Ini bukan nama orang. Bukan pula nama warung kopi “Cak Totok”. Ini adalah salah satu teknik yang pertama sekali saya temukan dalam komik-komik silat ala Kho Ping Ho. Dalam cerita-cerita silat itu, para pendekar dilukiskan memiliki kemampuan “totok” aliran darah untuk melumpuhkan musuhnya sehingga tidak berdaya.
Tapi “totok” yang ini lain ceritanya. Ini “totok” yang pada suatu malam terlihat pada foto yang diposting oleh Echon Kalay di Forum Ade-Kaka Teologi UKIM (lihat foto). Pada foto itu terlihat tiga kali kata “totok” digunakan: “totok payudara”, “totok vagina”, “totok payudara”. Sekali lagi dapat dipastikan bahwa makna denotatif “totok” yang ini berbeda dengan yang saya temukan dalam komik-komik silat yang pernah saya baca. Kemungkinan besar maknanya lebih kepada teknik terapi kecantikan: mengencangkan atau membesarkan payudara dan vagina [?].
Tapi “totok” yang ini lain ceritanya. Ini “totok” yang pada suatu malam terlihat pada foto yang diposting oleh Echon Kalay di Forum Ade-Kaka Teologi UKIM (lihat foto). Pada foto itu terlihat tiga kali kata “totok” digunakan: “totok payudara”, “totok vagina”, “totok payudara”. Sekali lagi dapat dipastikan bahwa makna denotatif “totok” yang ini berbeda dengan yang saya temukan dalam komik-komik silat yang pernah saya baca. Kemungkinan besar maknanya lebih kepada teknik terapi kecantikan: mengencangkan atau membesarkan payudara dan vagina [?].
Bukan soal payudara atau vagina yang menjadi fokus tulisan kecil ini. Fokus saya lebih kepada 3 hal:
- Asumsi dasar si fotografer sehingga tertarik untuk capturing citra (image) tersebut (apa kepentingannya, bagaimana reproduksi pencitraan terhadap “payudara” dan “vagina” di ruang publik);
- Kegelisahan epistemik yang muncul dalam bentuk pertanyaan yang dapat dibaca sebagai benturan interpretatif antara pemaknaan simbolik dan pernyataan denotatif mengenai “payudara” dan “vagina” tetapi juga konstruksi definitif mengenai “ruang publik” (Apa itu ruang? Apa implikasi pembatasan ruang itu oleh makna publik? Siapa atau apa “publik” itu – individualitas atau sosialitas atau pelapisan keduanya?;
- Upaya “membaca” (interpretasi) interkoneksi ketiga entitas simbolik itu dan menyeretnya ke diskursus budaya popular dengan menyoal kebertubuhan perempuan yang terartikulasi melalui konsep “kecantikan”.
Diskursi berkembang, meluas, melebar, ke berbagai jurusan, dengan berbagai gaya pengungkapan sebagaimana dapat terbaca pada komentar-komentar terhadap foto itu. Saya melihat bahwa hal yang menarik – tapi kerap terabaikan – adalah setiap kali kita membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan “payudara” dan “vagina”, atau bahkan “memperbesar penis”, kita merasa jengah dan condong menghindarinya sebisa mungkin. Alasan klasiknya: semua itu adalah wilayah privat yang tidak boleh dibicarakan secara publik atau dipublikasikan. Meskipun pada kenyataannya diskursus mengenai ketelanjangan manusia sebenarnya sesuatu yang sudah sejak lama adalah “wilayah publik”. Bahkan tercatat jelas dalam kitab keagamaan Kristen.
Apakah yang muncul dalam imajinasi kita saat membaca kisah Adam dan Hawa di Taman Eden yang menyatakan bahwa keduanya telanjang? Jelas yang terbayang bukan matanya Adam atau jempolnya Hawa, bukan? Yang terbayang saat kata “telanjang” itu berkelebat di benak kita adalah “payudara”, “vagina”, dan “penis”. Nah, jika kisah semacam itu tercantum dalam kitab suci, dan ada kewajiban untuk menyebarkan “firman Tuhan” kepada semua makhluk, apakah ketelanjangan itu masih bisa dikurung sebagai “ruang privat”? Atau justru sebaliknya, ketelanjangan itu adalah sesuatu yang sebenarnya melampaui publisitas yang paling publik sekalipun: dikisahkan sejak Sekolah Minggu hingga orang yang sedang sekarat menanti ajal – seperti pernyataan Ayub: “dengan telanjang aku keluar dari rahim ibuku; dengan telanjang pula aku kembali ke tanah”.
Kembali ke “totok”. Urusan “totok-menotok” dalam hal kecantikan tentu bukan fenomena baru. Dulu ada “jamu galian singset”; ada juga “kuku bima ginseng”. Malah jauh berabad-abad lalu, upaya untuk mengencangkan payudara di kalangan putri-putri kerajaan merupakan sesuatu yang sakral sehingga perlu dilakukan semacam ritual kesuburan. Ada pula tradisi “membesarkan” penis agar hubungan seksual menjadi lebih nikmat. Menariknya, terapi itu dilakukan hampir di seluruh dinasti penguasa seluruh dunia dengan menggunakan rempah-rempah dari kepulauan Maluku. Jack Turner memaparkannya secara gamblang dalam buku The Spice: A History of Temptation yang terjemahannya terbit dengan judul Sejarah Rempah: Dari Erotisme Sampai Imperialisme (2011).
Jadi, dalam sejarah politik dan sejarah agama-agama, masalah seksualitas dan ketelanjangan bukanlah sesuatu yang privat. Tetapi merupakan cara-mengada (eksistensi) manusia dan karena itu pula konsep kecantikan dapat dikatakan memiliki makna “teologis” dalam berbagai ekspresi budaya dan religiositas. Maka pada titik itu pula “totok” menjadi sebuah tindakan teologis agar kecantikan dan kegagahan yang termanifestasi melalui “payudara”, “vagina”, dan “penis” tetap terjaga sebagai entitas teologis yang tidak boleh digunakan sembarangan karena semua itu sakral.
Tantangan terbesar dalam konteks budaya popular adalah pendangkalan eksistensi kemanusiaan itu secara signifikan. Manusia dan tubuhnya kemudian tereduksi menjadi komoditas yang hanya bernilai ekonomis. Saya rasa di sini kita perlu terapi “totok” yang tokcer untuk menyelamatkan kebertubuhan manusia dari destruksi komodifikasi kecantikan yang konon adalah bagian dari imago Dei. Begitulah.
No comments:
Post a Comment