Tulisan ini merupakan pikiran lanjutan dari tulisan saya sebelumnya "Berteologi Kontekstual di Dunia Maya". Jika pada tulisan pertama itu saya lebih menyoroti kemungkinan memperoleh informasi-informasi yang kaya seputar kajian teologi di dunia maya, maka pada tulisan kedua ini saya ingin melihat kemungkinan lain yang ditawarkan oleh internet melalui fasilitas blog.
Perkembangan internet yang makin canggih telah memungkinkan setiap pengguna internet untuk melakukan posting artikel, foto, bahkan video dengan lebih cepat dan mudah. Sekarang ini banyak sekali provider yang menyediakan spasi untuk aktivitas bloging. "Blog" pada dasarnya adalah aktivitas tulis-menulis yang disebarluaskan dengan menggunakan spasi situs pribadi. Beberapa provider sekarang menawarkan spasi yang lebih besar lagi untuk posting foto dan video. Dari aktivitas bloging ini terbentuklah suatu komunitas maya yang membangun persahabatan dan juga pertukaran gagasan maupun profil dengan cara melakukan inter-link dengan bloger-bloger lain.
Dalam konteks diskursus teologi, saya melihat weblog memberikan kemungkinan yang sangat besar bagi para pembelajar teologi untuk menyebarluaskan gagasan-gagasan teologis dan refleksi-refleksi teologis yang positif dengan jangkauan yang nyaris tanpa batas. Bloging memang memungkinkan kita untuk melakukan publikasi tulisan-tulisan kita dengan cepat dan murah. Bandingkan misalnya berapa biaya yang kita butuhkan untuk menerbitkan tulisan-tulisan kita dalam bentuk buku; berapa lama waktu yang dibutuhkan mulai dari penulisan, editing, lay-out, hingga penerbitannya. Bahkan keuntungan yang bisa diperoleh dengan menulis secara konsisten di blog adalah bisa saja suatu saat kita ingin menerbitkannya dalam bentuk buku - sebagai akumulasi proses berpikir kita dalam rentang waktu tertentu. Tetapi dalam hal ini pikiran dan gagasan kita telah dikenal oleh publik melalui blog pribadi kita.
Kendati awalnya blog digunakan sebagai virtual-diary, tetapi banyak orang, khususnya kalangan akademisi, menggunakannya sebagai media membangun diskursus ilmiah secara positif. Meskipun tak dapat disangkali bahwa banyak pula bloger "nakal" yang menyebarkan informasi-informasi negatif yang lebih banyak merusak publik pengguna internet. Dalam konteks itulah, saya melihat bahwa komunitas pembelajar teologi mempunyai peran besar untuk mengimbangi gempuran informasi-informasi negatif dari para bloger "nakal" tersebut. Peran besar itu akan semakin signifikan jika para pembelajar teologi bisa membentuk suatu komunitas teobloger.
Komunitas teobloger yang saya maksud di sini adalah situs-situs weblog dari para pembelajar teologi yang dengan tekun dan konsisten melakukan posting artikel seputar kajian-kajian teologi secara sederhana tapi berbobot. Dengan komunitas teobloger semacam itu isu-isu yang sebelumnya hanya menjadi konsumsi kalangan terbatas di kampus-kampus fakultas teologi, kini dapat diakses secara publik. Dengannya publik (baca: jemaat) juga dilibatkan dalam pergumulan bersama jemaat - khususnya para bloger usia muda (remaja). Maka teologi kemudian tidak lagi menjadi suatu ilmu elitis yang hanya menjadi keistimewaan kaum pembelajar teologi atau pendeta saja, melainkan teologi menjadi suatu spirit refleksi kehidupan bersama yang menggumuli iman dalam konteks sosial secara bersama-sama.
Dari kalangan alumni fakultas teologi UKIM, sejauh pengetahuan saya sudah ada beberapa orang yang secara konsisten mengisi blognya. Misalnya: saya, Steve Gaspersz dengan http://kabaressi.blogspot.com; Elifas Maspaitella dengan http://kutikata.blogspot.com; Jusuf Anamofa dengan http://tal4mbur4ng.blogspot.com. Siapa yang mau menyusul? Mari kita ramaikan keasyikan berteologi di dunia maya, siapa tahu suatu ketika kita memunculkan suatu tradisi berteologi baru yang disebut "teoblogi".
Read more ...
Perkembangan internet yang makin canggih telah memungkinkan setiap pengguna internet untuk melakukan posting artikel, foto, bahkan video dengan lebih cepat dan mudah. Sekarang ini banyak sekali provider yang menyediakan spasi untuk aktivitas bloging. "Blog" pada dasarnya adalah aktivitas tulis-menulis yang disebarluaskan dengan menggunakan spasi situs pribadi. Beberapa provider sekarang menawarkan spasi yang lebih besar lagi untuk posting foto dan video. Dari aktivitas bloging ini terbentuklah suatu komunitas maya yang membangun persahabatan dan juga pertukaran gagasan maupun profil dengan cara melakukan inter-link dengan bloger-bloger lain.
Dalam konteks diskursus teologi, saya melihat weblog memberikan kemungkinan yang sangat besar bagi para pembelajar teologi untuk menyebarluaskan gagasan-gagasan teologis dan refleksi-refleksi teologis yang positif dengan jangkauan yang nyaris tanpa batas. Bloging memang memungkinkan kita untuk melakukan publikasi tulisan-tulisan kita dengan cepat dan murah. Bandingkan misalnya berapa biaya yang kita butuhkan untuk menerbitkan tulisan-tulisan kita dalam bentuk buku; berapa lama waktu yang dibutuhkan mulai dari penulisan, editing, lay-out, hingga penerbitannya. Bahkan keuntungan yang bisa diperoleh dengan menulis secara konsisten di blog adalah bisa saja suatu saat kita ingin menerbitkannya dalam bentuk buku - sebagai akumulasi proses berpikir kita dalam rentang waktu tertentu. Tetapi dalam hal ini pikiran dan gagasan kita telah dikenal oleh publik melalui blog pribadi kita.
Kendati awalnya blog digunakan sebagai virtual-diary, tetapi banyak orang, khususnya kalangan akademisi, menggunakannya sebagai media membangun diskursus ilmiah secara positif. Meskipun tak dapat disangkali bahwa banyak pula bloger "nakal" yang menyebarkan informasi-informasi negatif yang lebih banyak merusak publik pengguna internet. Dalam konteks itulah, saya melihat bahwa komunitas pembelajar teologi mempunyai peran besar untuk mengimbangi gempuran informasi-informasi negatif dari para bloger "nakal" tersebut. Peran besar itu akan semakin signifikan jika para pembelajar teologi bisa membentuk suatu komunitas teobloger.
Komunitas teobloger yang saya maksud di sini adalah situs-situs weblog dari para pembelajar teologi yang dengan tekun dan konsisten melakukan posting artikel seputar kajian-kajian teologi secara sederhana tapi berbobot. Dengan komunitas teobloger semacam itu isu-isu yang sebelumnya hanya menjadi konsumsi kalangan terbatas di kampus-kampus fakultas teologi, kini dapat diakses secara publik. Dengannya publik (baca: jemaat) juga dilibatkan dalam pergumulan bersama jemaat - khususnya para bloger usia muda (remaja). Maka teologi kemudian tidak lagi menjadi suatu ilmu elitis yang hanya menjadi keistimewaan kaum pembelajar teologi atau pendeta saja, melainkan teologi menjadi suatu spirit refleksi kehidupan bersama yang menggumuli iman dalam konteks sosial secara bersama-sama.
Dari kalangan alumni fakultas teologi UKIM, sejauh pengetahuan saya sudah ada beberapa orang yang secara konsisten mengisi blognya. Misalnya: saya, Steve Gaspersz dengan http://kabaressi.blogspot.com; Elifas Maspaitella dengan http://kutikata.blogspot.com; Jusuf Anamofa dengan http://tal4mbur4ng.blogspot.com. Siapa yang mau menyusul? Mari kita ramaikan keasyikan berteologi di dunia maya, siapa tahu suatu ketika kita memunculkan suatu tradisi berteologi baru yang disebut "teoblogi".