Aku menulis maka aku belajar

Thursday, April 14, 2011

Sepenggal Kisah di Ketiak Nusa Ina: Catatan Perjalanan [2]


Terbelit Kemiskinan
Persoalan-persoalan kini yang dihadapi oleh jemaat-jemaat di Telutih adalah penguatan kehidupan ekonomi yang mandiri. Jemaat-jemaat pascakonflik di wilayah ini harus memulai kembali aktivitas ekonomi mereka dari titik nol. Sebagian besar dusun-dusun mereka [di]rusak, sementara tanaman yang mereka upayakan kebanyakan adalah tanaman umur panjang. Kondisi ini menyebabkan perputaran uang sangat lambat. Apalagi infrastruktur transportasi (jalan dan jembatan) sama sekali tidak memadai. Jalur darat dari kota kecamatan Tehoru sampai di Ulahahan, negri terakhir di perbatasan kabupaten Maluku Tengah dan kabupaten Seram Bagian Timur, kondisinya rusak berat. Termasuk belasan jembatan yang rusak, setengah jadi, atau masih berupa tiang-tiang penyangga.

Hasil-hasil kebun dipasarkan dengan menggunakan ketinting ke Tehoru, lalu diangkut kembali melalui jalur darat ke Amahai dan Masohi. Biaya muatan dan pengangkutan cukup tinggi karena ruas jalan yang rusak sangat panjang (puluhan kilometer dari Tehoru sampai Tuhehay). Sehingga hampir tidak ada keuntungan dari penjualan hasil-hasil kebun seperti itu. Cara cepat untuk mendapatkan uang bagi kebutuhan sehari-hari adalah menggadaikan dusun kepada para rentenir (sistem ijon). Rentenir meminjamkan sejumlah uang yang mereka minta, tapi dengan kompensasi penggarapan dusun dalam jangka waktu cukup panjang (ada yang 5 tahun – hasil panen yang berlipat ganda). Keuntungan yang diraup oleh para rentenir ratusan kali lipat dibanding jumlah uang yang dipinjamkan kepada masyarakat. Ada pula yang tergiur sejumlah uang lalu menjual ratusan hektar tanah dusun mereka kepada para rentenir atau pihak lain. Mereka kini kehilangan hak sama sekali atas tanah-tanah tersebut.

Anak-anak muda yang tidak mampu melanjutkan pendidikan, lebih memilih untuk menggarap lahan orang lain di atas tanah yang dulu milik orang tua mereka. Sebagian lain mengambil kredit sepeda motor dan menjadi pengojek. Ada lagi yang terpuruk dalam kondisi kemiskinan sehingga hanya menjalani aktivitas sehari-hari sebagai pengangguran dan mabuk-mabukan. Sebagian lain mengikuti usaha beberapa keluarga memproduksi sopi. Pada kenyataannya, mereka bukan hanya produsen tetapi juga konsumen sopi. Tingkat konsumsi sopi yang tinggi juga berdampak pada kerawanan sosial dalam bentuk perkelahian antarpemuda, antarkeluarga, dan kriminalitas (pencurian hasil kebun, pemerkosaan, kekerasan terhadap perempuan). Menyiasati kondisi rawan ini beberapa keluarga terpaksa menitipkan anak-anak mereka di kaum kerabat di Amahai, Masohi, dan Ambon, agar mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (SMA dan perguruan tinggi).

Terayun Rayuan Politik
Wilayah Telutih merupakan salah satu wilayah empuk bagi para petualang politik. Kondisi sosial-ekonomi masyarakat (terutama jemaat GPM) di kawasan ini sering kali menjadi sasaran para petualang politik untuk meraup suara konstituen bagi kepentingan politik mereka (calon bupati dan calon legislatif). Janji-janji politik yang muluk-muluk kerap memabukkan para konstituen yang memang tidak memiliki dasar pengetahuan memadai untuk membaca arah angin politik yang dihembuskan. Apalagi ketika para petualang politik mengemas kampanye-kampanye mereka dengan bungkusan terminologi-terminologi lokal dan memanfaatkan ikatan-ikatan kekerabatan untuk mendapatkan dukungan politik.

Dalam konteks tersebut, agama juga rentan dimanfaatkan sebagai isu politik terutama melalui slogan-slogan politik yang mengusung simbol-simbol agama. Isu-isu yang bersifat segregatif juga turut memperkuat sentimen-sentimen identitas primordial (agama dan etnis). Dari sini tampak bahwa politik lokal di kawasan ini masih sangat kuat bertumpu pada pengemasan isu-isu sensitif dikotomis: “orang asli” vs “pendatang”, “Islam” vs “Kristen”, “orang Seram” vs “orang non-Seram”. Pencitraan politik yang didesak dalam alam pikiran masyarakat adalah pencitraan politik yang bernuansa agama, wacana-wacana budaya lokal, dan janji-janji pembangunan yang sebenarnya tidak kontekstual karena hanya berada pada tataran isu, bukan program pembangunan yang berbasis pada kebutuhan riel konteks sosial-budaya-ekonomi kawasan ini.

Di beberapa jemaat, hubungan antarkomunitas berbeda agama dan etnis sejauh ini berjalan dengan harmonis kendati tidak disangkali bahwa masih ada sisa-sisa trauma konflik. Beberapa pendeta menjalin komunikasi yang cukup baik dengan sejumlah ulama di negri-negri Salam sehingga persoalan-persoalan kecil yang berpotensi menyeret isu agama dapat diselesaikan dengan pembicaraan bersama untuk mengantisipasi rembetannya menjadi lebih besar.

Ada beberapa pendeta yang juga memanfaatkan hubungan-hubungan pela-gandong dengan komunitas Salam untuk menjaga kemungkinan-kemungkinan merebaknya konflik keagamaan yang masih potensial di kawasan ini. Misalnya, Pdt. PL mencoba “memanaskan” komunikasi budaya dengan gandong-nya orang Tamilouw, negri Salam terbesar di situ. Atau Pdt. JH yang membangun komunikasi dengan pela-nya komunitas Siri-Sori Salam yang tersebar di beberapa negri Salam. Demikian juga dengan Pdt. WH yang terus membangun komunikasi budaya dengan gandong-nya komunitas Seith terutama di negri Yaputi. Menurut mereka, pendekatan budaya semacam ini sangat membantu proses-proses memulihkan kehidupan sosial jemaatnya pascakonflik. Bahkan mereka banyak sekali mendapatkan informasi seputar aktivitas-aktivitas oknum atau kelompok tertentu yang masih berniat memanaskan isu konflik agama di kawasan tersebut.

(bersambung)

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces