Saya tidak terlalu terkejut mendengar pernyataan Prof. Salim Haji Said saat mengulas pandangannya mengenai “cara” menerima kepulangan anggota ISIS dari Indonesia. Dari pendapat dan gesture-nya, Said tampaknya tidak menalar isu ini sebagai isu sensitif terkait pertahanan negara. Meskipun mengakui bahwa isu ini rumit sehingga – menurut beliau – terlampau sederhana jika diselesaikan hanya melalui proses hukum, tapi – ini uniknya – sebagai seorang political scholar yang matang Said tidak melihatnya sebagai persoalan ideologis. Padahal, sebagai seorang sarjana politik cum jurnalis yang matang dan telah malang melintang dalam kajian politik militer Indonesia, terutama konfrontasi militer dan kubu sosialis-komunis Indonesia di masa lampau, persoalan benturan ideologis semestinya menjadi keprihatinannya. Apalagi, jika melihat rekam jejak dan perjalanan kariernya yang sangat dekat dengan lingkaran militer Indonesia. Hal yang lebih banyak disorotinya adalah mengenai eksistensi anak-anak anggota ISIS tersebut yang seolah diasumsikan sebagai kelompok usia yang belum terkontaminasi ideologi ISIS dan hanya menjadi korban dari kebodohan orang tua mereka. Mungkin saja, Said sengaja mengabaikannya.
Lebih lanjut, dan ini perlu disikapi serius, adalah pernyataan Said mengenai mengarantina anggota ISIS asal Indonesia pada satu pulau tersendiri. Said menyebut dengan “misalnya” Pulau Buru. Penyebutan itu dilakukannya dengan menganalogikan anggota ISIS seperti tahanan politik gestapu pada era 1960an yang oleh pemerintahan Orde Baru Suharto dibuang ke Pulau Buru.
Demikian kutipannya: Apakah caranya misalnya mereka diperlakukan seperti bekas gestapu, taro di Pulau Buru? Ok? Apakah caranya yang ditaro di situ adalah mereka yang terbukti sudah membakar paspor dan ikut bertempur bersama ISIS? Dan bagaimana dengan anak-anaknya? Kalau anak-anaknya tidak ikut dibawa ke “Pulau Buru” itu (sambil menggerakkan tangan tanda petik) bagaimana kita mengatasinya?
Pernyataannya tersebut ditegaskan lagi pada bagian akhir: Nah, kita punya pengalaman-pengalaman yang siapa tahu bisa digunakan. Misalnya, tadi saya sebut, kalau kita takut nanti pulang orang itu ngaco, dikarantina saja, misalnya di Pulau Buru.
Meskipun menempatkan “Pulau Buru” sebagai sebuah analogi dengan referensi “pengalaman-pengalaman masa lalu”, namun diksi geografis-ideologis tersebut dengan jelas memperlihatkan nalar kolonial yang kuat mencengkeram perspektifnya. Saya menyebutnya sebagai nalar kolonial karena Said menggunakan lensa penundukkan kesadaran yang dilakukan penguasa pada masa lampau untuk memahami realitas politik global pasca Perang Dingin yang dalamnya identitas “Indonesia” terlibat. Pada nalar kolonial itu problem politik global yang menciptakan “monster-monster ideologis” baru disimplifikasi hanya sebatas masalah partisipasi parsial sehingga ihwal “kepulangan” kelompok-kelompok pemberontak ini tidak dianggap serius. Bandingkan saja dengan bungkamnya analisis-analisis politik mengenai tindakan tegas negara terhadap kelompok-kelompok yang dicitrakan sebagai “kelompok separatis”, yang lebih banyak diarahkan ke wilayah Indonesia Timur, seperti RMS dan OPM. Akan tetapi, benarkah itu tidak dianggap serius? Saya meragukan seorang akademisi sekaliber Salim Said tidak melihatnya sebagai ancaman serius. Saya condong melihatnya sebagai kesengajaan analisis yang memperlihatkan ambiguitas peranan negara dalam menyikapi kekuatan ideologis vandalisme yang diusung oleh ISIS.
Yang lebih buruk pada nalar kolonial Said adalah pengerasan dikotomis antara “keadaban” yang direpresentasikan oleh Indonesia Barat (terutama Jawa) dan “kebiadaban” yang direpresentasikan oleh Indonesia Timur (terutama Maluku dan Papua). Tidak hanya memposisikan Indonesia Timur (Pulau Buru) dalam konstruksi kesadaran keterasingan dan karenanya layak – seperti masa Orba – dijadikan sebagai tempat pembuangan tahanan politik, tetapi menciptakan dan mempertegas imajinasi kepulauan Maluku (terutama Pulau Buru) sebagai terra nullius.
Secara antropologis, nalar kolonial semacam ini menafikan dimensi kemanusiaan masyarakat lokal – dengan seluruh kejamakannya – di kawasan kepulauan ini. Dengan demikian, semua yang diputuskan di dan didatangkan dari “Jakarta” adalah suatu misi pengadaban masyarakat lokal. Jika mengikuti nalar kolonial Said yang berulang kali menyebut “Pulau Buru” maka kelompok ISIS yang akan (atau sudah?) pulang mesti menjalani sebuah program “cuci otak”, entah dengan cara apa, yang sama sekali tidak memperhitungkan dinamika sosial-politik-ekonomi pada kawasan Pulau Buru sebagai bagian dari Provinsi Maluku tahun 2020.
Sulit membayangkan implikasi ideologis dan sosiologis imajinasi dan nalar kolonial semacam ini yang dilontarkan oleh seorang akademisi kawakan seperti Salim Said. Imajinasi dan nalar kolonial yang dibungkus oleh kemasan akademis (karena dilontarkan oleh seorang professor) akan menjadi legitimasi politik yang melanggengkan cara pandang kawasan timur Indonesia sebagai wilayah “kebiadaban”. Dengan kata lain, tidak ada apapun yang baik dari wilayah timur Indonesia kecuali citra keterbelakangan, ketertinggalan, dan kebodohan.
Pada titik itu, pernyataan yang dilontarkan oleh Prof. Salim Said harus diminta untuk diklarifikasi terutama oleh Pemerintah Provinsi Maluku dan Pemerintah Kabupaten di Pulau Buru. Jika tidak, stigmatisasi “keterbelakangan”, “kebodohan” dan “kebiadaban” akan terus menjadi alat legitimasi politik yang melemahkan potensi kemanusiaan masyarakat Maluku. Lantas, dengan semua itu Maluku dipandang secara instrumentalis sebagai wilayah yang hanya layak dieksploitasi tanah, hutan dan lautnya sembari mengabaikan pengembangan kualitas hidup masyarakat manusianya – sebuah terra nullius yang pada akhirnya hanya menjadi tong sampah untuk menampung kelompok-kelompok pengusung ideologi sampah yang jelas-jelas telah meludahi Indonesia dan membuang kotoran busuk ke muka pemerintah Indonesia.
Aku menulis maka aku belajar
Tuesday, February 11, 2020
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment