Semalam (Kamis, 26 Januari 2012)
saya diajak seorang teman untuk mengikuti pengajian bersama budayawan Emha
Ainun Najib – yang lebih dikenal dengan sapaan Cak Nun – di Masjid Gedhe Kauman
Yogyakarta. Ajakan itu tentu saja saya sambut dengan senang hati. Sudah lama
saya ingin menyaksikan penampilan Cak Nun dan Kyai Kanjeng-nya secara langsung.
Bukan katrok, tapi benar-benar ingin merasakan nuansa kehadiran bersama jamaah
Muslim secara langsung. Nuansa itulah yang kemudian benar-benar saya rasakan
berbeda ketimbang hanya menonton dari layar tv.
Malam itu saya menyaksikan
kepiawaian Cak Nun dalam menyajikan penafsiran Islam dalam bingkai kebudayaan
lokal (Jawa). Saya seperti mendapat pencerahan dalam memahami kelenturan Islam
dalam mengakomodasi, mengadaptasi, dan mengontekstualisasi ajaran-ajaran dalam
serangkaian parafrase kultural kejawaan. Islam dalam kajian Cak Nun kemudian
termanifestasi tidak hanya dalam gesture
jumud dalam bingkai-bingkai ajaran yang bersifat legalistik. Islam
ditransendensikan ke taraf penafsiran yang dalam dan luhur justru dari
pemaknaan yang menukik ke dasar-dasar ontologi kebudayaan. Islam mengalir
menjadi suatu “way of life” yang jauh
dari kesan formalistik namun tertancap sebagai ekspresi kehidupan yang
manusiawi, serta berkorelasi secara eksistensial dengan seluruh entitas
keduniaan tanpa terdikotomi secara picik pada kutub “sakral” dan “profan”.
Saya tidak tahu apakah di antara
sekian jamaah yang hadir di pelataran Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta ini ada
orang-orang lain yang bukan Muslim. Atau mungkin hanya saya yang Kristen di
tengah-tengah jamaah Muslim malam itu. Tetapi pesan-pesan Cak Nun, yang dikemas
dengan gayanya yang khas menimpali pendapat-pendapat beberapa pejabat yang
duduk bersamanya, terdengar di telinga dan terasa di batin saya – yang Kristen
Calvinis ini. Saya sering mendengar berbagai ceramah rohani dari para ustadz
(kebanyakan yang ditayangkan di tv). Saya mengikuti ceramah-ceramah itu lebih
dengan nalar kognitif. Namun malam itu, bersama Cak Nun, saya tenggelam dalam
permainan nalar batiniah yang meloncat-loncat di antara tafsir-tafsir Al-Quran
yang membumi, dengan lantunan sholawat menyentuh hakikat kemanusiaan saya –
yang bukan Islam dan bukan Jawa. Mungkin di situ kekuatan eksplorasi budaya dan
keislaman dalam tafsir-tafsir simbol budaya ala Cak Nun.
Kekaguman saya terhadap kemampuan
Cak Nun dalam “menjawakan Islam” dan “mengislamkan Jawa” kemudian menjadi
semacam cubitan pedis dalam proses memaknai dimensi-dimensi religiositas dalam
ekspresi kebudayaan lokal, sekaligus dimensi-dimensi kebudayaan lokal dalam
membumikan pesan-pesan religius. Imajinasi saya tiba-tiba tertaut pada
nama-nama “raksasa” dalam kajian agama-agama, semisal: Max Weber, Emile
Durkheim, Ninian Smart dan Clifford Geertz.
Weber yang gigih menelusuri
faktor-faktor esensial dalam agama yang mendorong rasionalitas ke arah
masyarakat modern (rasional) yang tampak dalam dinamika ekonomi (kapitalisme)
sebagai parameternya. Durkheim yang ngotot bahwa “agama adalah masyarakat” (religion is society) dan sebaliknya (society is religion), karena ia melihat proses
transendensi agama melalui ikatan-ikatan sosial dalam masyarakat melalui
simbolisasi-simbolisasi yang disebutnya sebagai “totemisme”. Smart yang mencoba
menjembatani polemik para pendahulunya dalam memahami fenomenologi, lalu tiba
pada tesis bahwa melalui fenomenologi, agama tidak bisa sekadar ditempatkan
sebagai entitas sui generis – ada begitu
saja untuk dirinya saja – tetapi mesti dilihat dalam pertautan dengan
dimensi-dimensi kemanusiaan yang lain. Upaya menemukan esensi agama sui generis adalah sesuatu yang
mustahil. Geertz yang melahirkan tesis kategorisasi Islam Jawa dalam performa
abangan-santri-priyayi, yang sebenarnya menjadi titik masuk untuk melihat
keberagamaan secara interpretatif melalui aspirasi dan ekspresi sosio-budaya.
Namun, apa yang dilakukan Cak Nun –
menurut saya – seolah meleburkan dan melebarkan diskursus keislaman ke dalam
ranah-ranah kebudayaan yang dibatinkan, bukan sekadar yang ditampilkan secara
kasat mata. Islam menjadi budaya. Islam menjadi ekonomi. Islam menjadi gaya
hidup. Islam menjadi ibadah sosial. Islam menjadi identitas yang menyeluruh,
bukan parsial. Pada konteks itu, Islam tidak lagi menjadi semacam rangkaian
transmisi kebudayaan dan peradaban Arab atau Timur Tengah. Islam dengan sadar
diparafrasekan menjadi bahasa, budaya, cara hidup, yang mengakar dalam
kesadaran penganutnya, sehingga melahirkan pemikiran dan pembatinan yang
berjalan seirama. Bukan tanpa konflik, tetapi konflik itu justru melahirkan
sintesa-sintesa baru dan kreatif yang menjadikan Islam bagian eksistensial
dalam kehidupan, bukan sekadar kewajiban tanpa membatinkannya.
Refleksi ini membuat saya tersadar
tentang kemampuan dan daya tahan agama-agama (termasuk Kristen) dalam melakukan
parafrase ajaran-ajarannya yang menukik dan tertancap dalam di kesadaran
keberagamaan. Saya sengaja tidak menggunakan istilah “kontekstualisasi” karena
pada dasarnya setiap agama terkontekstualisasi pada suatu ruang dan waktu
tertentu. Istilah parafrase lebih mengarah pada kemampuan membahasakan
ajaran-ajaran agama menjadi bahasa batin yang merasuki ruang-ruang kalbu
kemanusiaan, sambil menyadari keterkaitan dan keterikatan eksistensinya dengan
entitas-entitas alam semesta lainnya. Semua menjadi terhubung sehingga manusia
hanya menjadi manusia sejati dalam relasi-relasi tersebut.
Saya jadi tersadar kemudian bahwa
kekerasan atas nama agama terjadi karena kelumpuhan para penganut agama dalam
membahasakan agama sebagai bahasa kemanusiaan yang terhubung dengan seluruh entitas
alam semesta. Lebih memilih memakai bahasa “langit” dan “surga-neraka” daripada
bahasa manusia yang membumi. Agama hanya menjadi parole, belum menjadi langue
– pinjam istilah Ferdinand de Saussure.