Aku menulis maka aku belajar

Tuesday, April 15, 2008

Perlukah Yesus [yang] Historis itu?


Sejak akhir Januari 2008, BPK Gunung Mulia menyelenggarakan acara bedah buku Adji A. Sutama bertajuk "Yesus Tidak Bangkit? Menyingkap Rekayasa Yesus Historis dan Makam Talpiot". Sampai Sabtu lalu (12 April 2008), kami sudah menyambangi 4 gereja – masih sebatas GKI – yaitu GKI Surya, GKI Pondok Indah, GKI Serpong dan GKI Pamulang.

Bagi saya, acara bedah buku ini merupakan pengalaman yang mengasyikkan. Pertama, saya berkenalan dengan teman-teman baru dari segala jenjang usia; Kedua, saya memperoleh wawasan-wawasan baru di seputar teologi jemaat yang selama ini terkesan tersegregasi dari wilayah teologi akademis yang dikaji dalam lingkungan pendidikan formal teologi; Ketiga, kegelisahan teologis saya menyeruak kembali dalam diskusi bersama dengan penulis dan penanggap. Penanggap pada bedah buku perdana adalah Prof. Dr. Martin Harun, OFM (pakar biblika dari STF Driyarkara); pada bedah buku kedua adalah Rm. Dr. Dessi Ramadhani, SJ (dosen STF Driyarkara dan penulis buku "Injil-injil Rahasia"); sedangkan pada bedah buku ketiga dan keempat adalah Pdt. Anwar Tjen, Ph.D (konsultan LAI). Saya sendiri menjadi moderator. Hanya pada bedah buku terakhir di GKI Pamulang, saya ditodong menjadi pembahas kedua.

Buku Adji A. Sutama ini mempunyai fokus yang terbatas, yaitu mengkritik ulasan James Tabor dalam bukunya "Dinasti Yesus" (Gramedia, 2006). Anda bisa membaca resensi buku "Yesus Tidak Bangkit?" dalam weblog saya http://katabuku.wordpress.com. Menurut saya, buku Adji Sutama ini merupakan kritik yang tajam dan padat dengan data. Adji Sutama sedapat mungkin menjaga konsistensi metodologisnya, sehingga dalam beberapa hal buku ini menjadi agak "berat". Buku ini sebenarnya dapat menjadi wisata kritis yang mengasyikkan dalam jelajah data dan pustaka yang luas serta multimedia. Namun, ada celah yang rupanya tak terjembatani, sehingga pembaca seolah-olah diajak untuk melompat dari satu konsep ke konsep yang lain dengan pengandaian epistemologis yang oleh penulisnya dianggap sudah diketahui pembaca. Celah itu adalah penjelasan umum mengenai apa itu "Yesus Historis" (Historical Jesus). Saya sendiri bukan ahli Yesus Historis. Namun, bagi saya, celah inilah yang mendorong orang untuk melompat dari satu ekstrem ke ekstrem lain tanpa mengetahui secara memadai makna Yesus Historis itu. Lantas, karena Adji Sutama mengkritik rekayasa Yesus Historis, maka semua produk Yesus Historis dipahami sebagai "sampah".

Kajian Yesus Historis pada dasarnya merupakan salah satu perkembangan dalam ilmu teologi yang dalam analisis terhadap teks-teks Alkitab memanfaatkan berbagai pendekatan keilmuan, seperti kajian sosiologis, antropologis, linguistik, ilmu politik dsb. Dalam hal ini, Alkitab disapih dari perspektif dogmatis dan diperlakukan secara berjarak sebagai salah satu objek kajian ilmiah. Itu bukan berarti bahwa Alkitab tidak lagi dipahami sebagai sacred text – meski sering sikap itu tak terhindari – tetapi hendak dibedah sehingga maknanya tidak terkungkung dalam sangkar makna harfiah. Sebaliknya, dengan membedah dan mengurai Alkitab secara kritis, setiap pembaca (dan jemaat) diajak untuk menyelami dunia Alkitab dengan seluruh karakteristiknya. Dengan keberjarakan kritis itu, kita tidak memberhalakan Alkitab, tetapi menemukan pesan-pesan baru dalam setiap pembacaan terhadapnya. Kita tidak juga melihat Alkitab dengan suasana kekinian, melainkan sedapat mungkin memahami worldview para penulis Alkitab. Pengalaman mereka dulu adalah pengalaman mereka, yang dibaca dalam kontras dengan pengalaman kita kini. Simpulnya terletak pada "pengalaman" kemanusiaan itu dalam meresponi situasi hidup, lalu mengekspresikannya secara kaya dalam berbagai bentuk kebahasaan dan simbol-simbol.

Apakah dengan begitu Alkitab tidak lagi berfungsi sebagai "kitab suci" Kristen? Tentu saja tidak. Perkembangan ilmu pengetahuan dan pembacaan terhadap Alkitab ibarat dua besi rel yang berada sejajar untuk dipijaki oleh "gerbong" iman. Iman tanpa kesadaran akan ilmu pengetahuan hanya melahirkan suatu kepicikan yang mengerdilkan Tuhan dalam keterbatasan eksistensi kita; sebaliknya, ilmu pengetahuan tanpa iman hanya membuat kita menjadi budak dari rasionalisme yang menganggap alam semesta mampu terbaca dalam konstruksi objektivitas-rasional. Alkitab hanyalah koleksi terjemahan berbagai literatur yang ditulis dalam berbagai bahasa dan dari banyak tempat; mengalami banyak perubahan, penulisan-ulang, penyuntingan, yang karenanya tidak pernah ditemukan suatu original text Alkitab. Justru melalui keberjarakan kritis terhadap Alkitab dan keuletan untuk menembus selaput tekstual harfiahnya, kita menemukan bahwa kesakralan Alkitab tidak terletak pada formulasi teksnya. Kesakralan Alkitab terletak pada transformasi hidup yang terjadi sebagai dampak dari pemaknaan Alkitab secara utuh. Alkitab menjadi sakral bukan karena kita memahaminya secara buta sebagai "firman Tuhan", melainkan karena kita menemukan bahwa Sang Tuhan itu menyejarah dalam pengalaman-pengalaman kemanusiaan kita. Sebagai konsekuensinya, kita sebenarnya diajak menemukan wajah Tuhan tak bernama itu dalam wajah-wajah kemanusiaan kita – yang ternyata beraneka warna dan bentuk. Sang Tuhan itu menembus lapis demi lapis pemaknaan kultural yang tersekat dalam ekspresi-ekspresi bahasa yang puspa ragam. Sehingga perjumpaan dengan Sang Tuhan terjadi di dalam pengalaman, bukan di luar pengalaman.

Kajian Yesus Historis membawa kita ke dalam pengalaman kemanusiaan Yesus. Karena itu, bagi saya, kita tidak perlu reaktif terhadap pernyataan-pernyataan yang dihasilkan dari penelitian Yesus Historis. Sebab kajian-kajian semacam itu – tentu, dengan konsistensi metodologis yang disiplin – akan memperkaya pemahaman beriman kita dengan suatu keyakinan bahwa Tuhan hanya dapat dikenal dalam batas-batas kemanusiaan kita. Dengan demikian, kita pun diajak untuk menjadi manusia bagi manusia lain; tidak sok menjadi "tuhan" bagi manusia lain. Apalagi menjatuhkan penghakiman kepada orang lain hanya atas dasar "kebodohan" kita yang serba terbatas.

Dalam arti itu, kajian-kajian ilmiah di bidang teologi maupun studi agama-agama mesti diterima sebagai bagian dari pengalaman iman dan pembangunan jemaat Kristen. Polarisasi "teologi akademis" dan "teologi jemaat" sebenarnya hanyalah konstruksi pemikiran platonis warisan Pencerahan. Konstruksi sedemikian telah mengerdilkan sikap beriman kita dengan mengoposisikan jemaat sebagai "awam" dan ahli teologi sebagai "pakar", yang seolah-olah terputus korelasinya. Padahal, setiap jemaat pada hakikatnya adalah pembelajar teologi dan praktisi iman yang menemukan Tuhan dalam pengalaman keseharian secara spontan dan praktis. Sedangkan para ahli teologi hanyalah kelompok ahli yang mencoba mendalami pengalaman-pengalaman beriman yang praktis itu ke dalam kategori-kategori keilmuan yang lebih dalam. Pengalaman-pengalaman keseharian itu pun tidak terlewatkan begitu saja, tetapi menjadi pengalaman yang eksistensial. Dengannya kita makin menghayati Sang Tuhan dalam diri kita sendiri.

2 comments:

  1. Hallo Bung! Karena kesibukan saya jadi jarang ngintip blog-blog tetangga. Dan saya coba untuk membagi pengalaman saya sebagai jemaat dan bersosialisai dengan jemaat lainnya, berhubungan dengan tema yang sudah cukup lama ini muncul. Saya berjemaat di gereja GKJW yang tentu saja Bung bisa perkirakan ke mana arah teologianya. Namanya pengalaman bersama jemaat tentu ini praktis sifatnya. Ketika persoalan tema di atas itu muncul, satu kata yang keluar dari mulut seorang jemaat, "Untuk apa kita percaya kepada Yesus kalau ternyata yang kita percayai itu tidak sesuai dengan apa yang ada di dalam Alkitab?" Maksud saya, sampai saat ini saya memperkirakan bahwa ada jurang yang sangat dalam antara pemikiran teologi yang berkembang saat ini dengan pola pikir jemaat. Menurut pengamatan Bung Steve, bagaimana?

    ReplyDelete
  2. Trims mas Nur sudah berkenan jalan-jalan ke gubuk saya ini. Saya bisa memahami apa yang mas Nur maksud dengan pengalaman bersama jemaat dalam gereja dimana Anda berada. Saya orang Ambon yang lama hidup di Malang. Bahkan sekolah minggu dulu di GKJW.
    Saat ini kita sedang berada dalam era kebanjiran informasi yang sangat luar biasa cepat. Apa yang dulu tersimpan rapat sebagai rahasia, kini bisa dibicarakan dan dibahas secara transparan tanpa batas. Ini juga kita alami dalam soal memahami ajaran-ajaran keagamaan kita.
    Dalam konteks kristen, diperlukan "keberanian" dari pemimpin-pemimpin jemaat (pendeta) untuk mengulas aspek-aspek alkitabiah dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang kritis. Tidak hanya sekadar mengulang-ulang rumusan-rumusan doktrinal gereja. Konteks kita terus berubah, oleh karena itu pemahaman dan sikap beriman kita juga mesti terbuka terhadap perubahan itu. Bukan berarti plin-plan, tetapi terbuka untuk memikirkan perkembangan yang ada lalu mengorelasikannya secara kritis sebagai tuntutan untuk hidup beriman secara baru.
    Mengapa harus demikian? Ya, karena Alkitab pun sebenarnya bukan sebuah produk langsung jadi yang jatuh dari langit. Melainkan berproses dalam sejarah manusia dan dalam konteks kebudayaan yang berbeda-beda. Mengatakan Yesus yang seperti kita percayai seperti dalam Alkitab juga punya konsekuensi lain. Karena Yesus dalam 4 Injil dan dalam surat-surat Paulus pun dipahami secara berbeda-beda sesuai dengan kapasitas dan orientasi teologis yang berbeda.
    Justru dengan cara demikian, Alkitab memberikan kemungkinan kepada kita untuk menggali maknanya secara baru terus-menerus. Kalaupun ada yang disebut "jurang" itu hanya karena tidak [belum?] tersedia suatu forum pendidikan teologi jemaat yang terbuka untuk dalam membicarakan berbagai isu-isu yang dikorelasikan dengan sikap beriman.

    ReplyDelete

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces