Aku menulis maka aku belajar

Friday, February 1, 2013

Jembatan Pneumatologis dalam Wacana Pluralisme Agama di Indonesia: Catatan Apresiatif terhadap tesis Toar Banua Hutagalung

Catatan ini saya tulis sebagai tanggapan terhadap tesis rekan Toar Banua Hutagalung, bertajuk Known Spirit in religious pluralism: Christian Theology of the Holy Spirit in Islam yang dipertahankan di Andover Newton Theological School, Amerika Serikat. Tulisan ini sebelumnya telah saya posting di Forum Teologi dan Biblika, serta telah mendapat sejumlah tanggapan kritis termasuk dari rekan Toar sendiri. Saya menyajikannya di forum ini sebagai kelanjutan diskusi seputar kajian keagamaan dan teologi agama-agama.

Pertama-tama, saya ingin memberikan apresiasi atas capaian saudara Toar dalam studinya di Andover Newton Theological School, Amerika Serikat. Sekilas membaca catatan ringkas mengenai tesisnya mengungkit kembali harapan untuk menjembatani percakapan lintas-iman terutama antara Islam dan Kristen. Memang tidak terpungkiri bahwa kedua agama abrahamik ini kerap berada dalam hubungan “benci-tapi-rindu”. “Benci” bukan karena banyak perbedaannya tetapi, kata John Esposito, justru karena banyak persamaannya. Sehingga yang terjadi adalah klaim kebenaran di antara banyak kesamaan tersebut. “Rindu” karena keduanya seolah-olah tidak merasa eksis tanpa kehadiran yang lain. Ketegangan dan perdebatan tampaknya kemudian menjadi arena melepas “kerinduan” untuk berdialog kendati kerap berujung pengerasan kutub-kutub teologis masing-masing. Seperti ungkapan iklan salah satu merek rokok: “Ga ada lo, ga rame coy”. Oleh karena itu, karya saudara Toar tentu layak diapresiasi sebagai pergulatan teologiwan Kristen muda yang tak jenuh menceburkan diri dalam lumpur diskursus dialog lintas-iman yang makin kelam akhir-akhir ini, bahkan kian pudar dari percakapan kaum Kristen.

Kedua, sebagai sebentuk apresiasi maka saya lebih tertarik untuk sedikit berbincang-bincang dengan tesis (baca: ide orisinal) saudara Toar tersebut. Nah, untuk tujuan itu saya merasa perlu menempatkan pijakan saya (positioning) dalam perbincangan sederhana ini. Setelah menempuh studi teologi pada jenjang strata satu, saya kini lebih fokus merambah ranah kajian keagamaan (religious studies). Minat tersebut sangat diperkuat oleh kenyataan konflik sosial di Maluku beberapa tahun lampau. Konflik tersebut menyeret kedua kelompok agama (Kristen dan Islam) hingga nyaris ke titik nadir peradaban dalam sejarah Nusantara dan Indonesia. Konteks tersebut telah menjunkirbalikkan paradigma berteologi saya dan menarik saya untuk menenggelamkan diri lebih pada upaya memahami agama sebagai sebuah fenomena sosial-budaya. Jadi, harap dimaklumi jika saya tak terlampau fasih mengutip raksasa-raksasa teologi yang telah melahirkan berjilid-jilid buku teologi di dunia Barat dengan ruang dan waktu nan jauh dari konteks saya.

Ketiga, kenapa harus Islam yang menjadi topik perbincangan? Secara historis, eksistensi Islam di Nusantara (yang kemudian menjadi Indonesia) berkembang melalui sejarah pengalaman-pengalaman sosial-budaya yang panjang. Ini berbeda dengan sejarah kekristenan di Nusantara dan Indonesia yang lebih diwarnai konflik dan tarik-ulur relasi-relasi kekuasaan sepanjang periode kolonial, yang tetap menjadi warisan sejarah hingga saat ini baik secara internal maupun eksternal. Islam disebarluaskan melalui proses-proses budaya dan ekonomi yang mensyaratkan elastisitas dalam mengadopsi dan beradaptasi dengan kebudayaan setempat yang belum-Islam. Negosiasi-negosiasi kultural berlangsung secara sublim sehingga penyerapan ajaran-ajaran utama Islam (dari tempat asal para pedagang Islam – India) mengalir dan merembesi pandangan dunia (worldview) masyarakat lokal. Islam pada gilirannya terinternalisasi sebagai “worldview” itu sendiri.

Fleksibilitas masyarakat lokal menyerap ajaran-ajaran utama Islam secara historis juga ditentukan oleh masih kuatnya pengaruh Hinduisme yang sebelumnya telah menjadi agama besar sebelum digantikan oleh Islam. Pada konteks itu maka bisa dikatakan bahwa Islam di Nusantara tidak akan menjadi kuat dan berakar dalam tanpa “worldview” Hinduisme dan Budhisme. Di situ dapat dilihat bahwa sejarah peradaban keagamaan pada derajat tertentu berlangsung secara relasional (kultural, sosiologis, ekonomis dan politis). Prof. Martin van Bruinessen menulis sebuah buku babon dalam sejarah Islam dan religious studies bertajuk “Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia” bisa menjadi rujukan penting untuk memahami perkembangan Islam di Nusantara dan mengapa sejumlah besar tradisi-tradisi mampu bertahan sehingga menampakkan Islam Nusantara sebagai entitas yang berbeda dan unik dibandingkan dengan Islam di Timur-Tengah atau dunia berbahasa Arab. Dalam alur sejarah sedemikian sufisme Islam mengalir dan berkembang mengikuti narasi-narasi kebudayaan lokal, bahkan memberi warna identitas kultural yang sangat kuat. Tak mengherankan jika para indonesianis semenjak Snouck Hurgronje, Hendrik Kraemer, Benedict Anderson, Clifford Geertz, hingga Bob Hefner pun lebih banyak memberi perhatian pada dinamika Islam dalam spektrum budaya yang terus-menerus mengalami perubahan baik secara evolusioner maupun radikal.

Sedikit pemaparan di atas sebenarnya mengarahkan saya pada keingintahuan tentang tradisi Islam seperti apakah yang menjadi perhatian saudara Toar sehingga tertarik membangun jembatan epistemik berdialog dengan menggunakan pendekatan pneumatologis? Pada titik manakah dalam ajaran-ajaran utama Islam (sufisme, ahlulsunnah-waljamaah, ahmadiyah, sunni, syiah, wahabi, syafii, dll) yang secara umum mewujud pada tubuh organisasi NU dan Muhammadiyah, pijakan dialog pneumatologis tersebut dapat dibangun? Selanjutnya, mengingat bahwa agama bukanlah sebuah entitas yang statis melainkan dinamis, sejauh mana tradisi-tradisi Islam yang menjadi perhatian dalam tesis saudara Toar membuka “arena” bagi negosiasi-negosiasi budaya yang memadai bagi percakapan lintas-iman. Dalam bahasa sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, bagaimanakah menjelaskan “field” yang memungkinkan terjadinya “interplay” atau “power-relations” antara “agency & structure” sehingga terbentuk “habitus” dalam ruang-ruang aktivitas keseharian masyarakat?

Sekali lagi, mohon uraian ringkas ini diterima sebagai sebentuk apresiasi saya terhadap karya saudara Toar. Jika hal ini bisa diterima sebagai bagian kita membangun sebuah perbincangan yang bermanfaat saya hanya bisa berucap “alhamdulilah”. Jika tidak pun saya cuma bisa berujar “puji tuhan”. Terima kasih dan sekali lagi selamat atas prestasi yang telah dicapai.

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces