Euforia dukung-mendukung para penggemar sepakbola selama perhelatan kompetisi semacam Piala Dunia atau Piala Eropa adalah sesuatu yang lumrah dan terjadi di banyak tempat. Di Indonesia, para pendukung kesebelasan favorit atau timnas suatu negara bahkan membentuk klub-klub penggemar (fans). Sebut saja “Aremania” di Malang, “Bonek” di Surabaya, “Bobotoh” di Bandung, “JakMania” di Jakarta dan sejenisnya di kota-kota lain. Fanatisme para pendukung kesebelasan kota/daerah tampak dari berbagai kreativitas yang mereka ciptakan untuk memperlihatkan kadar kecintaan mereka, mulai dari kostum hingga yel-yel saat menonton kesebelasan favorit mereka berlaga. Di sisi lain, ekspresi dukungan kepada klub-klub sepakbola mancanegara dan/atau timnas negara lain tidak seheboh yang dilakukan para pendukung klub sepakbola kota-kota seperti yang disebutkan tadi. Aktivitas mereka kebanyakan terpusat hanya pada momen-momen perhelatan laga sepakbola mancanegara (Piala Dunia, Piala Eropa, Copa America), seperti nobar (nonton bareng).
Para pendukung atau penggemar sepakbola di Kota Ambon memperlihatkan fenomena yang unik. Sudah lama ajang kompetisi sepakbola di Maluku/Ambon vakum. Entah apa faktor utama penyebabnya. Sejauh ingatan beta, hingga awal 1990-an masih terdengar aktivitas sepakbola lokal yang tergabung dalam Persatuan Sepakbola Ambon (PSA) dan sejumlah klub-klub sepakbola lokal. Namun, pada awal 2000-an tidak lagi terdengar ajang kompetisi liga sepakbola Ambon yang mampu menggedor semangat dukungan atau fanatisme pada klub-klub lokal. Kendati demikian, beberapa desa (seperti Tulehu) masih konsisten menggelar pertandingan klub-klub lokal antardesa meskipun gaungnya sayup-sayup. Bisa jadi, kondisi itu pula yang membuat gerah para pesepakbola lokal berada di Ambon, lalu memutuskan hengkang untuk berkelana di klub-klub papan atas/tengah berbagai kota di Pulau Jawa. Ada pula yang berhasil lolos seleksi bergabung dengan timnas Indonesia.
Dengan kenyataan itu, maka eforia para pendukung/penggemar sepakbola di Kota Ambon yang diperlihatkan melalui berbagai ekspresi yang extraordinary, seperti pemasangan profile picture secara massif di medsos dengan menggunakan kostum timnas Belanda, pengibaran bendera Belanda di pohon atau tiang di banyak kampung, dan konvoi massal saat timnas Belanda unggul, menjadi suatu pemandangan yang ganjil. Ekspresi sejenis tidak diperlihatkan pada klub-klub lokal atau nasional, meskipun terdapat pemain asal Maluku di situ. Eforia massif itu juga pada kenyataannya tidak berdampak pada kanalisasi dukungan yang memotivasi pemerintah kota, pemerintah provinsi atau pemangku kepentingan lainnya untuk menghidupkan kembali kompetisi liga sepakbola Maluku yang didesain untuk merekrut potensi-potensi muda pesepakbola lokal, mendesain skenario pembinaan sepakbola Maluku, merancang dan mengeksekusi pertandingan-pertandingan sepakbola antarklub lokal sebagai strategi pembentukan kapasitas pesepakbola muda Maluku. Terlebih penting, energi para penggemar sepakbola itu mampu ditransformasi menjadi financial support yang mendongkrak perekonomian lokal melalui kreasi merchandise dan lain-lain.
Mengapa fanatisme para penikmat sepakbola di Ambon begitu kuat mengarah pada kesebelasan nasional Belanda? Ini sebenarnya pertanyaan klasik, yang telah ditanggapi dengan berbagai jawaban. Tulisan Hermien Soselisa dan Wellem Sihasale bertajuk “Orang Ambon, Nasionalisme dan Piala Dunia: Kajian tentang Karakter Budaya dan Pemosisian Orang Ambon dalam Ruang Nasional dan Global” dalam Tim Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, Menelusuri Identitas Kemalukuan (Yogyakarta: Kanisius, 2019) menyajikan ulasan analitis menarik. Menurut Soselisa dan Sihasale, fanatisme berlebihan pada timnas Belanda dipengaruhi oleh sejumlah faktor, yaitu (1) Sejarah panjang hubungan orang Ambon dengan kolonialisasi Belanda yang membentuk pola relasi menyeluruh (akulturasi dan asimilasi); (2) Peristiwa migrasi sekitar 12.500 orang Maluku ke Belanda pada tahun 1951, yang hingga kini telah berada pada lapisan generasi keempat dan masih menjalin relasi dengan kerabat mereka di kampung-kampung; (3) Terbentuk asosiasi dengan tim Belanda karena komunitas Maluku di Belanda sebagian besar adalah pendukung tim Belanda, yang makin kuat ketika ada sejumlah pemain tim Belanda yang mempunyai salah satu orangtua (ayah/ibu) dari komunitas Maluku di Belanda.
Pada perspektif yang lebih meluas, fenomena fanatisme sepakbola di seluruh dunia telah menjadi perhatian sejumlah peneliti cultural studies. Salah satunya adalah buku karya Desmond Morris, The Soccer Tribe (1981). Di dalamnya ia mengulas para pemain dan manajer, direktur dan pelatih, pendukung dan penggemar (fans), serta permainan itu sendiri seolah-olah ia sedang mengobservasi satu suku asli. Analogi yang digunakannya sahih: sepakbola punya ritual dan upacara, keyakinan dan tahyul, seperti suku terasing dengan kebudayaan yang eksotik. Morris menyajikan narasinya tentang sepakbola sebagai padanan pola perburuan masa purba. Selain teks, buku Morris ini diimbuhi dengan banyak foto dan terbagi menjadi bab-bab ringkas: The Tribal Roots, The Tribal Rituals, The Tribal Heroes, The Tribal Trappings, The Tribal Elders, The Tribal Followers. Salah satu ulasan yang cukup menyentil adalah “The Soccer Match as a Religious Ceremony”: The grass that grows on the soccer pitch is often referred to as ‘the sacred turf’, and the stadium is called ‘the shrine’. Star players are ‘worshipped’ by their adoring fans and looked upon as ‘young gods’.
Meskipun sudah menjadi buku klasik tentang analisis kebudayaan tentang sepakbola, dibandingkan dengan karya Franklin Foer, How Soccer Explains the World: An Unlikely Theory of Globalization atau Tamir Bar-On, The World through Soccer: The Cultural Impact of a Global Sport, karya Desmond Morris tetap penting untuk menjadi rujukan memahami fenomena sepakbola dan para fans-nya di seluruh dunia, termasuk di Ambon. Maka segala bentuk ekspresi bising yang diperlihatkan para pendukung berbagai timnas pada perhelatan Piala Eropa 2021, terutama para fans tim Belanda di Ambon, ini tampaknya merefleksikan mentalitas tribalisme dalam masyarakat modern saat ini. Atau mungkin makin bertransformasi menjadi sebentuk religiositas kontemporer masyarakat saat ini yang menggeser peran tuhan, klerus dan tatanan ritualnya?
No comments:
Post a Comment