Pengelolaan lembaga pendidikan tinggi di negeri ini rumit dan sarat tahapan serta persyaratan yang berbelit. Regulasi nasional di bidang pendidikan tinggi berubah, bertambah dan penuh tikungan yang kerap membuat banyak tenaga pendidik tergelincir. Tak jarang harus "turun mesin" alias stagnan. Salah satu tikungan itu adalah produksi publikasi berbasis penelitian yang mesti memenuhi perpindahan "persneling" secara kreatif pada tiga "gigi" tridharma perguruan tinggi.
Standar "high-class university" terus diuber dengan menggeber akselerasi pembenahan prosedur penjenjangan akademik. Ditambah dengan mimpi mengubah paradigma "teaching university" menjadi "research university". Lantas, melepas peluru-peluru publikasi ke jurnal-jurnal bereputasi, terakreditasi bahkan terindeks. Tidak semua peluru mengenai sasaran. Kurang meneliti? Mungkin ya, mungkin tidak. Kurang gairah publikasi? Mungkin tidak, mungkin ya. Masalah inti diduga adalah standar tinggi yang dipasang dan hanya bisa digenjot oleh kampus-kampus berumur panjang dan mapan, dengan akses ke sumber-sumber dana dan daya yang mumpuni. Bagi kampus-kampus minor dan swasta, perlu infus energi dan konsistensi mengejar mimpi itu.
Seabreg hasil penelitian menumpuk. Mengapa tidak dipublikasi di jurnal-jurnal internasional? Harus berbahasa Inggris. Bukankah bisa pakai jasa penerjemah bersertifikat atau kolega "native speaker"? Harus sedia dana. Belum lagi beban mengajar yang menyita waktu dan menguras energi para dosen (yang seharusnya juga meneliti dan publikasi hasil penelitiannya). Tak kurang tenaga pendidik (dosen) jebolan kampus-kampus top markotop di Amrik dan Eropa yang berkiprah di kampus-kampus Indonesia. Tapi tak cukup geliat dan gigih menerapkan model pembelajaran dari kampus-kampus luar negeri itu di kampus-kampus sendiri. Hanya pulang berbekal ijazah, foto dan cerita kuliah di luar negeri, tapi lagi-lagi stagnan dalam menggugah geliat penelitian pada dan bersama mahasiswa di negeri sendiri. Kritik keilmuan pun dibungkam oleh perburuan jabatan-jabatan struktural di kampus-kampus sendiri.
Pencapaian Al Makin ini, di antara kolega-kolega profesor muda lainnya di bidang humaniora, tentu menjadi pemicu dan pemacu untuk menantang arus regulasi pendidikan tinggi yang cukup deras untuk menghempaskan diri pada kevakuman dan rutinitas birokrasi akademik belaka. Kepiawaiannya mengelola Jurnal Al-Jamiah hingga ke tingkat pengakuan internasional, bagi beta, adalah konsistensinya untuk mengembangkan strategi mengatasi gempuran regulasi yang ketat di negeri ini. Masih teringat pesannya ketika bertandang ke Ambon: "Pengelolaan jurnal sebagai strategi pengembangan akreditasi institusi dan kapasitas dosen tidak bisa tambal-sulam. Harus ada yang nongkrongin. Kalau tidak, ya tidak pernah jadi."
Mubaarok Prof. Al Makin!
No comments:
Post a Comment