Sejarah dan dinamika setiap universitas di seluruh dunia selalu ditandai oleh dialektika antara kejumudan ilmiah dan interpretasi etika praksis keilmuan. Kejumudan ilmiah melatih cara berpikir metodik dalam prosedur yang disiplin secara ketat agar darinya ilmu pengetahuan yang diproduksi terukur valid dan objektif secara epistemologis. Di sebelah lain, interpretasi etika praksis keilmuan menguji seluruh bangunan epistemik ilmu pengetahuan itu agar tetap mengawal nilai-nilai etis yang setia pada hakikat eksistensial manusia dan kemanusiaannya. Itulah yang menjadikan suatu universitas menjadi poros ontologis-epistemologis-aksiologis yang bergerak spiral dalam meninjau realitas kompleks yang dihidupi oleh alam semesta (universe). Semuanya terhubung bukan sebagai mesin produksi atau bengkel yang hanya memproduksi teknologi. Namun bersamanya, ada kepatutan-kepatutan (virtues) etika dan moralitas sehingga teknologi itu tidak terperangkap menjadi media dehumanisasi (homo homini lupus).
Read more ...
Pergulatan tiga poros itulah yang tercermin dalam buku ini, sebagai catatan reflektif Harvey Cox, seorang filsuf etik Protestan, ketika dia diminta untuk menyajikan matakuliah “Jesus and the Moral Life” di Universitas Harvard. Kendati dalam sejarahnya universitas ini didirikan oleh kelompok Puritan yang cukup fanatik, tapi seiring perjalanan waktu nilai-nilai etika keagamaan (Protestan) kian tergusur di pojok kampus ini. Malah, Rektor James B. Conant (1933-1953, Rektor ke-23) menghapusnya sama sekali. Mungkin sejak itulah Universitas Harvard tampil di atas panggung sejarah keilmuan dunia dengan secara murni menggarap kerja-kerja penelitian dan melahirkan temuan-temuan saintifik yang membuatnya sebagai kampus ternama dunia hingga kini.
Bagi Cox, undangan untuk menyajikan matakuliah “Jesus and the Moral Life” di kampus ini adalah sesuatu yang mengejutkan setelah kata "Jesus" menghilang dari diskursus di kampus ini selama 70 tahun (terakhir oleh Prof. George Santayana yang hengkang dari Harvard tahun 1912). Dia mengira bahwa untuk kampus sekaliber Harvard, matakuliah ini mungkin hanya dianggap sebagai diskusi usang. Namun, animo yang besar dari mahasiswa dan civitas akademika Harvard untuk mengikuti matakuliah ini mengubah keterkejutannya menjadi suatu kesadaran bahwa ada ruang epistemik dan eksperisial yang kosong di antara hiruk-pikuk diskursus keilmuan yang selama ratusan tahun telah terbangun di Harvard. Ruang epistemik dan eksperiensial itu penuh sesak dengan pertanyaan etis yang selama ini dibiarkan senyap dan menguap di antara temuan-temuan keilmuan dan teknologi yang membara secara global.
Buku ini adalah eksplorasi filsafat etis Harvey Cox dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan ilmiah mengenai: Apa pentingnya suatu universitas menyajikan matakuliah etika? Seberapa besar etika mengimbangi geliat temuan teknologis sehingga manusia tetap menjadi “existential being” dan tidak terperosok menjadi sekadar “instrumental being”? Pada pijakan ontologis seperti apa, nilai-nilai etik (yang dalam hal ini bersumber pada Protestanisme) mampu membentuk karakter akademisi yang bergulat dengan dinamika keilmuannya sambil menyadari interkoneksitas temuannya dengan nilai-nilai kemanusiaan, sehingga implikasi temuannya terarah pada konstruksi peradaban yang menghidupkan, bukan menghancurkan? Sejumput pertanyaan-pertanyaan inilah yang digumuli dan dielaborasi oleh Cox dalam buku lawas dengan judul yang agak genit ini: When Jesus came to Harvard (2004).