Aku menulis maka aku belajar

Friday, January 18, 2013

AAA

*Dalam Forum Teologi dan Biblika terjadi diskusi hangat seputar Seminar Agama-Agama (SAA) dan Teologi Agama-Agama (TAA). Tulisan ini bermaksud menanggapi beberapa isu yang dibicarakan di forum tersebut*

Catatan kecil ini lahir dari keriuhan diskusi di bawah status yang ditulis oleh Prof. Gerrit Singgih tentang kemungkinan [dan ketidakmungkinan?] merumuskan teologi agama-agama (TAA) berperspektif Indonesia. Diskusi yang berkembang – sejauh amatan saya – memunculkan ide-ide kritis yang mungkin saja tidak akan muncul dalam ruang diskusi formal sekaliber “Seminar Agama-Agama” (SAA), yang juga ramai dibincangkan di situ.

Saya ingin sedikit menarik diri dari kerumunan ide-ide bernas di sana dan mencari ruang yang agak lega melalui “note” ini. Namun demikian, saya juga perlu membatasi ruang gerak catatan ini yakni pada beberapa pernyataan: “teologi agama-agama dari perspektif Kristen” (Gerrit Singgih), “teologi agama-agama itu cuma omongan di awan-awan tanpa sentuhan realitas konkret” (Johannes Silentio), dan “ordinary theology of religions” atau “teologi agama-agama keseharian” (Rony Chandra Kristanto). Saya tidak ingin terlalu banyak mengutak-atik isu TAA. Biarlah nanti digarap oleh teman-teman yang lebih piawai dalam hal itu.

Perhatian saya lebih kepada tiga konsep yang menyertai istilah TAA di atas, yaitu “perspektif Kristen”, “realitas konkret” dan “keseharian” atau “biasa-biasa saja”. Menurut saya, ketiga konsep tersebut mencoba menyifatkan atau membentuk postur dari TAA yang dibincangkan. “Perspektif Kristen” hendak memberi sifat (nature) Kristen pada TAA, yang berarti bagaimana si Kristen itu memikirkan, membangun dan menghayati iman kristianinya (apapun arus teologinya) dalam tautan dengan kehadiran si Islam, si Budha, si Hindu, si Konghucu, si Kaharingan, si Kakehan, si Aluk Todolo, si Marapu, dsb. Si Kristen merasa Tuhan-imaniahnya [di]hidup[i] oleh yang lain-lain itu. Tanpa yang lain Tuhan-imaniahnya hanya sesuatu yang abstrak nun jauh di antah-berantah.

“Realitas konkret” menggambarkan bahwa si Kristen dan teman-temannya itu berpijak pada satu bumi yang menjadi rumah bersama karena tidak ada satupun di antara mereka yang bisa hidup di luar bumi ini. Pijakan “realitas konkret” ini bukannya tanpa masalah, karena setiap mereka melihat, mengalami, menghayati, dan mengekspresikan yang konkret itu dengan cara yang berbeda. Pemaknaan yang berbeda melahirkan ekspresi penghayatan yang berbeda pula; yang pada gilirannya melahirkan pengalaman-pengalaman keberagamaan yang berwarna-warni. Oleh karena itu, “realitas konkret” itu sendiri kerap menjadi masalah tersendiri yang ditanggapi berbeda pula oleh masing-masing.

Realitas konkret tersebut galibnya merupakan arena perjumpaan setiap orang yang berbeda-beda tersebut. Itu menjadi ruang empiris yang menempatkan setiap mereka dalam aneka relasi (simbiosis, negosiatif, konfliktual). Aneka relasi itu pun berlangsung setiap hari, dalam bincang-bincang ringan, di tengah kemacetan lalu-lintas, di tengah kepungan banjir, di tengah massa yang menonton aksi demonstrasi mahasiswa, pun terselip di antara gosip siapa capres/cawapres mendatang, dll. Itu mengalir dalam aktivitas dan dialog keseharian yang biasa-biasa saja. Sehingga realitas konkret itu juga mewadahi aneka refleksi teologis keseharian yang biasa-biasa saja menanggapi masalah-masalah sehari-hari yang dialami sebagai komunitas manusia di bumi yang satu ini.

Memunculkan ketiga aspek itu serta-merta membawa saya kembali pada isu metode penelitian teologi, seperti note saya sebelumnya. Bagaimanakah “metode” atau “jalan” menuju dan mencapai TAA itu? Dari ketiga aspek yang sengaja saya pilih di atas jelas bahwa TAA tidak dapat dibentuk (analogi tanah liat) tanpa campuran “tanah” sosial dan “air” budaya yang yang selama prosesnya turut merefleksikan imajinasi sang penjunan (agen dan struktur sosial). Refleksi penjunan adalah pemikiran dan pola-pola tindakan yang tersusun melalui sejarah kehidupan dan interaksi “biasa-biasa saja” dengan liyan.

Pada batasan tertentu, saya mencoba memahami kritik bahwa TAA tampaknya tidak terjadi dalam SAA (yang dicurigai mengawang-awang itu). Pengalaman saya pribadi lebih condong untuk menyatakan bahwa TAA bisa terjadi dalam AAA alias Angkringan Agama-Agama. “Angkringan” adalah istilah bahasa Jawa untuk gerobak penjual penganan ringan (gorengan) yang juga tempat nongkrong bagi yang suka begadang. Penampilan angkringan tentu jauh berbeda dibandingkan cafĂ© Starbucks. Yang nongkrong di angkringan pun selalu dianggap “tak berkelas” karena hanya menjadi tempat mampir pengayuh becak, pengojek motor, mahasiswa yang belum terima kiriman uang atau beasiswanya keburu ludes pertengahan bulan, juru parkir, pemulung, ataupun para pengangguran.

Angkringan selalu berlokasi di pinggir jalan (banyak juga yang menduduki trotoar). Mudah disinggahi tapi tak jarang mengganggu lalu-lintas karena banyaknya deretan kendaraan yang parkir di pinggir arus-utama jalan. Di angkringan setiap orang bertemu bukan untuk berdebat atau merasa diri jagoan, melainkan bertemu untuk bersosialisasi melalui percakapan-percakapan ringan dan renyah sembari menyeruput kopi hitam dan mengunyah gorengan, diselingi tarikan-tarikan rokok kretek yang asapnya mengepul bebas berbaur asap knalpot kendaraan yang melintas. Isi percakapan bervariasi. Politik, ekonomi, banjir, pembangunan, longsor, pemerkosaaan, hingga mega-korupsi, dibicarakan dengan lugas, mengalir melalui ekspresi bahasa kerakyatan yang bisa diterima semua yang ada di situ, sambil sesekali diselingi guyonan yang membuat semua “ggeeerr” ramai-ramai.

Pengalaman angkringan adalah pengalaman ruang populis (publik). Jika demikian, maka dengan ketiga aspek itu, saya condong menemukan TAA dalam AAA – perjumpaan si Kristen, si Islam, si Budha, dll., dalam ruang populis yang terekspresi melalui bahasa kerakyatan yang mungkin saja nyleneh di telinga para birokrat teologi. Metodenya? Saya tidak tahu. Mungkin saja format berteologi kita harus berani menempuh metode “blusukan” ala Jokowi itu. Sebab yang mengaku “ahlinya” ternyata tak punya nyali pertama-tama mengubah tradisi birokrasi yang melingkari kaki-dan-tangannya untuk bertindak konkret.

“Blusukan” bisa menjadi metode berteologi. Keluar dari protokoler narasi-narasi besar yang sepanjang sejarah menggayuti kaki-tangan birokrat teologi. Itu juga memungkinkan terbukanya ruang populis yang berjumpa di tengah masalah bersama, yang tidak bisa tidak harus diselesaikan bersama. “Blusukan” teman-teman Jaringan Islam Liberal pada derajat tertentu berhasil mengusik protokoler tafsir Quran yang didominasi para birokrat teologi Islam di Indonesia dengan metode hermeneutik yang kritis. Katanya, kalau soal tafsir liberal atas teks-teks Alkitab itu sudah lama dilakukan di kalangan Kristen. Namun, mesti juga diakui bahwa itu belum berhasil menerobos kejumudan perlintasan teologis agama-agama dari sudut pandang Kristen.

Kalau anda bertanya metode berteologi “blusukan” itu seperti apa, saya juga tidak tahu bagaimana menjawabnya. “Religious Studies” maupun “Comparative Religions” sebenarnya hanya salah satu pintu memahami “bagaimana” tanah liat iman dibentuk (unsur pembentuknya, imajinasi sang penjunan), bukan soal mempelajari “apa” iman itu. Namun setidaknya, catatan yang pernah dibuat Stephen Bevans tentang model-model teologi kontekstual (translasi, antropologis, praksis, sintesis dan transendental) membantu memetakan beberapa ruas jalan (metode) yang bisa ditempuh. Tergantung sasaran dan/atau tujuan kita.

Begitu dululah. Harap dimaklumi jika saya menggunakan terma-terma Jawa di sini. Saya hanya sedang berusaha menyerap pengalaman Yogyakarta selagi berjibaku di situ. Atau dalam bahasa kang Rony Chandra Kristanto, sedang menghayati “ordinary theology of religions” tanpa memusingkan keabsahan jawaban apapun.

____________________________________________

*Catatan: Blusukan, berasal dari kata blusuk atau blesek (dalam bahasa jawa) yang artinya masuk. Jokowi-lah yang kemudian mempopulerkan istilah ini dalam ruang-ruang pemberitaan yang terkait dengan program kerjanya di 100 hari pertama memimpin DKI bersama Ahok. Blusukan (masuk) dari satu kampung ke kampung lainnya, sidak melihat permasalahan yang ada di lapangan dengan turun langsung, dan menemui masyarakat dengan gaya kepemimpinan yang jauh dari formal dan pengawalan.

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces