Aku menulis maka aku belajar

Friday, July 5, 2013

Ndesoglobal

Hong Kong adalah salah satu pusat bisnis tersibuk di Asia Tenggara, bahkan di dunia. Bisa dipastikan bahwa hampir semua perwakilan bangsa-bangsa di dunia ada di Hong Kong dengan kepentingannya masing-masing. Yang jelas, semuanya berjuang mengais rezeki di negara ini. Saya beruntung mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi Hong Kong selama lima minggu berpartisipasi dalam program the Institute for Advanced Study of Asian Cultures and Theologies (IASACT) 2013 yang digelar oleh United Board for Christian Higher Education (selanjutnya: UB).

Setelah melalui proses seleksi berkas-berkas aplikasi dan proposal paper yang cukup ketat setahun lalu (2012) komite penasihat UB menetapkan sejumlah nama dari beberapa negara yang dinyatakan lolos untuk mengikuti program IASACT 2013 sebagai visiting scholar di Chung Chi College, Chinese University of Hong Kong. Peserta IASACT 2013 ada 14 orang (7 laki-laki, 7 perempuan) yang berasal dari Daratan Cina, India, Korea Selatan, Thailand, Taiwan, Myanmar, Filipina dan Indonesia. Selama lima minggu kami bekerja menulis paper dengan bimbingan dua mentor dan bebas menggunakan fasilitas perpustakaan CUHK. Tentu saja, tak seluruh waktu kami habiskan hanya untuk menekuni paper kami. Kami menyempatkan diri bersama-sama untuk mengunjungi kota-kota lain di Hong Kong sambil belajar mengenal bagaimana kehidupan dan dinamika sosial masyarakat Hong Kong.

Harus diakui bahwa Hong Kong memang merupakan salah satu negara modern di Asia Tenggara. Banyak yang berpendapat bahwa seluruh kemajuan Hong Kong sebenarnya dibangun sejak negara-pulau ini berada di bawah kolonisasi Inggris. Hong Kong diserahkan kepada Inggris setelah Perang Opium pada abad ke-19. Dalam Konvensi Peking tahun 1860 setelah Perang Opium Kedua, Semenanjung Kowloon dan Stonecutter’s Island diserahkan kepada Inggris sedangkan New Territories, termasuk Pulau Lantau, disewakan pada Inggris untuk 99 tahun sejak 1 Juli 1898 dan berakhir 30 Juni 1997. Di bawah kebijakan Satu Negara Dua Sistem ciptaan Deng Xiaoping, Hong Kong menikmati otonomi dari pemerintah RRC seperti pada sistem hukum, mata uang, bea cukai, imigrasi, peraturan jalan yang tetap di jalur kiri. Urusan yang ditangani oleh Beijing adalah pertahanan nasional dan hubungan diplomatik. Otonomi ini berlaku di Hong Kong (minimal) untuk 50 tahun dihitung sejak tahun 1997.

Dengan otonomi tersebut Hong Kong tetap mempertahankan pamornya sebagai wilayah bisnis terpenting di Asia bahkan di dunia. Kondisi itu pula yang tak terhindarkan telah menarik ribuan para pencari kerja untuk mengadu nasib di sini. Perjalanan saya mengunjungi beberapa kota memperkuat kesan tersebut. Pada akhir pekan, beberapa tempat umum, terutama taman kota, penuh sesak oleh ratusan perempuan “tenaga kerja” dari Indonesia, Filipina, Pakistan, dan lain-lain. Mereka menggunakan kesempatan akhir pekan untuk saling bertemu dan bercengkerama. Menurut aturan tenaga kerja Hong Kong, setiap tenaga kerja (pembantu rumah tangga) harus mendapat libur mingguan dari para majikannya. Oleh karena itu, mereka memanfaatkannya dengan keluar seharian dari rumah majikannya. Bisa saja mereka memanfaatkan waktu libur di rumah tetapi selalu saja terjadi mereka tidak sepenuhnya menikmati “libur”. Taman kota Victoria di jantung Central Hong Kong benar-benar menjadi sebuah ruang pertemuan para pembantu rumah tangga dari berbagai negara ini. Saya sendiri tidak merasa sedang berada di suatu negara asing. Seolah-olah saya sedang berada di tengah kerumunan massa di salah satu kota atau desa di Jawa Timur.

Soal penampilan? Ah, jangan anda membayangkan mereka seperti gambaran umum tentang pembantu rumah tangga di Indonesia. Penampilan mereka tak kalah trendy dengan remaja-remaja Hong Kong, lengkap dengan gadget android di tangan dan earphone. Ada yang berjilbab, banyak pula yang mengaku selama di Hong Kong tak suka berjilbab karena ingin “bebas” mengekspresikan jiwa muda mereka mengikuti mode busana di salah satu pusat dunia ini. Kefasihan mereka berbicara mandarin pun tak perlu diragukan. Apakah mereka kursus? Nyaris tak ada yang mengenal bahasa mandarin melalui kursus. Mereka mempelajarinya secara otodidak dari majikan atau anak majikan mereka. Topik percakapan pun bervariasi, mulai dari soal anak majikan yang bandel, kerjaan yang seabreg, mode busana, pasangan hidup, sampai soal kirim uang untuk orang tua di desa atau untuk sekolah anak/keponakan di kampung.

Saya sungguh kagum dengan perempuan-perempuan muda ini. Sebagian besar mereka hanya lulusan SMP dan SMA, tapi keberanian dan ketangguhan mereka meladeni tantangan hidup berkelas “guru besar”. Mereka tidak belajar bahasa mandarin lewat kursus-kursus formal tapi pengalaman komunikasi aktif dengan masyarakat setempat, terutama majikan mereka. Mereka mampu beradaptasi dengan gaya hidup, pola konsumsi, dan cara pikir sosial masyarakat setempat hanya melalui keinginan besar untuk berhasil di tanah orang. Berani dan berpengalaman, itu yang penting; ijazah pendidikan formal tak terlalu dirisaukan. Di lingkungan sosial Hong Kong, mereka seolah-olah menemukan cara menjadi diri mereka sendiri tanpa harus berada di bawah kontrol patron “orang-tua”. Kalau mau berjilbab, ya mereka pakai; kalau lagi tak ingin, ya tak berjilbab. Semuanya dilakukan karena mereka “ingin melakukannya” dan bukan karena “keinginan orang-tua” atau siapapun.

Saya jadi malu sendiri menyaksikan keberanian dan ketangguhan mereka. Belum lagi mendengar cerita mereka yang kurang beruntung karena mendapatkan perlakuan kasar dari majikannya atau yang ditelantarkan oleh agen-agen penyalur tenaga kerja, baik di dalam negeri mereka maupun di Hong Kong. Perempuan-perempuan muda tangguh yang telah memberi saya pelajaran berharga bagaimana bertarung dengan kerasnya hidup dan menjadikan pengalaman sebagai media untuk mengembangkan wawasan dan masa depannya. Ketika ditanya apakah ingin tinggal di Hong Kong untuk seterusnya atau pulang ke desanya di Indonesia, spontan mereka menjawab: “Wah, yo pulang pak. La wong saya ini wong ndeso kok.” Dalam hati saya berujar: “Kalian memang orang ndesoglobal.”

Central Hong Kong, 2 Juli 2013

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces