Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya. Bersamaan dengan penyusunan konsepnya, saya menerima berita dan foto, juga catatan rekan Pdt Albert Kofit mengenai deklarasi jaringan pemuda antar-iman di Maluku Utara dan tulisan rekan Pdt Rudy Rahabeat bertajuk “Agama Bukan Alat Politik” (yang juga mengambil konteks Maluku Utara). Saya pertama-tama ingin mengucapkan selamat atas terbentuknya jaringan pemuda antar-iman di Maluku Utara. Peristiwa ini dapat dijadikan sebagai momentum penting membuka kembali simpul-simpul sentimen dan prasangka yang selama ini mengendap di bawah struktur kesadaran sosial masyarakat Maluku Utara. Tampak tenang di permukaan tetapi dapat sewaktu-waktu meledak karena simpul-simpul sentimen dan prasangka tersebut belum terurai melalui relasi-relasi yang transparan dan tulus. Apresiasi yang tinggi hendak saya sampaikan terutama kepada rekan-rekan pendeta yang dengan segala cara mencari kemungkinan membangun relasi-relasi kemanusiaan lintas-institusi agama serta menggali potensi-potensi kultural bagi penguatan perdamaian sosial di sana.
Kedua, peristiwa deklarasi jaringan pemuda antar-iman Maluku Utara dan penyelenggaraan diskusi publik “Agama Bukan Alat Politik”, menurut saya, merupakan satu titik kulminasi dari dialog panjang para pelaku perdamaian lintas-institusi agama di Maluku Utara. Dialog panjang yang dimaksud tentu saja bukan sekadar perjumpaan-perjumpaan formal dalam ruang-ruang seminar dan/atau yang diprogramkan oleh institusi-institusi pemerintahan dan agama saja. Saya percaya bahwa capaian hingga titik deklarasi antar-iman telah melalui dialog kehidupan sehari-hari yang panjang dan melelahkan, serta perjumpaan-perjumpaan kultural yang berlangsung informal dalam konteks kemajemukan di Maluku Utara (terutama kota Ternate). Jika melihatnya demikian, maka dapat dibayangkan bahwa perjumpaan-perjumpaan itu tidak selamanya lancar dan mulus sebagaimana gambaran idealnya. Benturan dan ketegangan sudah pasti terjadi selama proses membangun dialog kehidupan tersebut. Sesuatu yang wajar mengingat sebagai salah satu wilayah yang juga merasakan dampak konflik sosial beberapa tahun silam, masyarakat Malut tidak bisa begitu saja menghapus memori kolektif tentangnya.
Pelanggengan memori kolektif mengenai konflik terjadi karena ruang-ruang perjumpaan sehari-hari turut tersegregasi oleh sekat-sekat identitas yang berlapis-lapis. Sehingga untuk memulai dialog kehidupan tersebut diperlukan energi dan konsistensi tingkat tinggi, terutama untuk menahan tekanan-tekanan sosial-politik dari kubu-kubu yang tetap ingin mengeruk keuntungan dari situasi konflik. Sejauh yang saya amati, salah satu upaya (di antara banyak upaya oleh rekan-rekan pendeta yang lain) untuk tetap menebarkan semangat perdamaian dan persaudaraan adalah melalui tulisan-tulisan, sebagaimana yang dilakukan dengan tekun dan rajin oleh Pdt Rudy Rahabeat (RR). Kejelian untuk membentuk opini positif melalui media (koran lokal dan internet) telah menjadi salah satu kekuatan untuk melakukan diseminasi ide-ide dan pengalaman-pengalaman konstruktif yang menjadi milik bersama masyarakat Malut. Peluang untuk mendapatkan akses ke media cetak lokal dan penyebaran tulisan-tulisan ringkas tapi bernas melalui media jejaring sosial (facebook) secara gradual telah memberikan efek kognitif yang signifikan bagi pembentukan opini publik mengenai situasi dan kondisi Malut. Ini perlu diapresiasi dan diperhatikan serius dalam proses konstruksi sosial-budaya dan pengondisian perdamaian yang berkelanjutan di Maluku dan Maluku Utara.
Jika diamati, sebagian besar tulisan-tulisan RR merupakan refleksi pengalaman-pengalaman sosial yang terjadi di Malut, terutama Ternate. Tulisan-tulisan RR mencoba berdialog dengan sosok tertentu (tokoh masyarakat maupun orang-orang biasa), mengangkat realitas keterpurukan manusia akibat buruknya mekanisme birokrasi pemerintahan, pengalaman perjumpaan secara langsung komunitas gereja dan pondok pesantren, sampai pada kritik terhadap penyelewengan kekuasaan (korupsi) yang telah menjadi “tumor ganas” dalam relasi-relasi kekuasaan pada semua level birokrasi pemerintahan.
Selain melalui tulisan, saya juga mendengar bahwa rekan Pdt Max Takaria (MT) menjalin komunikasi yang akrab dengan Sultan Ternate. Banyak cerita tentang ini yang tentunya lebih tepat dituturkan oleh MT sendiri. Dari pengalaman RR dan MT, saya makin yakin bahwa “teologi agama-agama” – entah dalam perspektif Kristen ataupun Islam – terbentuk bukan lagi melalui pertemuan-pertemuan formal yang kerap teralienasi dari pengalaman-pengalaman keagamaan yang konkret sebagaimana dihayati dan dialami oleh masyarakat umumnya. Teologi agama-agama itu justru tersusun, direkatkan bagian-bagiannya, dan terbangun secara bertahap melalui pengalaman-pengalaman keseharian manusia dalam konteks partikular.
Tetapi, pengalaman semacam apakah yang bisa menjadi model bagi terbentuknya teologi agama-agama dalam konteks Maluku/Malut? Menurut saya, di sinilah gagasan “identitas” Burke/Stets dan “habitus” Bourdieu – lihat tulisan sebelumnya – memberikan spasi untuk mempertautkan “teks-teks” pengalaman tertentu kemanusiaan menjadi sebuah wacana intertekstualitas yang utuh dan saling mengait. Jika identitas merupakan arena negosiasi antara agency and social structure maka proses-proses negosiasi tersebut adalah “kemungkinan” (possibility) untuk berdialog. Lantas, apa yang harus didialogkan? Diperlukan pemahaman bersama mengenai struktur-struktur kesadaran semacam apa yang mempengaruhi power relations di antara manifestasi lapisan-lapisan identitas individual dan komunal. Pemahaman bersama itu hanya terbentuk melalui kesepakatan-kesepakatan sejarah dan budaya yang melandasi gerak sosial suatu masyarakat. Dengan demikian, apa yang didialogkan adalah simpul-simpul identitas (agency and social structure) yang mendorong terjadinya komunikasi budaya di dalam masyarakat itu sendiri. Penentuan titik-titik diskursus budaya itu pun berlangsung dalam proses “menjadi” sehingga memang yang dibutuhkan adalah kejelian melihat peluang-peluang sosial untuk menghadirkan pengalaman bersama sebagai tumpuan dialog kehidupan.
Kembali pada pengalaman rekan-rekan pendeta di Malut. Deklarasi Jaringan Pemuda Antar-Iman dapat dipahami sebagai kemungkinan untuk melumerkan sekat-sekat identitas sosial-budaya yang selama ini dilihat sebagai “ancaman” bagi perdamaian. Namun kini sekat-sekat itu baiknya menjadi simpul-simpul identitas baru yang saling bertaut secara kreatif dan dinamis dengan pengalaman-pengalaman baru menghadapi juggernaut perubahan yang menggoncang dasar-dasar sejarah dan budaya bersama dalam konteks Malut. Jejaring itu juga mesti menjadi “habitus”, dimensi-dimensi kesadaran positif yang distrukturkan sehingga terinternalisasi sebagai hakikat dari identitas sosial Malut. Ia tidak lagi memerlukan ruang-ruang pertemuan dalam bingkai formalistik dan birokratik karena semangat jejaring antar-iman telah menjadi penanda identitas masyarakat Malut. Soalnya sekarang adalah apakah dalam habitus semacam itu masih diperlukan “teologi agama-agama”? Jika masih, bagaimana kita mengelaborasi kemungkinan-kemungkinan teologis dalam pengalaman sosial dan budaya kita? Jalan masih panjang. Tapi setidaknya langkah sudah mulai mengayun ke tahap berikutnya.
Read more ...
Kedua, peristiwa deklarasi jaringan pemuda antar-iman Maluku Utara dan penyelenggaraan diskusi publik “Agama Bukan Alat Politik”, menurut saya, merupakan satu titik kulminasi dari dialog panjang para pelaku perdamaian lintas-institusi agama di Maluku Utara. Dialog panjang yang dimaksud tentu saja bukan sekadar perjumpaan-perjumpaan formal dalam ruang-ruang seminar dan/atau yang diprogramkan oleh institusi-institusi pemerintahan dan agama saja. Saya percaya bahwa capaian hingga titik deklarasi antar-iman telah melalui dialog kehidupan sehari-hari yang panjang dan melelahkan, serta perjumpaan-perjumpaan kultural yang berlangsung informal dalam konteks kemajemukan di Maluku Utara (terutama kota Ternate). Jika melihatnya demikian, maka dapat dibayangkan bahwa perjumpaan-perjumpaan itu tidak selamanya lancar dan mulus sebagaimana gambaran idealnya. Benturan dan ketegangan sudah pasti terjadi selama proses membangun dialog kehidupan tersebut. Sesuatu yang wajar mengingat sebagai salah satu wilayah yang juga merasakan dampak konflik sosial beberapa tahun silam, masyarakat Malut tidak bisa begitu saja menghapus memori kolektif tentangnya.
Pelanggengan memori kolektif mengenai konflik terjadi karena ruang-ruang perjumpaan sehari-hari turut tersegregasi oleh sekat-sekat identitas yang berlapis-lapis. Sehingga untuk memulai dialog kehidupan tersebut diperlukan energi dan konsistensi tingkat tinggi, terutama untuk menahan tekanan-tekanan sosial-politik dari kubu-kubu yang tetap ingin mengeruk keuntungan dari situasi konflik. Sejauh yang saya amati, salah satu upaya (di antara banyak upaya oleh rekan-rekan pendeta yang lain) untuk tetap menebarkan semangat perdamaian dan persaudaraan adalah melalui tulisan-tulisan, sebagaimana yang dilakukan dengan tekun dan rajin oleh Pdt Rudy Rahabeat (RR). Kejelian untuk membentuk opini positif melalui media (koran lokal dan internet) telah menjadi salah satu kekuatan untuk melakukan diseminasi ide-ide dan pengalaman-pengalaman konstruktif yang menjadi milik bersama masyarakat Malut. Peluang untuk mendapatkan akses ke media cetak lokal dan penyebaran tulisan-tulisan ringkas tapi bernas melalui media jejaring sosial (facebook) secara gradual telah memberikan efek kognitif yang signifikan bagi pembentukan opini publik mengenai situasi dan kondisi Malut. Ini perlu diapresiasi dan diperhatikan serius dalam proses konstruksi sosial-budaya dan pengondisian perdamaian yang berkelanjutan di Maluku dan Maluku Utara.
Jika diamati, sebagian besar tulisan-tulisan RR merupakan refleksi pengalaman-pengalaman sosial yang terjadi di Malut, terutama Ternate. Tulisan-tulisan RR mencoba berdialog dengan sosok tertentu (tokoh masyarakat maupun orang-orang biasa), mengangkat realitas keterpurukan manusia akibat buruknya mekanisme birokrasi pemerintahan, pengalaman perjumpaan secara langsung komunitas gereja dan pondok pesantren, sampai pada kritik terhadap penyelewengan kekuasaan (korupsi) yang telah menjadi “tumor ganas” dalam relasi-relasi kekuasaan pada semua level birokrasi pemerintahan.
Selain melalui tulisan, saya juga mendengar bahwa rekan Pdt Max Takaria (MT) menjalin komunikasi yang akrab dengan Sultan Ternate. Banyak cerita tentang ini yang tentunya lebih tepat dituturkan oleh MT sendiri. Dari pengalaman RR dan MT, saya makin yakin bahwa “teologi agama-agama” – entah dalam perspektif Kristen ataupun Islam – terbentuk bukan lagi melalui pertemuan-pertemuan formal yang kerap teralienasi dari pengalaman-pengalaman keagamaan yang konkret sebagaimana dihayati dan dialami oleh masyarakat umumnya. Teologi agama-agama itu justru tersusun, direkatkan bagian-bagiannya, dan terbangun secara bertahap melalui pengalaman-pengalaman keseharian manusia dalam konteks partikular.
Tetapi, pengalaman semacam apakah yang bisa menjadi model bagi terbentuknya teologi agama-agama dalam konteks Maluku/Malut? Menurut saya, di sinilah gagasan “identitas” Burke/Stets dan “habitus” Bourdieu – lihat tulisan sebelumnya – memberikan spasi untuk mempertautkan “teks-teks” pengalaman tertentu kemanusiaan menjadi sebuah wacana intertekstualitas yang utuh dan saling mengait. Jika identitas merupakan arena negosiasi antara agency and social structure maka proses-proses negosiasi tersebut adalah “kemungkinan” (possibility) untuk berdialog. Lantas, apa yang harus didialogkan? Diperlukan pemahaman bersama mengenai struktur-struktur kesadaran semacam apa yang mempengaruhi power relations di antara manifestasi lapisan-lapisan identitas individual dan komunal. Pemahaman bersama itu hanya terbentuk melalui kesepakatan-kesepakatan sejarah dan budaya yang melandasi gerak sosial suatu masyarakat. Dengan demikian, apa yang didialogkan adalah simpul-simpul identitas (agency and social structure) yang mendorong terjadinya komunikasi budaya di dalam masyarakat itu sendiri. Penentuan titik-titik diskursus budaya itu pun berlangsung dalam proses “menjadi” sehingga memang yang dibutuhkan adalah kejelian melihat peluang-peluang sosial untuk menghadirkan pengalaman bersama sebagai tumpuan dialog kehidupan.
Kembali pada pengalaman rekan-rekan pendeta di Malut. Deklarasi Jaringan Pemuda Antar-Iman dapat dipahami sebagai kemungkinan untuk melumerkan sekat-sekat identitas sosial-budaya yang selama ini dilihat sebagai “ancaman” bagi perdamaian. Namun kini sekat-sekat itu baiknya menjadi simpul-simpul identitas baru yang saling bertaut secara kreatif dan dinamis dengan pengalaman-pengalaman baru menghadapi juggernaut perubahan yang menggoncang dasar-dasar sejarah dan budaya bersama dalam konteks Malut. Jejaring itu juga mesti menjadi “habitus”, dimensi-dimensi kesadaran positif yang distrukturkan sehingga terinternalisasi sebagai hakikat dari identitas sosial Malut. Ia tidak lagi memerlukan ruang-ruang pertemuan dalam bingkai formalistik dan birokratik karena semangat jejaring antar-iman telah menjadi penanda identitas masyarakat Malut. Soalnya sekarang adalah apakah dalam habitus semacam itu masih diperlukan “teologi agama-agama”? Jika masih, bagaimana kita mengelaborasi kemungkinan-kemungkinan teologis dalam pengalaman sosial dan budaya kita? Jalan masih panjang. Tapi setidaknya langkah sudah mulai mengayun ke tahap berikutnya.