Aku menulis maka aku belajar

Saturday, November 26, 2011

Judulnya Kopi Badati


Waktu sudah menunjuk larut malam. Pukul 12.30 waktu Yogyakarta. Tapi mata masih melotot di depan monitor komputer dan jari-jari masih berlompatan menari di atas tombol-tombol keyboard. Ada beberapa tugas yang harus dituntaskan. Petikan gitar RyoNiveu mengiring suasana hati dari “Enggo Lari” hingga “Nusaniwe Tanjung Alang”. Tiba-tiba perhatianku teralihkan oleh posting foto dan catatan kecil dari bung Jacky Manuputty yang melekat pada dinding akun facebook. Foto yang memperlihatkan anak-anak muda Maluku yang sedang membubuhkan tanda tangan mereka pada selembar kain putih panjang. Catatan bung Jacky pun mengurai dan merefleksikan peristiwa itu.

Aku tercekat membacanya. Mencoba berimajinasi pada tiap rangkaian kata dan untaian kalimat, aku pun terhenyak oleh kekaguman. Anak-anak muda ini sungguh luar biasa! Mereka memperlihatkan segumpal militansi yang mengeras dalam hasrat untuk memilih “berdamai” dengan cara mereka. Aku tahu ini bukan sesuatu yang instan meskipun mereka dibesarkan dan dibentuk oleh budaya instan dan konsumerisme. Jalan “berdamai” mereka tidak jatuh dari langit. Tidak pula diberikan oleh orang tua mereka. Jalan itu mereka pilih dan tentukan sendiri karena mereka menolak tegas mewarisi kebencian yang telah mencabik-cabik sejarah orang tua mereka. Mereka tidak menghindari kebencian itu tetapi menerimanya sebagai pelajaran getir untuk membangun masa depan mereka tanpa harus memilih berpijak di situ.

Aku tidak di sana, di tengah kerumunan anak-anak muda “kabaressi” itu. Tapi sungguh malam ini aku merasakan ledakan spirit yang sulit terdefinisikan – dan mungkin juga tak perlu didefinisikan. Toh, anak-anak muda kabaressi perdamaian itu tak butuh definisi apapun yang hanya penuh pesona teoretik tapi carut-marut dalam praksis. Mereka memilih untuk bertindak, tanpa publikasi yang “lebay”. Merajut aneka narasi mereka sendiri dan mencoba membuat simpul-simpul nurani dengan bahasa muda mereka. “Kopi Badati” adalah simpul nurani itu. Jauh dari jepretan kamera wartawan, di sudut-sudut kampung, di ujung-ujung lorong, dalam guyuran hujan dan selimut dingin, mereka menawarkan sebuah bentuk persahabatan melalui kopi dan penganan sederhana kepada sahabat-sahabat mereka. Itu terjadi di wilayah-wilayah “perbatasan” yang sebenarnya bersifat imajinatif. Namun apa yang mereka lakukan justru meluruhkan sekat-sekat perbatasan imajinatif itu, dengan kopi dan penganan.

Tubuhku memang tidak di sana. Tapi jiwaku, sumangaku, ada di sana. Karena itu, jari-jariku tak lagi menari di atas keyboard mengikuti ritme paper-paper tugas kuliah. Tiba-tiba jari-jariku melompat cakadidi menari mengikuti ritme “kopi badati”. Hanya tarian sederhana yang menghentak mewujud untaian kalimat yang mengalir mengikuti hentakan semangat “kopi badati” di kintal Gong Perdamaian. Kekagumanku meluap tak terbendung untuk anak-anak muda kabaressi ini. Aku yang tidak di sana bersama mereka seakan dirasuki roh mereka untuk mengangkat mukaku dengan bangga – mereka sedang membangun masa depan Maluku. Aku kehabisan kata-kata untuk menuliskannya, tapi malam ini makin kental keyakinanku bahwa aku tidak akan kehabisan harapan untuk menegakkan spirit perdamaian di tanah airku, Maluku.

4 comments:

  1. kabar sukacita:

    "Telah lahir bagi kita, generasi baru Maluku: Anak-Anak Perdamaian!"

    salam :)

    ReplyDelete
  2. Ierfun_BuN Sepakat dengan pinggirsentris :)

    buat yang punya tulisan ... beta rasa di ambon meledakkan semangat dengan laku dan ale meledakkan beta dengan tulisan ini ... sangat inspiratif bunbg ... salam :)

    ReplyDelete
  3. Terima kasih untuk apreasiasinya... hanya upaya kecil untuk terus membakar semangat persaudaraan yang damai dan saling menghidupkan... Mena!

    ReplyDelete
  4. beta iko dong pung pertemuan par hari sabtu tanggal 26 tuh.. :)
    BADATI dong sadap batul.. ;)

    Peace for Ambon Manise.. ;)

    ReplyDelete

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces