Berita tentang FPI yang melakukan sweeping kemaksiatan disertai aksi-aksi kekerasan sepihak bahkan bentrokan dengan kelompok-kelompok lain, adalah berita “biasa”. “Biasa” karena peristiwa kekerasan semacam itu berlangsung berulang-ulang dan tanpa ada upaya pencegahan dari aparat hukum dan keamanan (kepolisian). Malah dalam hampir setiap pemberitaan terutama media elektronik (televisi dan internet) jelas-jelas tampak aparat kepolisian hanya berjubel tanpa tindakan pencegahan dan terkesan membiarkan aksi-aksi vandalis ormas ini berlangsung di depan batang hidung mereka. Alih-alih mencegah, hampir dalam setiap kasus kekerasan sepihak oleh FPI aparat penegak hukum dan keamanan malah mengarahkan tudingan pada korban yang dicap menjadi sumber atau pemicu kekerasan oleh ormas ini. Tak perlu mengundang analis politik untuk mengomentari adegan-adegan telanjang semacam itu di berbagai media massa. Semua orang pun dengan segera bisa beropini bahwa negara c.q. kepolisian membiarkan aksi-aksi kekerasan itu terjadi secara sepihak.
Peristiwa “Kendal” pun tampaknya berlangsung dengan skenario serupa. Namun, ada dua hal yang membedakannya sehingga peristiwa ini kemudian mendapat perhatian publik. Pertama, ada perlawanan dari masyarakat Kendal terhadap aksi dan dampak aksi sweeping FPI. Apakah perlawanan itu sebelum atau sesudah jatuh korban jiwa akibat tertabrak dan terseret mobil konvoi FPI, informasi itu bisa ditelusuri melalui sejumlah pemberitaan media mengenai keterangan para saksi mata. Intinya adalah terjadi perlawanan dari kelompok masyarakat terhadap aksi FPI. Kedua, peristiwa “Kendal” ternyata berhasil mengusik kebisuan Presiden SBY sehingga untuk pertama kalinya selama masa kepresidenan 9 tahun SBY secara terang-terangan menegur dengan menyebut nama “FPI”. Gayung bersambut, pemimpin FPI Habib Rizieq pun membalas dengan nada sengit menyebut Presiden SBY sebagai pecundang yang suka sebar fitnah.
Dalam hal ini pun lagi-lagi semua orang bisa menyaksikan bahwa pemerintah resmi dengan seluruh aparatusnya ternyata tak lebih “macan ompong” berhadapan dengan FPI. Tidak ada tindakan tegas apapun dari pemerintah c.q. kepolisian menyusul pernyataan terbuka Rizieq tersebut. Di sini tak perlu menganalisa jauh-jauh hanya untuk menyimpulkan bahwa FPI mempunyai kekuasaan lebih besar dari Negara sehingga bisa bertindak dan bicara apa saja termasuk “menyerang” Presiden SBY; atau Negara memelihara FPI dan menganggapnya sebagai salah satu aparat “bayangan” kekuasaan Negara untuk menebarkan teror dan ketakutan melalui tangan-tangan sipil paramiliter. Dua pejabat negara, Kapolri dan Menteri Agama, menanggapi dengan santai pernyataan Rizieq. Kapolri menyatakan tidak bisa membubarkan ormas (FPI) begitu saja melainkan hanya mengamankan oknum-oknum yang memicu bentrokan massal di Kendal (kasuistik). Sementara itu, Menteri Agama hanya memberikan komentar bahwa diperlukan kesabaran untuk menghadapi ormas-ormas seperti FPI. Mungkin Menteri Agama bermaksud mengekspresikan hebatnya toleransi di Indonesia yang beberapa waktu sebelumnya disebutnya sebagai yang terbaik di dunia.
Coba bandingkan dengan reaksi gerak cepat Densus 88 yang menggerebek rumah-rumah yang dicurigai sebagai tempat persembunyian para tersangka teroris. Pasukan elit kepolisian ini tampak menyandang senjata dan perlengkapan pengaman super-lengkap ala pasukan SWAT Amerika Serikat. Aksi penggerebekannya pun ditayangkan live bak reality show film-film action Holywood. Menyaksikan tayangan-tayangan semacam itu seolah-olah menghadirkan rasa bangga bahwa negara kita memang aman-sentosa di bawah perlindungan aparat keamanan yang terlatih sigap dan lengkap. Bandingkan pula bagaimana reaksi Presiden SBY dan tindakan lanjutan kepolisian terhadap peristiwa “Cakalele” saat beberapa penari tradisional membawakan tarian cakalele sambil membentangkan bendera RMS di hadapan Presiden SBY yang sedang duduk di tribun kehormatan beberapa waktu silam di Ambon. Hanya dalam hitungan jam, para penari tersebut diciduk dan diamankan aparat kepolisian dengan dakwaan melecehkan kepala negara dan makar, padahal mereka tak lebih hanya ingin memprotes ketidakadilan yang mereka rasakan melalui ekspresi seni (tarian). Mereka ditangkap dan dijebloskan ke beberapa penjara di tempat yang berbeda-beda. Hasil investigasi beberapa organisasi relawan kemanusiaan dan hak asasi manusia menyatakan bahwa mereka mengalami penyiksaan berat selama berada di penjara hingga sebagian besar mengalami cacat syaraf dan fisik. Keluarga dari kampung pun tak bisa menjenguk mereka karena berbagai alasan keamanan yang dibuat oleh pihak kepolisian dan lembaga pemasyarakatan tempat mereka ditahan dengan masa kurungan di atas 15 tahun. Itulah harga yang harus dibayar karena telah melecehkan kepala negara.
Namun apa yang terjadi dengan Presiden SBY ketika Habib Rizieq (FPI) tanpa tedeng aling-aling menudingnya sebagai pecundang penyebar fitnah? SBY, sang presiden yang purnawirawan jenderal TNI Angkatan Darat itu tak bereaksi sedikit pun. Bisu. Hanya segelintir pengikutnya yang berkomentar basi tanpa isi seolah-olah pernyataan Rizieq bukanlah ancaman serius terhadap kewibawaan presiden sebagai simbol politik suatu negara, apalagi presiden yang dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu. Tetapi tentu saja hal ini tidaklah terlalu aneh karena jelas memperlihatkan bahwa kewibawaan dan kekuasaan Negara melalui kewenangan politik presiden telah disunat habis oleh kepentingan politik tertentu dengan cara memelihara dan membesarkan FPI atau bisa jadi ormas-ormas lainnya entah yang berselimut simbol identitas agama atau etnis. Sementara itu, peristiwa-peristiwa lain memperlihatkan fenomena pembiaran kekerasan dalam bentuknya yang lain, misalnya penyerangan sekelompok tentara ke markas kepolisian lokal, bentrokan antara aparat brimob dan aparat sabhara, dan eksekusi liar sekelompok anggota Kopasus terhadap beberapa preman dan anggota polisi langsung di sel penjara Cebongan, Sleman. Peristiwa terakhir ini bahkan memunculkan semacam euforia ganjil yang mendukung aksi kelompok Kopasus itu untuk membasmi para preman, sebagaimana terlihat pada sejumlah spanduk di persimpangan-persimpangan jalan sekitar Sleman dan pusat kota Yogyakarta: “I love Kopasus” atau “Seribu Preman Mati Rakyat Yogya Tidak Rugi” dll. Aparat kepolisian dan militer dengan kewenangan menggunakan senjata saling bentrok dan perang-perangan, sementara aksi-aksi vandalisme kelompok-kelompok sipil paramiliter yang mengancam hidup rakyat dibiarkan.
Matinya Negara dan Keruntuhan Demokrasi Indonesia
Konstelasi politik Indonesia mempunyai dinamikanya sendiri pada setiap zaman. Dinamika politik tersebut harus diakui turut digerakkan oleh berbagai aspirasi dan tindakan masyarakat sipil. Lihat saja betapa gigihnya kelompok pemuda mendesak Sukarno/Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, bahkan sampai “menculik” kedua pemimpin tersebut untuk memberi kesempatan bagi mereka memikirkan konsep kemerdekaan dan berbagai implikasi sesudahnya. Toh, dalam aksi tersebut para pemuda ini tetap respek terhadap kewenangan politik Sukarno/Hatta sebagai pemimpin bangsa yang diharapkan mampu mengarahkan revolusi menuju kemerdekaan politik sebagai bangsa. Kemerdekaan Indonesia semesta menjadi tujuan akhir aksi para pemuda ini, bukan semata-mata untuk kepentingan primordialisme (agama atau etnis) mereka. Sulit membayangkan Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 tanpa intervensi para pemuda ini.
Demikian pula dalam gerakan Reformasi 1998 silam. Akumulasi gerakan protes mahasiswa dan kelompok-kelompok sosial lainnya telah melahirkan suatu kekuatan massif menghadang kekuasaan despotik sang maestro politik Suharto yang ingin terus melanjutkan otoritarianismenya. Reformasi 1998 bukanlah gerakan semalam melainkan aksi-aksi yang direncanakan dan digalang tahap demi tahap dengan memperhitungkan setiap risikonya. Toh, seluruh kekuatan mahasiswa dan pemuda dari berbagai latar belakang agama, budaya, pendidikan dan daerah menyatu untuk satu cita-cita bersama: merengkuh dan memaknai kembali kemerdekaan berekspresi yang selama puluhan tahun dikekang di bawah kendali normalisasi kehidupan kampus dan dibisukan atas nama ketertiban umum. Korban jiwa berjatuhan, beberapa aktivis dan mahasiswa hilang tak tentu rimbanya. Berita penculikan aktivis dan mahasiswa pun merebak menimbulkan ketakutan. Sebagian yang bebas pun bersaksi tentang penyiksaan yang mereka alami selama diinterogasi, sebagian lain tetap dipenjara, sedangkan yang lainnya lagi tak diketahui nasibnya entah hilang atau sudah mati. Hampir semua dakwaan yang ditujukan adalah “subversif” atau melawan [kepala] negara.
Kita yang hidup di zaman serba buka-bukaan seperti sekarang ini adalah generasi penikmat kebebasan atau demokrasi buah pengorbanan gerakan sosial Reformasi 1998. Kendati demikian kita juga mengakui bahwa gerakan sosial tersebut pada akhirnya ditunggangi para pelacur politik yang hanya memikirkan kenikmatan syahwat politik dan birahi ekonomi mereka sendiri. Apa yang kita tuai sebagai bangsa pasca Reformasi 1998? Hanya narasi-narasi kebobrokan para penyelenggara negara yang kian tak malu memamerkan kebejatan karakter saat menggauli kekuasaan di ranjang-ranjang lembaga negara. Lembaga-lembaga negara yang dulu dianggap sakral kini makin telanjang mempertontonkan wajahnya bak “pasar politik” dan “rumah bordil”: transaksi kekuasaan menyertai setiap geliat erotis para selebritis cantik dan germo-germo di ruang-ruang politik negara.
Dulu saat Suharto berkuasa, rakyat dikondisikan mengambang dalam setiap keputusan politik. Negara menentukan keputusan politik, rakyat hanya dapat menikmat jaminan-jaminan keamanan yang menertibkan setiap potensi anarkhis. Rakyat merasa tenang dan nyaman di bawah dominasi simbolis kekerasan negara tanpa mereka sadari secara eksplisit bahwa kemerdekaan asasi mereka terus dikontrol negara. Kini sebaliknya. Negaralah yang terkondisikan mengambang sehingga kerap gamang mengambil langkah-langkah penting dan strategis untuk menjaga keutuhan hubungan-hubungan sosial di dalam masyarakat. Kegamangan negara tersebut melahirkan kelompok-kelompok kuasi-militer yang menempatkan diri sebagai penjaga integrasi bangsa melalui berbagai wacana yang sangat berdaya luar biasa, salah satunya adalah “agama”.
Aparatus pemerintahan dan pelaku-pelaku politik dengan jeli melihat bahwa agama memiliki pesona dahsyat dan kekuatan mahahebat jika dapat dimanipulasi sebagai senjata politik demi perebutan dan pelanggengan kekuasaan. Agama pun makin perkasa sebagai komoditi politik dan ekonomi yang mendatangkan keuntungan berlipat-lipat bagi para manipulator agama melalui beraneka media, mulai dari ekstase kapitalisme melalui tayangan iklan atau sinetron agamis hingga aksi vandalistik; mempesona banyak orang untuk melupakan kemiskinan dan penderitaan hingga mengajak orang untuk membunuh pesona perbedaan atau kemajemukan; menawarkan pesan-pesan surgawi yang sangat individualistik hingga mengkafirkan liyan dengan membuka pintu-pintu neraka bagi “kaum kafir” tersebut. Asumsi pemisahan agama dan negara memang tak berlaku tegas di republik ini karena memang agama adalah wacana politik dalam sejarahnya dan negara dibangun di atas agama sebagai pilar wacana utamanya. Slogan “Indonesia bukan negara agama tapi juga bukan negara sekuler” pada dasarnya hanyalah pernyataan banci yang sengaja membuka wilayah abu-abu permainan politik agama dan strategi mengagamakan politik. Di panggung abu-abu itulah kita kini menyaksikan tarian-tarian politik dan teatrikal demokrasi yang dibawakan secara vulgar oleh pelaku-pelaku politik penyelenggara kekuasaan negara.
Teatrikal demokrasi Indonesia kini sebenarnya hanyalah kamuflase untuk menggali lubang kuburnya sendiri. Pemimpin tanpa wibawa, negara tanpa kuasa, sementara “sultan-sultan” baru bermunculan sembari mengusung wajah bengis politik penyeragaman ideologis dibungkus kemasan simbol-simbol agama. Mereka bahkan lebih garang dari para polisi/tentara bersenjata. Para jenderal tentara saja menghadap presiden dengan segala sikap hormat ala militer, tapi “bintang” Rizieq ternyata melebihi “bintang” para jenderal tersebut hingga ia sama sekali tak ragu menunjuk hidung Presiden SBY sebagai pecundang penyebar fitnah.
Bisa saja Rizieq merasa lebih berkuasa daripada SBY dan para jenderal kancilnya, tetapi ia tidak boleh melupakan bahwa SBY dan antek-anteknya memegang tampuk kekuasaan sebagai presiden dan pejabat negara berdasarkan mandat rakyat yang telah memilih mereka. Kalau SBY lemah dan bisu, tidak demikian bagi rakyat. Peristiwa “Kendal” hanyalah peringatan awal bagi ormas-ormas yang sok jagoan di balik simbol-simbol agama bahwa bukan SBY yang berkuasa tapi rakyat yang memilihnya. Rakyat bukan kambing congek yang bisa dibodohi oleh kamuflase agama di balik aksi-aksi vandalistik ormas-ormas semacam FPI. Masyarakat Kendal sudah menyatakan “kau jual kami beli” dan mereka pun membuktikannya. Ini bukan soal membela agama atau menegakkan ajaran agama tapi soal bagaimana masyarakat makin cerdas memahami bahwa agama adalah ihwal memaknai hidup sebagai anugerah Tuhan bagi kedamaian dan kesejahteraan manusia bersama dalam seluruh keunikan dan perbedaannya. Ini juga bukan soal maksiat atau kesalehan iman tapi soal bagaimana masyarakat berjuang bertahan hidup di tengah himpitan beban-beban ekonomi yang terus menggerogoti tubuh sosial yang kian keropos oleh kanker korupsi para pembesar yang serakah. Ini soal perut yang kosong, kantong kosong, yang berimbas pada otak kosong dan solidaritas sosial yang kosong, frustrasi dengan demokrasi yang ujung-ujungnya juga kosong. Ironis, baru saja menerima award dan gelar ksatria di luar negeri, SBY malah tak berkutik di bawah tudingan Rizieq: pecundang!
Aku menulis maka aku belajar
Friday, July 26, 2013
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment