Tadi pagi (21 Februari 2012) seorang mahasiswa mengirim SMS yang intinya memberitahukan bahwa ada seorang mahasiswa semester awal fakultas teologi UKIM yang meninggal bunuh diri. Saya membalas dengan menanyakan apakah alasan perbuatannya itu, jawaban masuk dengan singkat: "perempuan". Tentu saja itu hanya satu versi yang saya terima di antara sekian banyak versi yang saya yakin beredar secara variatif, entah di kalangan sivitas akademika, keluarga, dan publik luas. Oleh karena itu saya tidak bisa menerima alasan itu begitu saja. Tetapi untuk sementara (sampai sejak tulisan ini disusun) saya tidak punya informasi lain mengenai alasan bunuh dirinya, selain "perempuan".
Saya tidak ingin terlalu berbelit-belit dengan alasannya. Karena toh cuma dia yang tahu, dan apa yang dia tahu itu sudah dibawanya ke akhirat. Tak seorang pun yang tahu apa yang dia tahu sesungguhnya. Yang kita tahu paling-paling jasadnya saja yang - lagi-lagi menurut informasi sementara - tergantung kaku. Namun, peristiwa ini setidaknya menurut saya membawa kita pada perenungan yang terpecah menjadi tiga aliran "asumsi" yang bermuara pada tindakan bunuh diri itu.
1. Asumsi Keterasingan Budaya
Keterasingan budaya di sini adalah sebuah situasi kehidupan di mana seseorang lahir, bertumbuh dan menjadi dewasa tanpa memiliki keberakaran mendalam pada tanah budayanya. Ia hidup dalam suatu masyarakat yang transisional yang bergerak secara liminal (in-between), sehingga gamang merengkuh tradisi sekaligus ragu menenggelamkan diri dalam arus modernitas (secara ideologis dan fisik). Dalam masyarakat yang makin melek media, televisi berperan sangat penting dalam mengonstruksi ideologi-ideologi modernitas secara visual. Visualisasi ide-ide modern melalui televisi menggempur struktur kesadaran masyarakat liminal ini, dan secara subtil mentransformasikannya menjadi "kesadaran-kesadaran semu" (false consciousness - Karl Marx).
Sementara pada sisi lain, akar-akar budaya tradisionalnya kian rapuh dan tidak mampu menahan gempuran ideologi modernitas secara visual itu. Identifikasi terhadap modernitas berlangsung hanya pada tataran permukaan (fashion, HP, ungkapan-ungkapan gaul) tapi tidak berlangsung pada konstruksi kesadaran fundamental, yang seharusnya dilakukan melalui media pendidikan formal/informal yang juga kalang-kabut mencari bentuknya yang pas. Maka terbentuklah ia dalam sebuah pencarian identitas yang carut-marut.
2. Asumsi Pelumpuhan Kecerdasan
Kecerdasan yang saya maksud tidak secara langsung terkait dengan soal kognitif, tetapi lebih kepada afektif (mental). Jadi ini bukan soal orang bodoh atau orang pintar; bukan pula soal orang sekolahan atau "patah pena" (drop-out); juga bukan soal orang bergelar atau tidak bergelar. Pelumpuhan kecerdasan yang saya maksud di sini lebih berkaitan dengan sistem pengelolaan dinamika pembelajaran pada seluruh jenjang pendidikan - mulai dari SD hingga universitas.
Ada apa dengan sistem itu? Sejauh yang saya tahu dan alami, sistem pendidikan kita (terutama pada universitas) ternyata tidak mengalami transformasi fondasional yang berarti. Jargon "research university" masih jauh panggang dari api. Sistem pembelajaran pada jenjang universitas ternyata tak beda jauh dengan apa yang dijalani seseorang sejak ia masih SD, SMP, SMA. Mahasiswa hanya menjadi "objek bodoh" yang tidak berkepribadian. Lalu melalui proses OSPEKMARU hendak diputihbersihkan (tabula rasa) agar siap "ditulis" dengan tinta "emas" para dosen. Dosen menjadi "pengajar", tapi bukan "pendidik". Dosen hanya mengajar, tapi tidak mengajak mahasiswa menalar. Konstruksi pembelajaran hanya berkutat "mencari jawab atas masalah" tapi tidak pernah menantang mahasiswa untuk "mempermasalahkan sebuah jawaban". Makin lestarilah pola "patron-client" di universitas karena mahasiswa "segan" mengritik dosen dan sebaliknya dosen pun ingin menjadi "superman/superwoman" yang tidak [merasa] bersalah dalam berpikir. "Isi" menjadi orientasi, sementara metodologi berpikir dan memecahkan masalah hanya periferi tambal-sulam.
3. Asumsi Gagap Budaya
Yang saya maksud dengan gagap budaya adalah ketidakberdayaan sosial (terutama kaum muda) untuk berjarak dengan dinamika perkembangan sosial. Kenapa? Ya, itu tadi - karena keterasingan budaya dan pelumpuhan kecerdasan. Ketika suatu kelompok tidak mampu berjarak dengan dinamika sosial maka mereka tenggelam dan hanyut dalam "trend" yang secara langsung atau tidak langsung didesiminasi secara intensif dan massif oleh media.
Ini bisa dilihat dari kelatahan dalam mereproduksi suatu terminologi secara terus-menerus. Contoh: hampir di semua status FB (terutama mahasiswa fakultas teologi) secara berulang-ulang menuliskan "GALAU". Kata itu adalah vokabulari baru yang secara intensif menyusup dalam kesadaran kaum muda yang dipromosikan oleh agen-agen budaya pop, yaitu spesies manusia bernama "selebritas". Identifikasi lokal makin kedodoran dan terkubur seiring dengan menguatnya identifikasi diri kepada spesies-spesies manusia selebritas itu. Karena itu dianggap "nasional"; yang "nasional" lebih bergengsi daripada yang "lokal"; yang "Jakarta" lebih keren daripada "Ambon"; yang di Jakarta itu "modern" sedangkan yang di Ambon "kampungan".
Lebih jauh, gagap budaya ini juga terlihat dari destruksi logika kebahasaan kaum muda. Penulisan status FB dan bahasa SMS morat-marit mengangkangi struktur kebahasaan formal. Struktur kata, kalimat, frase, dan alinea makin amburadul karena menyalahi konsensus logis kebahasaan. Ini yang oleh Gaston Bachelard disebut "keretakan epistemologi". Orang melakukannya secara "lebay" tanpa tahu dan mengerti kenapa ia harus melakukannya.
Anda bisa saja menambahkan asumsi[-asumsi] yang lain. Bahkan, menggugurkan asumsi-asumsi saya di atas. Tujuan saya sederhana: mengajak anda semua untuk memikirkan fenomena "bunuh diri" yang tampaknya makin menjadi trend masa kini.
Daripada kita hanya berpusing-pusing mencari jawabnya, saya ingin mengajak anda untuk mempermasalahkan semua kemungkinan jawaban yang ada di benak kita. Tak usah bermimpi menemukan jawaban sempurna dan final, karena hal itu mustahil. Namun, rasanya tidak salah jika kita mulai mempertanyakan mulai dari diri kita sendiri: apakah kita sedang terseret arus aliran tiga asumsi di atas? Modernisasi tak perlu dilawan, tapi perlu dikritisi. Tanpa kritik terhadap ideologi modernisme, maka kita hanya menjadi "korban-korban iklan dan media", yang makin asing bahkan terhadap diri kita sendiri.
Makin berat rasanya mengatakan "nos autem praedicamus christum crucifixum"... jika melihat ini semua dalam analogi "ketika prajurit gugur sebelum berperang"...
steve gaspersz - yogyakarta, 21 februari 2012