Istilah tersebut sudah sejak era 1990-an dimunculkan oleh John Titaley, Guru Besar Sosiologi Agama (dulu UKSW sekarang UKIM), untuk memperlihatkan tendensi sosiologis dan politis yang selalu berada pada ketegangan tarik-ulur antara identitas nasional dan identitas primordial dalam proses "menjadi Indonesia". Terbingkai oleh perspektif Durkheimian, Titaley masih kukuh pada tesis bahwa Indonesia sejak 1945 adalah fenomena entitas politik baru yang terbuka bagi kesetaraan setiap warga negaranya untuk mengekspresikan matra-matra religiositas dan etnisitas nusantara dalam rajutan semangat "menjadi Indonesia" yang sangat majemuk.
Mulanya istilah itu dipakai sebagai kritik Titaley terhadap corak Kekristenan Indonesia pasca-1945 yang tampaknya masih kuat berkutat dalam kubangan nostalgia kolonial sehingga mengabaikan realitas keindonesiaan sebagai konteks sosio-politis baru yang dihidupinya sejak kesepakatan menjadi Indonesia itu. Padahal nostalgia semacam itu sebenarnya memperlihatkan gejala "kejiwaan" yang tidak sehat atau tidak kontekstual, yang disebutnya sebagai "sindrom anak emas".
Secara sosiologis dan politis, istilah itu mengalami perluasan makna yang menunjuk pada kecenderungan psiko-sosial dari orang atau kelompok orang yang merasa diri besar secara kuantitatif lantas selalu merasa harus diistimewakan, dimanja, dan difasilitasi. Sindrom ini berimplikasi pada pemikiran dan tingkah-polah yang lembek dan cengeng karena selalu merasa diri benar dan lebih utama dibandingkan liyan. Sindrom ini juga menyebabkan amnesia historis bahwa dasar dari berdirinya masyarakat Indonesia ini adalah pada kesepakatan sosial-politik untuk hidup bersama dengan seluruh perbedaan yang menggelayuti identitas masing-masing.
Dalam pertemuan agamawan dan budayawan yang diinisiasi oleh Kementerian Agama RI beberapa hari lalu, istilah itu kembali disebutkan oleh John Titaley. Namun, secara kritis pula, sebagaimana dipertanyakan oleh Omar Faturahman dalam rubrik opini KOMPAS, "Lalu Apa?". Pertanyaan itu bisa dibaca sebagai kontemplasi politik untuk melangkaui sindrom itu yang rupanya belakangan ini kian menjadi jaringan "kanker kronis" yang menggerogoti semangat dan geliat keindonesiaan kita, termasuk kontemplasi "untuk apa kita memperingati hari pahlawan?".