mengharukan" pada acara debat cagub/cawagub DKI Jakarta putaran kedua, menurut saya, adalah ketika paslon 3 diberi kesempatan untuk bertanya kepada paslon 1. Pertanyaan pun diajukan oleh cawagub paslon 3. Menariknya, isi pertanyaan kepada paslon 1 justru tentang apa tanggapan cawagub paslon 1 terhadap kinerja paslon 2 (yang juga sekaligus petahana). Semestinya pertanyaan tersebut dianggap tidak relevan dan bisa diabaikan oleh paslon 1 karena tidak berkaitan dengan visi-misi dan program paslon 1. Tapi pertanyaan itu tetap diladeni - tentu saja karena dianggap sebagai aji mumpung menembak paslon 2.

Apakah itu pertanyaan yang naif? Tidak. Apakah memang paslon 3 tidak siap untuk bertanya kepada paslon 1? Tidak juga. Mari kita lihat catatan berikut ini.

Perusahaan-perusahaan tambang batubara dan migas merupakan pendukung utama biaya kampanye Pilpres SBY-Boediono dalam Pemilu 2009, yang tidak jarang melabrak batas-batas sumbangan yang dibolehkan menurut Undang-undang. Jumlah sumbangan yang dapat diberikan oleh satu perusahaan atau badan usaha untuk kampanye Pilpres tidak boleh melebihi 5 milyar rupiah (UU No. 42/2008 tentang Pilpres Pasal 96 ayat 2a).

Ketentuan ini jelas-jelas dilanggar oleh perusahaan tambang batubara, PT Andaro Energy Tbk, yang total menyumbang Rp 15,235 milyar untuk kampanye Pilpres pasangan SBY-Boediono. Supaya tidak kentara, jumlah itu dipecah-pecah dalam satuan-satuan antara Rp 400 juta s.d. Rp 3 milyar a/n PT Andaro Energy Tbk, a/n perusahaan-perusahaan pemegang sahamnya (PT Saratoga Investama Sedaya; PT Triputra Investindo Arya; PT Persada Capital Investama; PT Trinugraha Thohir), serta a/n seorang komisaris yang waktu itu dijabat Djoko Suyanto, presdir Garibaldi Thohir, serta dua orang direktur, yakni SANDIAGA SALAHUDIN UNO dan Andre Johannes Mamuaya.

Siapa di balik PT Saratoga Investama Sedaya? Perusahaan investasi ini didirikan oleh Edwin Soerjadjaja dan SANDIAGA UNO, dimana Edwin menjadi preskom dengan saham 68% dan Sandiaga menjadi presdir dengan saham 32%.

Jadi, kalau ditotal, kelompok Edwin Soerjadjaja dkk menyumbang lebih dari Rp 22 milyar kepada Tim Kampanye SBY-Boediono. Ini berarti lebih dari 10% dari seluruh dana kampanye yang dicatatkan ke KPU, yakni Rp 200.470.444. Jika dikalkulasi secara keseluruhan jumlah sumbangannya lebih empat kali lipat sumbangan per kelompok yang diizinkan UU No. 42/2008.

Dengan kenyataan ini, SBY-Boediono praktis berutang budi kepada puluhan perusahaan tambang yang ikut andil mengantarkan mereka ke kursi RI-1 dan RI-2. (GJA, "Cikeas Kian Menggurita" ~ Galang Press 2011, 139-145).

Anda bisa melihat "gurita" di balik pertanyaan cawagub paslon 3 itu? Sebuah drama mengharukan, bukan?
Read more ...

Wednesday, February 1, 2017

GPM dan Gerakan Oikoumene di Indonesia

Sebagai salah satu gereja pendiri dan pendukung DGI (kemudian PGI), GPM mempunyai kontribusi signifikan dalam membangun dan memperkuat gerakan oikoumene di Indonesia. Tidak hanya partisipasi yang pro-aktif dalam program-program PGI, tetapi juga dalam memperkuat struktur kepengurusan di PGI - entah sebagai majelis pekerja harian maupun sebagai majelis pertimbangan. Sebut saja nama-nama seperti Simon Marantika, Peter D. Latuihamallo, Joseph M. Pattiasina, Dicky Mozes, Margaretha M. Ririmasse-Hendriks, hingga generasi muda Febry Tetelepta dan Henry Lokra.

Mengintip sejenak aktivitas Sidang MPL PGI yang berlangsung pada 27-31 Januari 2017 di Wisma Agrowisata Salib Putih Salatiga, cukup memberi kesan betapa pentingnya gereja-gereja yang terwadahi dalam PGI saling berbagi dan saling memperkuat melalui serangkaian "study meeting" yang membahas isu-isu kontemporer di seputar dinamika agama dan masyarakat Indonesia. Selain, tentu saja, membincang penataan organisasi gerejawi dengan karakter yang majemuk dari gereja-gereja yang menjadi anggota PGI. Dalam seluruh dinamika tersebut, tidak dapat dinafikan bahwa GPM mempunyai andil penting yang sangat diperhitungkan oleh gereja-gereja anggota PGI lainnya.

Kesadaran akan pentingnya peran GPM sebagai salah satu pilar penopang gerakan oikoumene di Indonesia - yang direpresentasikan melalui PGI - sudah pasti tidak cukup. Kesadaran itu mesti diikuti oleh pendasaran visi-misi oikoumene yang lebih luas dan berkelanjutan (sustainable) melalui partisipasi konkret untuk memperkuat PGI melalui implementasi program-program oikoumene yang berbasis pada isu-isu keagamaan, kemasyarakatan dan kebangsaan dengan spektrum jangkauan yang melintasi "oikos" sendiri. Dengan kata lain, diperlukan tindakan tegas dan berani untuk menyeberangi batas-batas kepentingan dan kenyamanan diri sendiri (in-group) dan menjejak pada ranah perjumpaan yang lebih luas dan terbuka dengan liyan (out-group). Dengannya keterlibatan GPM dalam gerakan oikoumene tidak sekadar menjadi gerakan partisipatif semata tetapi gerakan yang interaktif, asertif, kreatif dan produktif.

Keberadaan "orang GPM" dalam lingkar dalam organisasi PGI, seperti Pdt Henry Lokra dan bung Febry Tetelepta, menyisakan secuil harapan bahwa peran GPM masih bisa diharapkan. Cukupkah? Tentu saja tidak. Keberadaan mereka saat ini perlu diantisipasi untuk beberapa periode ke depan dengan mempersiapkan kader-kader oikoumene dari GPM. Ini memerlukan kedalaman visi-misi tentang oikoumene itu sendiri dan persiapan serius serta matang dari GPM untuk "mengekspor" kader-kader terbaiknya bagi penguatan gerakan oikoumene di Indonesia. Untuk saat ini kita masih bisa menarik nafas lega karena Pdt Nancy Souisa yang menjadi salah satu fasilitator Pendidikan Oikoumene Keindonesiaan (dulu: Pendidikan Kader Oikoumene), memberikan sinyal bahwa perwakilan peserta POK dari GPM akan terus diundang secara reguler dari angkatan ke angkatan. Dengan demikian, matarantai persiapan kader-kader GPM dalam arus utama gerakan oikoumene tidak terputus.

Begitulah selayang pandang dari arena MPL PGI, sambil ngobrol tentang ini-itu bersama perwakilan MPH Sinode GPM (Pdt Ates Werinussa dan Pdt Henky Siahaya), bung Febry Tetelepta, Pdt Henry Lokra, Pdt Nus Liur (GKO), Pdt John Titaley (GPIB), Pdt Izak Lambe (Gereja Toraja), dan Jeirry Sumampouw (PGI), ditemani kopi hitam dan pisang goreng.
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces