Aku menulis maka aku belajar

Thursday, February 9, 2023

Heka-Leka: Telusur Makna Teologis dalam Ide Kebudayaan Maluku




Kontekstualisasi teologi merupakan pergumulan gereja yang tumbuh dalam suatu konteks kebudayaan di suatu tempat dan pada masa tertentu. Kontekstualisasi teologi dapat dipahami sebagai desakan agar seluruh ekspresi kehidupan manusia yang termanifestasi dalam berbagai matra kebudayaan mampu dimaknai sebagai pantulan iman kepada Allah. Dalam perkembangannya, wacana kontekstualisasi teologi berproses dalam berbagai benturan dan kritik yang melahirkan beragam pendekatan dan model. 

Studi ini merupakan bagian dari upaya memaknai “teologi” sebagai ekspresi hidup beriman yang digali dari pandangan dunia suatu masyarakat yang sedang bergumul dengan eksistensi dan identitas kristiani vis-à-vis kebudayaan atau adat. Pergulatan melalui adat telah membentuk karakteristik misi dan eklesiologi yang khas dalam sejarah gereja di Maluku. Di Maluku, khususnya Ambon, pengertian “adat” mencakup keseluruhan arti dari hukum adat, kebiasaan (mores) dan kebiasaan umum (folkways), kendati dalam praktik lebih mendekati pengertian “kebiasaan”. Adat juga dipercaya sebagai tradisi warisan leluhur yang menegakkan persekutuan komunitas negeri dan menjadi pola hidup generasi seterusnya. Interpretasi budaya atas adat dan realitas hidup sosial sehari-hari sangat dipengaruhi oleh pandangan dunia (worldview) masyarakat setempat. Pandangan dunia terbentuk sebagai refleksi atas pengalaman hidup masyarakat dalam sejarah dan konteks sosial setempat, juga dari hasil perjumpaan dengan liyan dari berbagai kebudayaan lain. 

Salah satu bentuk pemahaman atas realitas keseharian dan penafsiran makna simbolik membentuk pandangan dunia yang disebut heka-leka, yang secara harfiah berarti “perang /pecah (heka) untuk dilahirkan kembali (leka)”. Secara implisit konsep heka-leka dapat ditemukan dalam setiap masyarakat (dengan terminologi yang beragam). Di Ambon-Lease, khususnya di Negeri Naku yang menjadi fokus penelitian, heka-leka itu tidak lagi begitu dikenal meski secara intrinsik tetap menjadi bagian dari struktur kesadaran adatis dan sosiologis. Selain muncul dalam ungkapan-ungkapan sehari-hari, pandangan heka-leka ini secara mendasar termanifestasi dalam tiga kategori, yakni [1] dalam sistem kepercayaan, [2] dalam narasi mitologi/ritual dan [3] dalam realitas pengalaman sehari-hari. 

Pencarian makna heka-leka melalui penelusuran ketiga kategori tersebut, yang tercermin dari jaringan makna sistem sosial, membawa pada suatu kristalisasi makna yang substansial. Sebagai suatu konsep kebudayaan partikular, heka-leka ternyata menjadi representasi kesadaran reflektif kemanusiaan universal yang mencakup nilai-nilai sebagai berikut: keberanian untuk hidup dalam perbedaan (koeksistensi), menampung ketegangan (dialektis), menjaga keseimbangan (harmonis), berpengharapan (optimis), menentang dominasi (ekualitas) dan menolak kemapanan (dinamis). Nilai-nilai tersebut memberi peluang untuk dijadikan dasar bagi refleksi teologis yang dibangun dari praksis kebudayaan. Dalam hal ini, teologi kontekstual tidak hanya dipahami sebagai suatu ikhtiar pempribumian teologi belaka melainkan penggalian hakikat berteologi itu sendiri dalam kebudayaan lokal yang menjadi arena pergulatan kemanusiaan universal pada suatu konteks partikular.

Teologi yang direfleksikan oleh manusia dalam masyarakat tersebut kemudian juga akan dipakai untuk melakukan kritik terhadap komitmen gereja untuk menjadi bagian dari pergulatan riel manusia dalam konteksnya. Jadi, praksis berteologi tidak semata-mata hanya bersinggungan dengan matra-matra dogmatis dan ritual gereja, tapi lebih jauh dapat menjadi kritik budaya berhadapan dengan fenomena sosial kemasyarakatan yang di dalamnya gereja juga mengambil bagian dan berfungsi kritis-kreatif. 

Studi ini merupakan salah satu pantulan eksistensial dan kultural mengenai pokok pergumulan misiologis gereja-gereja yang hidup dalam suatu ranah kebudayaan lokal (Maluku). Jalan panjang sejarah telah membuktikan bahwa hakikat kedirian gereja sebagai suatu entitas religius tidak dapat membentengi diri dari desakan penetrasi nilai-nilai kebudayaan manusia. Demikian pula dengan fenomena pergolakan-pergolakan ideologis sepanjang sejarah gereja di Maluku yang sampai saat ini terus berada dalam ketegangan historis dan kultural yang menggumpal dalam berbagai corak sikap dan pandangan terhadap dialektika Injil dan kebudayaan. Konsern itulah yang mendorong penulisan buku ini sebagai upaya untuk menelusuri matra kebudayaan lokal sebagai basis merekonstruksi refleksi teologis yang penad. Tentu dengan segala konsekuensi dan keterbatasan karena kebudayaan itu sendiri merupakan ekspresi manusiawi yang tidak bebas nilai. Pada titik itulah, karya ini menjadi simpul pertemuan berbagai kritik teologi dan kebudayaan.

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces