Aku menulis maka aku belajar

Saturday, September 24, 2011

Provokasi Damai

Rekan saya, Ricardo Nanuru, baru saja posting “Ambon update” yang ditulis oleh bung Jacky Manuputty. Posting tersebut cukup panjang dan detil, sekaligus penting untuk menyebarluaskan gambaran situasi terkini kota Ambon pasca bentrokan massal pada Minggu, 11 September 2011. Sebelumnya, atas izin bung Jacky Manuputty pula, saya mereformulasi catatan pemutakhiran data pasca bentrokan tersebut. Sengaja saya menyebut “bentrokan massa” tanpa embel-embel apa-apa, karena memang peristiwa tersebut tidak perlu diembel-embeli apa-apa, apalagi embel-embel “konflik agama”. Aksentuasi ini perlu dilakukan agar kita yang telah mengunyah pemberitaan di berbagai media cetak dan media elektronik tidak serta-merta latah untuk mengasumsikan mentah-mentah dalam konstruk perspektif yang bias.

Tulisan ini saya sajikan dengan andaian anda sudah mencermati posting Ricardo Nanuru tersebut. Jadi saya tidak akan mengulangnya lagi. Apa yang akan saya tulis di sini hanyalah secuil upaya untuk memahami peristiwa tersebut sebagai suatu insiden yang tak kebetulan. Maksudnya, kita sebaiknya membaca peristiwa itu melalui sebuah lensa sosiologis yang sebenarnya memperlihatkan tautan-tautan proses-proses sosial. Setiap proses memiliki dinamikanya masing-masing, dengan implikasi yang berbeda pula intensitas atau derajatnya. Dengan demikian, kita tidak tergopoh-gopoh memahami peristiwa itu sebagai replikasi konflik bernuansa agama seperti yang terjadi sebelumnya.

Apakah ini sebuah eskapisme? Bisa ya. Bisa tidak. “Ya” karena memang kehati-hatian untuk tidak begitu saja menautkan itu dengan agama adalah untuk menghindari perangkap mengkambinghitamkan perbedaan agama sebagai biang kerok; lantas kemudian membawa kita pada debat kusir kebenaran tiada berujung. “Tidak” karena memang peubah agama tidak bisa dihindari untuk dibicarakan tetapi mesti diposisikan pada suatu lalu-lintas percakapan yang tertib agar tidak belok kiri-kanan tanpa memberi tanda, dan akhirnya bertabrakan. Setidaknya ini posisi saya.

Selanjutnya, dengan bingkai lensa tersebut saya ingin mengajak anda untuk melihat bahwa mengurai penyebabnya tidaklah semudah menyebar isu-isu provokatif yang mengagitasi orang/kelompok untuk tetap berada dalam kepanikan sosial. Oleh karena itu, amatan kita tidak perlu terkuras habis energinya hanya untuk mendebat apa penyebabnya. Yang menurut saya cukup urgen adalah memagari dampaknya dan mengantisipasi kemungkinan menggelembungnya balon kecurigaan yang sewaktu-waktu bisa pecah lagi. Itulah yang sedang dilakukan oleh sahabat-sahabat perdamaian di Maluku.

Sejauh ini ternyata upaya memerangi proliferasi isu-isu provokatif yang mengadudomba tidak cukup dengan sekadar himbauan-himbauan basi. Lebih jauh para sahabat perdamaian itu membangun suatu paradigma dan praksis “provokasi damai”. Dekonstruksi konotasi provokasi yang negatif dilakukan sebagai sebentuk perlawanan terhadap gerakan-gerakan melumpuhkan kekuatan civil society. Gerakan-gerakan tersebut masih getol menjadikan agama sebagai senjata. Nah, di sini tampak bahwa agama bukan menjadi peubah utama, melainkan peubah gayut yang berayun karena adanya impuls-impuls katalis.

Yang menarik bahwa “provokasi damai” ini maknanya jauh melampaui anjuran-anjuran atau himbauan-himbauan yang sangat formalistik. Provokasi damai ini secara perlahan telah merambat menjadi semacam spiritualitas yang melampaui sekat-sekat etnisitas dan religiositas antarkelompok di Maluku. Spiritualitas inilah yang merasuki nurani setiap orang sehingga tiap geraknya kemudian menjadi gerak damai yang merangkul, bukan menegasi. 

Dari situ, terjadi semacam transformasi religiositas yang membawa agama-agama untuk belajar memanusia. Artinya, agama-agama tidak hanya terus-menerus diperkosa untuk memperlihatkan kegenitan transendentalnya saja. Tetapi juga mesti belajar merendah hati mengutamakan hakikat dan martabat kemanusiaan untuk hidup sebagai manusia bersosial.
Sosialitas manusia mengajar agama-agama untuk tidak pongah mengakui keperkasaannya tetapi gigih mengusung solidaritas. Solidaritas itulah menjadikan hidup terbuka bagi aneka kelainan dalam relasi sehari-hari manusia dengan manusia, maupun manusia dengan alamnya, atau bahkan manusia dengan tuhannya. Di situlah provokasi damai, menurut saya, mesti menjadi sebuah gerak perlawanan terhadap tendensi mengkooptasi martabat manusia hanya menjadi predator bagi yang lain (homo homini lupus). Spiritualitas inilah yang mesti terwarisi dari generasi ke generasi, tak pandang apa pilihan beragama dan etnisitas kita.

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces