Waktu masih menunjuk sekitar 5.45 WIB ketika bus Surabaya-Semarang menurunkan saya di Jetis Kota Salatiga. Badan cukup lelah. Saya dan Stevy Likumahwa telah menempuh pelayaran dengan KM Rinjani klas ekonomi selama empat hari Ambon-Surabaya. Stevy langsung ke Jakarta dan akan menyusul ke Salatiga. Saya langsung ke Salatiga.
Saya bingung. Ini kali kedua menginjak kota sejuk ini. Tapi kunjungan pertama hanya mengikuti seminar selama 2 hari beberapa tahun silam sebelumnya. Saya memanggil seorang pengayuh becak dan meminta mengantar saya ke Asrama Kartini 11A (Askarseba). Tidak ada ponsel saat itu. Saya hanya mengandalkan percakapan terakhir dengan John Titaley (JT) sebelum meninggalkan Ambon. Setelah bertanya ke petugas satpam, saya diarahkan ke perumahan dosen tempat JT tinggal. Saya diterima JT dan ibu
Ida Imam
. Setelah menyeruput teh hangat dan sarapan, JT menelepon pak Slamet dan menanyakan tentang kamar di Unit 7 (Pascasarjana). Tak lama setelah itu, JT sendiri mengantar saya berjalan kaki menuju Unit 7 kamar 701.Itulah hari saat hidup saya selanjutnya terhubung dengan Satya Wacana. Saya dan Stevy Likumahwa adalah 2 mahasiswa pascasarjana di antara beberapa mahasiswa (S1) lainnya yang saat itu ditolong oleh UKSW untuk menyelesaikan studi pascasarjana yang terhambat karena situasi Ambon yang sedang bergolak oleh konflik sosial. Status kami adalah mahasiswa titipan. UKSW saat itu berani menerima kami dan mengelola kehadiran kami sedemikian rupa sehingga dapat disesuaikan dengan sistem pendidikan yang berlaku di kampus itu. Kami diberi waktu hanya sekitar 6 bulan untuk menyelesaikan penulisan tesis. Biaya studinya? Dalam satu kunjungan ke Australia, JT mengontak beberapa mahasiswa Maluku yang sedang studi di sana. Salah satunya adalah
Marthin Nanere
(sekarang mengajar di La Trobe University Australia). Dari hasil pertemuan singkat itu, ada komitmen untuk membantu biaya hidup kami berdua selama di Salatiga dan UKSW memberikan sejumlah dispensasi biaya studi.Askarseba Unit 7 kamar 701 menjadi saksi pergulatan studi saya siang dan malam untuk mengolah semua data yang telah saya kumpulkan, menganalisis, dan menyusunnya bab demi bab hingga selesai menjadi tesis. Komunitas Askarseba adalah keluarga bagi saya.
Sejak saat itu, Salatiga dan UKSW ternyata menjadi "ruang kehidupan" bagi saya dan keluarga saya.
Nancy Souisa
menyelesaikan studi S2 di UKSW dan kemudian melanjutkan tugasnya sebagai Direktur Pelaksana (Dirlak) Persetia di Jakarta selama 2 periode (10 tahun). Tahun 2012, ia melanjutkan studi S3 juga di UKSW, sementara saya setahun sebelumnya (2011) sudah berproses di ICRS-UGM Yogyakarta. Kami mengontrak rumah kecil di Perum Purisatya Permai. Setiap 2 minggu saya bolak-balik Yogya-Salatiga dengan sepedamotor Suprafit bekas yang saya beli di Yogya. Sekarang (2020), putra kami, Kainalu Gaspersz
, melanjutkan kuliahnya di Prodi Hubungan Internasional, FISKOM UKSW. Putri kami, Kailani Gaspersz, lahir di Salatiga. Ibu Ida Imam menjadi orangtua pertama yang menengok Nancy di RSIA Mutiara Bunda karena saat itu saya sedang menjalankan tugas di GKI JenSud.Ketika melihat kembali jejak-jejak langkah yang saya jalani hingga saat ini, sulit untuk tidak melihat UKSW sebagai "rumah kehidupan" saya, meskipun saya hanya setengah alumni. Dengan seluruh narasi sejarahnya yang panjang selama 64 tahun, saya bangga telah menjadi bagian dari kampus ini yang dalam banyak hal telah membentuk corak intelektualitas saya dan memperkokoh persaudaraan yang cerdas dan elegan dalam komunitas kampus yang multi-identitas.
Tahun 2014, saya, Nancy Souisa,
Izak Y. M. Lattu
dan Tedi Kholiludin
menginisiasi sebuah buku antologi sebagai penghormatan kepada John Titaley. Waktu itu usia beliau genap 64 tahun. Banyak yang bertanya: Mengapa tidak dibuat tepat 65 tahun? Kami tidak tahu jawabnya. Waktu itu tujuan kami hanya ingin memberi "kado" kepada JT. Untunglah, Romo Mudji Sutrisno, SJ yang bersedia memberi endorsement membantu menjawab dalam catatannya yang terpasang di sampul belakang buku itu: "64 tahun dalam kebijaksanaan Jawa adalah usia tumbuk, artinya bertemulah 'spiritual depth and life wisdom' dari Allah Sang Pencipta."Dari sejumlah orang yang kami kontak, ada 19 orang yang pernah belajar di UKSW di bawah asuhan JT yang bersedia menulis. Uniknya, tidak ada honor bagi para penulisnya. Sebaliknya, setiap penulis urunan untuk biaya cetak dan publikasinya. Saya dan Tedi Kholiludin menjadi editornya. Biaya cetak ternyata tidak cukup. Alhamdulilah,
Sumanto Al Qurtuby
yang waktu itu rezekinya lagi meroket karena sudah menjadi profesor di Universitas Notre Dame AS, mengirim sejumlah dolar AS, sehingga akhirnya buku itu bisa dicetak dan terbit meski oplahnya terbatas sekali.Hari ini kami sekeluarga mengucapkan Selamat Ulang Tahun ke-64 UKSW! Semoga ini juga menjadi "usia tumbuk" dimana "spiritual depth and life wisdom" dari Allah Sang Pencipta bertemu dan tetap menjadi berkat bagi dunia pendidikan tinggi Indonesia.
** Mengenang sahabat Stevy Likumahwa yang beberapa bulan setelah wisuda S2 menjadi korban penyerangan kelompok tak dikenal di rumahnya.