Belum hilang capek dan pegal di sekujur badan. Sejak pertengahan Oktober lalu kami sudah mulai memindahkan barang-barang ke rumah kontrakan. Rumah yang sekarang kami tempati adalah “rumah dinas” milik instansi tempat istri bekerja. Berhubung masa kerja sudah selesai, maka berakhir pula masa tinggal di rumah itu. Setelah mondar-mandir cari rumah kontrakan, akhirnya dapat juga. Rumah kontrakan sih banyak, tapi harganya itu lho… minta ampun deh! Di seputaran lingkungan tempat tinggal kami tidak ada rumah kontrakan yang harganya di bawah Rp 15 juta. Busyet! Duit dari mana? Kata para tetangga, segitu mah harga biasa untuk kawasan Kelapa Gading. Meskipun sudah menjadi langganan banjir, tetap aja harga tanah dan rumah melangit. Mau cari di luar Kelapa Gading, agak susah juga karena sekolahnya Kainalu berlokasi di Kelapa Gading. Hitung-hitung kalau dapat harga kontrakan yang lebih murah di luar Kelapa Gading, malah bebannya jatuh ke ongkos transportasi.
Tetapi syukurlah, tak jauh dari rumah yang sekarang ada paviliun yang dikontrakkan. Kecil dan mungil, dengan satu kamar tidur dan satu kamar mandi. Tetapi yang membuat kami kepincut adalah ada lotengnya. Itu penting di era banjir sekarang. Maklumlah, sebagai orang perantauan kami tidak punya banyak asesoris rumah tangga yang wah. Harta paling bernilai dan paling banyak yang kami miliki adalah “buku”. Nah, justru di situlah beratnya. Selama ini kami tidak terlalu menyadari betapa banyaknya “harta” kami itu. Dan kami terus menumpuk “harta” itu. Sekarang baru terasa, ternyata “harta” kami itu ajubilah banyaknya. Sudah diatur, disortir, bahkan disumbangkan ke teman-teman, toh masih tersisa 8 kontainer plasti plus 6 tas yang sudah dijejali sesak. Belum lagi buku-buku Kainalu, anak kami, yang rupanya juga ketularan getol mengoleksi buku menurut seleranya. Apa mau dikata? Meskipun berat tapi “harta” yang satu ini memang memberi kenikmatan yang tak bertara dalam hidup kami. Kalau ada loteng, maka "harta" kami ini dapat diselamatkan tanpa harus mengungsikannya ke sana ke mari. Aman!
Awalnya Kainalu agak shock ketika kami membawanya melihat rumah kontrakan itu. Rupanya konsep spasialnya terusik karena ukuran rumah “lama” dan “baru” berbeda jauh. Namun, perlahan-lahan dia dapat memahami dan menerima bahwa cepat atau lambat kami harus pindah ke rumah kontrakan itu. Nancy mencoba memasang foto-fotonya dan beberapa lukisan karya Kainalu agar tercipta suasana akrab yang – semoga – membuatnya betah dalam suasana baru.
Memang tidak mudah berpindah dari “situasi lama” ke “situasi baru”. Proses peralihannya terkadang butuh persiapan. Jika tidak siap, orang bisa stres. Jadi, bisa dibayangkan betapa stresnya orang jika proses peralihan itu berlangsung cepat dan tak terduga. Kalau “yang tak terduga” itu membawa efek yang menyenangkan mungkin masih bisa diterima, tapi bagaimana kalau sebaliknya? Bahwa “perpindahan” atau “peralihan” situasi itu malah membawa dampak yang tidak nyaman, bahkan penderitaan? Dengan demikian, perpindahan spasial tidak hanya memberi efek pada konsep ruang secara berbeda dan drastis, tetapi juga memberi efek psikologis yang dalam. Konsep ruang yang berubah drastis akan menciptakan impuls psikis yang menekan kesadaran spasial seseorang. Jika transisi atau distorsi spasial ini tidak ditangani maka akan muncul pemberontakan psikologis yang menciptakan ketidakseimbangan dalam kesadaran diri seseorang. Bukan tidak mungkin ketidakseimbangan kesadaran itu dapat mewujud dalam tindakan-tindakan koersif dan despotik, baik secara personal maupun sosial.
Manusia hidup dan beraktivitas dalam ruang dan waktu. Oleh karena itu, ruang dan waktu memiliki daya penekan yang sangat kuat dalam membentuk struktur kesadaran manusia. Pergeseran dan peralihan ruang dan waktu tanpa disertai kesediaan dan keterbukaan dari manusia yang mengalaminya, akan membuka lubang-lubang dimensional yang menjerumuskan nalar manusia ke dalam kondisi patologis. Transformasi kebudayaan dan peradaban dalam label modernisasi telah membuktikan hal itu. Tersingkirnya nalar kesadaran manusia ke dalam lubang hitam kebiadaban kultural salah satunya disebabkan oleh menghilangnya atau terdistorsinya ruang dan waktu itu. Lihat saja bagaimana urbanisasi menjadi sebuah problem dalam masyarakat industri dan perkotaan. Sekelompok orang tidak siap menalar beralihnya ruang “sawah” mereka menjadi ruang “pabrik”; terdistorsinya fungsi “pekerjaan tanah” menjadi “kerja mesin”; tereduksinya “pekerjaan tangan” bertingkat-tingkat di bawah “pekerjaan komputer”, dst.
Manusia memiliki kemampuan adaptif terhadap lingkungan barunya, kendati hal itu butuh proses yang lama. Kalau proses peralihan dan distorsi dari yang “lama” ke yang “baru” ternyata berlangsung cepat dan terus-menerus, dalam bentuk yang tak mampu dicandranya, maka apa yang harus diadaptasi? Keterubahan berkelanjutan secara cepat semacam itulah yang makin membuat manusia terasing dari ruang dan waktunya sendiri. Lantas, kita makin tak menikmati hidup dalam serba ruang dan waktu ini. Setiap saat kita hanya berjuang menegasi ruang dan waktu agar berjalan abnormal, tidak mengikuti hukum alam tetapi mengikuti hukum artifisial yang aneh, seolah-olah “ikan yang berjuang untuk hidup di luar air”.
Hehehehee.... beta harap kalo baronda ka Jakarta seng ilang jalang kalo mau ke rumah bung deng usi. Kasih alamat jua, mangkali beta masih bisa bajalang sadiki kalo ada waktu ka.
ReplyDeleteKeuangan memang jadi masalah, tetapi sebenarnya tetap ada jalan kalo katong hidup dengan impian. Tergantung katong mau meninggalkan batas hidup yang sudah terasa aman for katong sakarang ni dan mau ambil komitmen untuk mengubah hidup seng? Kalau saja semua orang perlu beradaptasi dengan habitusnya, beta kira juga perlu perubahan-perubahan tertentu karena sadar akan keterbatasan juga kemampuan. Ok bung, salam for Usi n Kainalu, juga Oma kalau masih di Jakarta.
Mudah-mudahan katong bisa bakudapa dalam waktu dekat.... Pa Pendeta....
Lawamena Haulala
Salam Hormat
Jus A - talamburang
Danke banya bung voor komentarnya. Ini memang refleksi yang muncul ketika Kainalu bilang "Kanu seng mau pinda ke situ". Lalu beta coba memahami penolakan itu. Mungkin coba ini bisa menjadi contoh bagaimana pergeseran paradigma bisa menciptakan "penolakan" dan "penerimaan" tergantung pada sejauh mana kemampuan kita membuka diri pada pergeseran atau perubahan itu. Kalau direfleksikan lebih jauh jangan-jangan ini juga yang dialami Hegel ketika mengatakan "religion as a source of alienation" lalu dilanjutkan oleh Marx yang bilang "religion as a product of alienation". Gimana broer?
ReplyDelete