Aku menulis maka aku belajar

Thursday, April 14, 2011

Sepenggal Kisah di Ketiak Nusa Ina: Catatan Perjalanan [1]


Selama empat hari saya melakukan tugas perjalanan mengunjungi 33 mahasiswa Fakultas Teologi UKIM yang sedang menjalani praktik hidup bersama (live-in) di jemaat-jemaat se-Klasis Telutih, Pulau Seram. Klasis Telutih merupakan satuan wilayah pelayanan dari 19 jemaat Gereja Protestan Maluku. Hanya satu jemaat (Piliana) yang berlokasi di pegunungan, sedangkan sisanya berjejer di sepanjang pesisir pantai diselingi oleh beberapa negri Salam. Klasis ini terletak pada dua wilayah administratif tingkat kabupaten: Kabupaten Maluku Tengah (Salamahu s.d. Ulahahan) dan Kabupaten Seram Bagian Timur (Dihil s.d. Naiwel Ahinulin). Sebelum konflik sosial merebak ke seluruh wilayah Maluku, klasis ini mengatur 22 jemaat GPM. Tetapi pascakonflik hanya tersisa 19 jemaat yang bersedia kembali ke lokasi semula; 1 jemaat tidak mau kembali dan 2 jemaat lainnya beralih menjadi penganut agama Islam (Adabai dan Lapela).

Kunjungan ke jemaat-jemaat pesisir (Salamahu s.d. Ulahahan) dapat dilakukan dengan menggunakan sepeda motor dan ketinting. Sepeda motor hanya dapat digunakan jika cuaca cerah atau tidak hujan. Kalau hujan, maka perjalanan harus menggunakan ketinting karena sungai-sungai meluap. Sebagian besar fasilitas jembatan rusak parah dan karena itu penyeberangan harus dilakukan dengan cara melintasi aliran sungai. Jika memakai sepeda motor maka sepeda motor harus diusung oleh beberapa pemuda yang memang menyediakan jasa tenaga melakukannya. Sarana transportasi yang cepat dan aman adalah ketinting. Namun itupun harus memperhitungkan kondisi laut pada bulan-bulan tertentu. Terkecuali Jemaat Piliana. Lokasi Piliana hanya bisa dijangkau dengan berjalan kaki menempuh jarak 8 km, melewati jalan setapak, hutan, dan perbukitan.

Kisah di Ketiak Nusa Ina
Jika memandang dari kota kecamatan Tehoru, maka jajaran kampung dan jemaat mulai dari Saunulu s.d. Ulahahan berada di lekukan tanjung yang menyerupai ketiak manusia. Di ketiak Nusa Ina ini tersimpan banyak cerita mengenai manusia-manusia Seram yang bergelut dengan alamnya sekaligus menjadi korban dalam kelimpahan kekayaan alamnya sendiri.

Jemaat-jemaat se-Klasis Telutih hidup berdampingan dengan negri-negri Salam. Bahkan komunitas di beberapa jemaat merupakan komunitas yang heterogen, baik secara agama maupun etnis. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa komunitas-komunitas beraneka agama dan etnis sudah sejak lama menjalin interaksi satu dengan yang lain. Mereka tidak lagi asing dengan “yang lain” karena identitas dan relasi-relasi sosial di kawasan ini dihidupkan oleh antarhubungan berbagai komunitas agama dan etnis. Etnis Jawa, Buton, Bugis, Saparua, Buru, Timor, dan Maluku Tenggara sudah bertahun-tahun menjalani kehidupan sosial dan aktivitas ekonomi mereka bersama-sama dengan etnis Seram (Waulu, Sopamaraina) di Tehoru. Begitu pula dengan komunitas agama-agama yang mencakup Salam, Sarane, Katolik Roma, Hindu, Budha, dan agama-agama suku.

Namun antarhubungan tersebut terganggu oleh konflik sosial yang juga melanda kawasan ini. Ada cerita-cerita yang menyatakan bahwa sebenarnya konflik tersebut lebih dipicu oleh kedatangan kelompok-kelompok paramiliter dari luar Seram yang memprovokasi mereka untuk menyerang kelompok yang lain. Resistensi lokal berdasarkan ikatan kekerabatan yang telah terjalin antarkomunitas berbeda agama dan etnis tidak mampu membendung desakan kekuatan luar yang mengancam dengan begitu dahsyat. Dari 22 jemaat di Klasis Telutih, hanya 2 jemaat yang tidak hancur, yaitu Jemaat Piliana (gunung) dan Jemaat Hatu (pesisir). Selebihnya hancur total atau beralih ke Salam. Jemaat-jemaat yang hancur mengungsi ke wilayah pegunungan, terutama Piliana (pernah menampung 6.000 jiwa pengungsi); kelompok-kelompok pengungsi yang lain terus berjalan melintasi Gunung Sembilan dan Gunung Maraina menuju Wahai, Taniwel, dan Waipia.

Pemulihan kehidupan sosial berjalan berangsur-angsur. Tidak dapat disangkali bahwa penderitaan semasa konflik tetap mengguratkan trauma dan kerentanan. Namun sejauh ini komunitas-komunitas tersebut mulai merajut kembali hubungan-hubungan yang terkoyak selama beberapa waktu.

(bersambung)

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces