Ketika daya gravitasi Jakarta itu menyedot seluruh darah kebhinekaan Indonesia ini maka yang tersisa hanyalah wacana tunggal yang terpusat di seputaran Monas saja. Pesona keindonesiaan yang jamak identitas dan merentang jauh dari orbit Jakarta itu pun nyaris terabaikan dan dibisukan. Ini bukan semata soal agama. Ini lebih pada soal apakah kita masih bisa melanjutkan kesepakatan kita mengindonesia dengan cara-cara barbar di sebuah era ketika manusia-manusia di belahan lain bumi ini sedang genit dengan artificial intelligence dan garang mengumandangkan akar-akar hak asasi manusia. Ini juga bukan problem mayoritas-minoritas, karena sedari awal fondasi republik ini tidak dirajut dengan benang-benang sentimen mayoritas-minoritas tapi pada rasa hormat yang dalam terhadap multi-identitas yang menyusun berbagai kromosom kebudayaan, lokalitas, religiositas, dan nasionalitas menjadi darah-daging-tulang republik ini. Secara faktual-historis, tubuh republik ini tak putus didera pukulan dan bacokan sentimen-sentimen primordial. Kendati terhuyung-huyung dengan luka dan lebam di sekujur tubuhnya, kita masih bersikukuh untuk bertahan. Tapi, sampai kapan?
Jika daya gravitasi Jakarta masih kuat mempesona dan memabukkan hingga mata kita kian rabun, telinga kita makin tuli dan rasa kita makin tumpul terhadap hakikat mengindonesia ini, tidakkah kita sedang mengubur hidup-hidup utopia “menjadi Indonesia”? Padahal utopia itu kita butuhkan sebagai pengingat kewarasan bahwa tidak ada spesies übermensch yang atas nama tuhan apapun bisa menggilas nilai-nilai kemanusiaan dari manusia lainnya. Rakyat republik ini dalam kemenjadian historis dan antropologisnya telah menaruh hormat dan rasa percaya kepada segelintir orang yang didefinisikan sebagai “pemerintah”. Di dalam sikap hormat dan rasa percaya itu terkandung harapan besar bahwa teladan-teladan kepemimpinan yang visioner dan manusiawi akan menentukan orientasi pengelolaan kekuasaan yang rumit, kusut dan saling berbenturan. Di situlah daya gravitasi Jakarta mesti diinterupsi agar semua kita belajar dan terbiasa untuk membaca Indonesia bukan dengan kacamata kuda “Jakarta”, tapi memperbesar retina keindonesiaan untuk mencermati dengan jeli lokalitas-lokalitas yang menggeliat mencari bentuk-bentuk mengindonesia yang belum tuntas ini.
Mencari pembenaran sepihak dengan telunjuk yang menuding “gerakan pemberontak” atau “gerakan teroris” hanya akan menguak luka-luka bernanah ketidakadilan yang dikorek dengan moncong-moncong senjata. Persoalannya sudah tentu tak akan pernah berakhir di ujung senapan. Luka-luka ketidakadilan itu akan terus menjadi kudis-kudis yang harus digaruk dengan jumawa dan membuat siapapun nekat melakukan pembelaan terhadap harga diri yang dibenamkan dalam lumpur kemiskinan yang pekat.
Rakyat negeri ini memberi kepercayaan yang besar kepada segelintir orang yang disebut “pemerintah” untuk menggunakan kewenangan mereka menjaga harkat dan martabat kemanusiaan yang terus menghidupi utopia “menjadi Indonesia” ini. Kepercayaan itu sudah seharusnya dijalankan sebagai mandat kuasa demi mempertahankan makna asasi manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat, dengan rentang optikal kebangsaan dari ujung timur hingga ujung barat geografis Indonesia. Kepercayaan itu seharusnya pula berfungsi dengan kesadaran bahwa Indonesia bukan Jakarta [saja], tapi beragam lokalitas yang menopangnya sebagai pilar-pilar eksistensial, bukan instrumental belaka.
Pada titik itu, solidaritas kepada korban-korban yang berjatuhan di negeri ini tidak lagi menjadi kontestasi yang terbungkus oleh kemasan primordial etnis atau agama, tapi karena keprihatinan akan makin luruhnya rasa cinta dan hormat kita pada kemanusiaan yang asasi demi secuil kuasa yang diperebutkan dengan rakus.
No comments:
Post a Comment