Peluncuran Pusat Studi Perdamaian UKIM (19 Januari 2012) memberikan secercah harapan bahwa realitas konflik dan peacebuilding telah menjadi perhatian utama lembaga pendidikan tinggi ini. Meskipun tentu saja perlu persiapan konsep, program, dan class-action secara sistemik sehingga isu konflik dan peacebuilding tidak hanya tinggal mengawang tanpa upaya menggawangkannya secara konkret.
Cukup menarik bahwa pengelolaan PSP ini dilakukan oleh Program Pascasarjana Teologi UKIM (sejauh yang saya ketahui dari informasi yang beredar). Seakan hendak diasumsikan bahwa kajian konflik dan peacebuilding diintegrasikan ke dalam bangunan epistemik pendidikan teologi (bahkan pada tingkat pascasarjana). Tetapi kemudian, menurut saya, akan terasa kejanggalan ketika menilik lebih cermat pada kurikulum pendidikan teologi yang berlaku di fakultas teologi UKIM dan program pascasarjananya. Sejauh yang saya tahu (bisa saja salah), tidak ada program studi yang berorientasi pada isu konflik dan peacebuilding, yang kemudian secara programatis terimplementasi dalam bentuk matakuliah-matakuliah yang memberi ruang bagi kajian kritis terhadap isu-isu tersebut.
Keberadaan PSP yang melekat pada PPs Teologi UKIM (dan tentu saja juga dengan Fakultas Teologi) tentu bukanlah asal melekat, tapi memiliki pertimbangan-pertimbangan fundamental dan strategis. Fundamental artinya isu konflik dan peacebuilding semestinya ditempatkan dalam struktur kajian ilmiah, yang dengannya isu-isu itu dieksplorasi secara teoretis disertai penguatan kerangka metodologis untuk penelitian yang lebih komprehensif. Itu hanya bisa terjadi jika ada semacam program studi dan/atau matakuliah-matakuliah yang secara intensif mengupas dimensi-dimensi konflik dan peacebuilding. Strategis artinya jika para mahasiswa telah diberikan ruang untuk mendalami dimensi-dimensi konflik dan peacebuilding di kelas, maka PSP bisa menjadi "bengkel" untuk mendaratkan seluruh kerangka teoretis di kelas menjadi program-program aktual sebagai bentuk praksis dari apa yang disebut studi perdamaian itu.
Mengapa harus demikian? Kajian konflik dan studi perdamaian bukanlah sesuatu yang pragmatis belaka, hanya sebatas menanggapi realitas konflik yang terjadi secara kasat mata. Kajian konflik dan studi perdamaian pada hakikatnya membutuhkan suatu keseriusan dan kematangan, dengan wilayah jangkau ilmiah yang multidimensi. Setidaknya itu kesan yang saya peroleh ketika mengambil matakuliah "Peace and Violence in Religions" pada Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM Yogyakarta semester lalu. Itupun terasa satu semester tidaklah cukup.
Oleh karena itu, peluncuran PSP ini mesti disambut dengan sukacita sekaligus dilanjutkan dengan perencanaan kurikulum kajian konflik dan peacebuilding yang - bisa saja - terintegrasi dalam kurikulum pendidikan teologi, kendati saya pikir di kemudian hari itu harus menjadi semacam program studi tersendiri. Ini hanya percik-percik kecil pikiran saya.
No comments:
Post a Comment