Tulisan ini saya sajikan dengan andaian anda sudah
mencermati posting Ricardo Nanuru tersebut. Jadi saya tidak akan mengulangnya
lagi. Apa yang akan saya tulis di sini hanyalah secuil upaya untuk memahami
peristiwa tersebut sebagai suatu insiden yang tak kebetulan. Maksudnya, kita
sebaiknya membaca peristiwa itu melalui sebuah lensa sosiologis yang sebenarnya
memperlihatkan tautan-tautan proses-proses sosial. Setiap proses memiliki
dinamikanya masing-masing, dengan implikasi yang berbeda pula intensitas atau
derajatnya. Dengan demikian, kita tidak tergopoh-gopoh memahami peristiwa itu
sebagai replikasi konflik bernuansa agama seperti yang terjadi sebelumnya.
Apakah ini sebuah eskapisme? Bisa ya. Bisa tidak. “Ya”
karena memang kehati-hatian untuk tidak begitu saja menautkan itu dengan agama
adalah untuk menghindari perangkap mengkambinghitamkan perbedaan agama sebagai
biang kerok; lantas kemudian membawa kita pada debat kusir kebenaran tiada
berujung. “Tidak” karena memang peubah agama tidak bisa dihindari untuk
dibicarakan tetapi mesti diposisikan pada suatu lalu-lintas percakapan yang
tertib agar tidak belok kiri-kanan tanpa memberi tanda, dan akhirnya
bertabrakan. Setidaknya ini posisi saya.
Selanjutnya, dengan bingkai lensa tersebut saya ingin
mengajak anda untuk melihat bahwa mengurai penyebabnya tidaklah semudah
menyebar isu-isu provokatif yang mengagitasi orang/kelompok untuk tetap berada
dalam kepanikan sosial. Oleh karena itu, amatan kita tidak perlu terkuras habis
energinya hanya untuk mendebat apa penyebabnya. Yang menurut saya cukup urgen
adalah memagari dampaknya dan mengantisipasi kemungkinan menggelembungnya balon
kecurigaan yang sewaktu-waktu bisa pecah lagi. Itulah yang sedang dilakukan
oleh sahabat-sahabat perdamaian di Maluku.
Sejauh ini ternyata upaya memerangi proliferasi isu-isu
provokatif yang mengadudomba tidak cukup dengan sekadar himbauan-himbauan basi.
Lebih jauh para sahabat perdamaian itu membangun suatu paradigma dan praksis
“provokasi damai”. Dekonstruksi konotasi provokasi yang negatif dilakukan
sebagai sebentuk perlawanan terhadap gerakan-gerakan melumpuhkan kekuatan civil
society. Gerakan-gerakan tersebut masih getol menjadikan agama sebagai senjata.
Nah, di sini tampak bahwa agama bukan menjadi peubah utama, melainkan peubah
gayut yang berayun karena adanya impuls-impuls katalis.
Yang menarik bahwa “provokasi damai” ini maknanya jauh
melampaui anjuran-anjuran atau himbauan-himbauan yang sangat formalistik.
Provokasi damai ini secara perlahan telah merambat menjadi semacam
spiritualitas yang melampaui sekat-sekat etnisitas dan religiositas
antarkelompok di Maluku. Spiritualitas inilah yang merasuki nurani setiap orang
sehingga tiap geraknya kemudian menjadi gerak damai yang merangkul, bukan
menegasi.
Dari situ, terjadi semacam transformasi religiositas yang membawa
agama-agama untuk belajar memanusia. Artinya, agama-agama tidak hanya
terus-menerus diperkosa untuk memperlihatkan kegenitan transendentalnya saja.
Tetapi juga mesti belajar merendah hati mengutamakan hakikat dan martabat
kemanusiaan untuk hidup sebagai manusia bersosial.
Sosialitas manusia mengajar agama-agama untuk tidak pongah mengakui
keperkasaannya tetapi gigih mengusung solidaritas. Solidaritas itulah
menjadikan hidup terbuka bagi aneka kelainan dalam relasi sehari-hari manusia
dengan manusia, maupun manusia dengan alamnya, atau bahkan manusia dengan
tuhannya. Di situlah provokasi damai, menurut saya, mesti menjadi sebuah gerak
perlawanan terhadap tendensi mengkooptasi martabat manusia hanya menjadi
predator bagi yang lain (homo homini lupus). Spiritualitas inilah yang mesti
terwarisi dari generasi ke generasi, tak pandang apa pilihan beragama dan
etnisitas kita.
No comments:
Post a Comment