Tajuk “teologi agama-agama di Maluku” yang disodorkan serta-merta menggiring kesadaran reflektif saya pada lapisan-lapisan identitas pada diri saya, yang tidak terpungkiri sangat mempengaruhi bentukan-bentukan perspektif dan pengalaman yang dibagikan di sini. Istilah “teologi” mengasumsikan bahwa saya berpikir dan beriman dalam sebuah sistem keagamaan tertentu (Kristen); istilah “agama-agama” menandakan dengan tegas bahwa pantulan pengalaman keagamaan itu tidak monolitik tetapi jamak dan berwarna-warni; istilah “Maluku” memperlihatkan bahwa pengalaman dan penghayatan beriman dan beragama berlangsung dalam sebuah konteks sosiobudaya yang kompleks.
Tipologi Alan Race yang dielaborasi dalam bukunya Christians and Religious Pluralism, sebagaimana dikutip oleh bung Jacky, setidaknya membantu memberikan pemetaan (vantage point) untuk melihat sudah sejauh mana percakapan mengenai pluralisme keagamaan berlangsung dan pada tataran mana polemik (critical point) berlanjut. Tentu saja, tipologi Race baiknya diterima sebagai “modeling” atau teorisasi realitas perjumpaan agama-agama yang telah terjadi sejauh ia amati. Realitas perjumpaan agama-agama itu sendiri jauh melebihi apa yang dimodelkan oleh Race. Dengan perkataan lain, pada titik itu tipologi Race menjadi pijakan berlapis yang membantu kita memulai melangkah ke ranah perseptual dan eksperensial kita sendiri.
Saya sendiri melihat bahwa frase “perjumpaan agama-agama” pada dasarnya memantulkan presuposisi yang lebih bersifat praksis. Artinya, konseptualisasi teologi agama-agama yang diharapkan melalui perjumpaan agama-agama itu tidak terhindarkan melibatkan seluruh eksistensi pengalaman kemanusiaan orang atau kelompok sosial yang memilih sistem beragama yang beraneka ragam itu. Pengalaman kemanusiaan itu pula yang mempengaruhi konstruksi identitas “diri” dan “kelompok”, yang membuat realitas keberagamaan itu sebagai ruang menegosiasikan identitas pada lokasi budaya tertentu. Oleh karena itu, saya ingin memulai dari mengupas lapisan identitas itu untuk kemudian menyelisik lebih jauh bagaimana konstruksi identitas berlapis itu mempengaruhi cara pandang tentang diri, orang lain, dan masyarakat beserta seluruh derivasi sosiokulturalnya.
Apakah identitas itu? Saya meminjam pendapat Peter Burke & Jan Stets dalam buku Identity Theory: “Identitas adalah seperangkat makna yang menentukan siapa seseorang ketia ia menjalani peran tertentu dalam masyarakat, menjadi anggota dari suatu kelompok, atau mendaku karakteristik tertentu yang mengidentifikasikan dirinya sebagai pribadi yang unik” [An identity is the set of meanings that define who one is when one is an occupant of a particular role in society, a member of a particular group, or claims particular characteristics that identify him or her as a unique person – pp. 3]. Dalam batasan tersebut maka identitas sebenarnya adalah pertautan dinamis antara agency and social structure. Seperti dilanjutkan oleh Burke & Stets “masyarakat (struktur sosial) diciptakan melalui tindakan-tindakan individual, kendati diakui bahwa tindakan-tindakan tersebut diproduksi dalam suatu konteks struktur sosial [it is our view that society (social structure) is created by the actions of individuals, though it is recognized that these actions are produced in the context of the social structure they create and are influenced by this context. There is, thus, an elaborate system of mutual influences between characteristics of the individual and characteristics of society – p. 4].
Sekelumit pernyataan Burke & Stets di atas pada gilirannya membuka celah interpretatif bahwa apa yang disebut dengan “pengalaman” itu sendiri sebenarnya adalah ruang-ruang realitas yang mendorong terjadinya negosiasi budaya dan identitas dalam sebuah arena kontekstual. Negosiasi tersebut berlangsung secara trialektik ala Bergerian yaitu “externalisasi – internalisasi – objektifikasi”. Kemanakah arah negosiasi trialektis tersebut? Ia akan mengerucut pada sebuah tindakan yang disepakati atau tidak disepakati bersama, yang oleh Pierre Bourdieu disebut “habitus”. Demikian lengkapnya menurut Bourdieu: “The structures constitutive of a particular type of environment (e.g. the material conditions of existence characteristic of a class condition) produce habitus, systems of durable, transposable dispositions/structured structures predisposed to function as structuring structures, that is, as principles of the generation and structuring o f practices and representations which can be objectively “regulated” & “regular” without in any way being the product of obedience to rules, objectively adapted to their goals without presupposing a conscious aiming at ends or an express mastery of the operations necessary to attain them and, being all this, collectively orchestrated without being the product of the orchestrating action of a conductor” (Outline of A Theory of Practice, p. 72).
Saya menggunakan kutipan Burke dan Bourdieu di atas untuk melanjutkan pencarian kutub-kutub pengalaman keseharian yang semestinya bisa menjadi acuan untuk menapak lebih jauh dalam ranah percakapan teologi agama-agama di Maluku. Dengan perkataan lain pula, keduanya membantu membuka cakrawala saya untuk mengais lebih jauh remah-remah kemungkinan bagi elaborasi teologi agama-agama selanjutnya.
Di manakah remah-remah kemungkinan tersebut bisa dikais? Dengan lensa Burke dan Bourdieu di atas maka saya melihatnya pada akseptabilitas masyarakat terhadap perubahan yang terjadi dalam realitas sosial dan budayanya dan interkoneksitas pengalaman keagamaan atasnya. Akseptabilitas itu tidak sekadar upaya menyesuaikan diri, tetapi juga kapasitas untuk menempatkan perubahan sebagai arena intertekstualitas atau interkoneksitas antara “diri” (agency) dan “masyarakat” (social structure); mengelola relasi-relasi kekuasaan (power relations) sedemikian rupa sehingga perubahan memicu pada terkonstruksinya identitas-identitas yang saling bernegosiasi bagi kepentingan bersama. Hibriditas (hibridity) – menurut saya – adalah sebentuk puncak negosiasi identitas yang berlangsung dalam realitas sosiologis dan historis.
Saya melihat interkoneksitas pengalaman keagamaan sebagai kemungkinan. Tentu saja, itu juga bisa menjadi ketidakmungkinan. Mengapa? Jika kembali merujuk pada tipologi Race, dapat dibayangkan bahwa sistem keagamaan yang didaku oleh agama-agama besar lebih condong untuk menciptakan tembok-tembok pemisah antara “aku” dan “liyan” (other). Ini persoalan agama-agama sepanjang sejarah peradaban manusia hingga saat ini. Mengapa harus ada tembok-tembok doktriner yang memisahkan satu terhadap yang lain? Karena proses identifikasi atau konstruksi identitas yang lebih menitikberatkan pada keunikan diri sendiri, dan bukan pada penerimaan interkoneksi pengalaman keagamaan yang menandai bahwa setiap entitas adalah unik pada dirinya dan karenanya bisa saling menerima atas dasar perbedaan itu. Di situ kemudian pengalaman kehidupan sehari-hari menjadi arena permainan simbolik identitas – dan agama berhasil mengukuhkan pengaruhnya secara signifikan.
No comments:
Post a Comment