Perkenalan pertama dengan Pak Asep terjadi ketika Nancy, istri saya, menjalani tugasnya sebagai Direktur Pelaksana (Dirlak) Perhimpunan Sekolah-sekolah Teologi di Indonesia (PERSETIA) yang berkantor di lantai 4 (waktu itu) gedung belakang Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta, Jalan Proklamasi 27 Jakarta Pusat. Pak Asep selalu setia berada di lingkungan kampus itu. Pak Asep bukan karyawan kampus, bukan dosen STTJ, bukan tamu pengunjung yang biasa menginap di Guest House STTJ meskipun ia kerap berkunjung. Pak Asep adalah pedagang keliling siomay yang setia ditemani oleh sepeda tuanya.
Kalau sedang mampir di kampus STTJ, ia biasanya mangkal di pelataran depan kampus atau sesekali dekat pos satpam. Kadang pula ia absen di kampus STTJ karena mangkal lebih lama di tempat lain seputaran Jalan Cipto, Jalan Cikini dan Jalan Salemba. Tapi lebih sering Pak Asep mangkal di kampus STTJ karena, katanya, lebih banyak penikmat siomay-nya dan tempatnya lebih strategis. Sejauh saya tahu, Pak Asep biasa mangkal pada jam makan siang hingga sore hari. Pada jam-jam itulah saya kerap duduk bersama Pak Asep dan menikmati siomay-nya. Nancy pun menyukai siomay Pak Asep. Tidak hanya makan di tempat kerjanya, Nancy juga sering memesan siomay untuk dibungkus sebagai bekal jika terjebak kemacetan lalu lintas dalam perjalanan ke rumah sepulang kerja.
Pak Asep tidak banyak bicara. Ia lebih banyak memperlihatkan senyum tipis yang khas kalau mendengar obrolan para mahasiswa yang biasa bergerombol antre menunggu giliran memesan siomay. Apa yang saya tahu langsung dari dirinya hanyalah ia beberapa kali pindah rumah kontrakan. Selebihnya, ia lebih banyak berdiam diri atau sesekali ngobrol dengan beberapa karyawan kampus atau dengan sesama pedagang (penjaja minuman kemasan) di situ.
Meskipun tidak mengenal dalam kehidupannya, Pak Asep, siomay dan sepeda tuanya telah menjadi bagian dari kehidupan saya dan Nancy selama kurang lebih 10 tahun kami tinggal di Jakarta. Begitu gandrungnya Nancy pada siomay Pak Asep sampai-sampai bisa dikatakan tiada hari tanpa siomay Pak Asep. Entah mengapa, seperti tak ada bosannya menikmati siomay Pak Asep. Selain itu, bukan bermaksud meremehkan penjaja makanan yang lain, siomay Pak Asep termasuk sajian "fast-food" tradisional yang cukup higienis. Setidaknya begitulah menurut Nancy, yang menganggap makanan yang disajikan panas seperti siomay (Pak Asep) lebih baik daripada sajian makanan di warteg atau gerobak dorong yang lain di seputar kampus STTJ.
Sepuluh tahun kami mengenal Pak Asep dan menikmati siomay-nya nyaris setiap hari kerja. Keberadaan Pak Asep seperti sudah menyatu dengan aktivitas keseharian kami, terutama saya yang biasanya nongkrong di pelataran depan kampus STTJ menunggu Nancy selesai kerja dan pulang sama-sama ke rumah dinas di kawasan Jakarta Utara. Pernah pada suatu hari, ketika sudah hampir 3 tahun kami meninggalkan Jakarta dan kembali ke Ambon, Nancy bertanya kepada saya apakah masih ingat "Pak Siomay" ~ demikian Nancy biasa memanggilnya ~ di STTJ. Saya pun menyahut: "Tentu masih ingat. Kan hampir setiap hari kita makan siomay-nya." Lalu tanya Nancy lanjut: "Ontua dimana ya sekarang? Apa masih jual siomay?" Pertanyaan itu tak terjawab karena kami memang tidak tahu lagi bagaimana keadaan Pak Asep, penjual siomay dengan sepeda tuanya itu.
Pertanyaan itu tetap tak terjawab beberapa tahun berikutnya. Bahkan kami pun nyaris tak ingat lagi akan pertanyaan itu, hingga pada hari ini ~ ketika saya menulis catatan ini ~ tanggal 4 Mei 2014 saya mendapat jawabannya melalui status facebook Pdt Joas Adiprasetya, Ketua STT Jakarta. Ia menyebutkan bahwa Pak Asep telah meninggal dunia akibat kecelakaan ditabrak sepeda motor. Saya tidak tahu harus berbuat apa selain mulai menyusun kembali rangkaian memori selama hidup di Jakarta, terutama memori perjumpaan dengan sosok Pak Asep, penjual siomay dengan sepeda tuanya.
Merangkai kembali memori perjumpaan dengan Pak Asep bukanlah usaha yang mudah. Upaya itu hanya didasarkan pada matra perjumpaan pada simpul "siomay". Siomay telah mempertemukan saya, Nancy dan Pak Asep di antara ribuan kerumunan massa di belantara urban Jakarta. Apakah pertemuan itu suatu kebetulan? Saya rasa tidak. Tetapi saya sendiri tidak tahu apa maksud pertemuan dan/atau perjumpaan saya dengan Pak Asep. Hal yang selalu saya amati dan kerap menimbulkan pertanyaan dalam hati adalah bagaimana orang-orang seperti Pak Asep ini mampu bertahan di tengah keras dan ganasnya ibukota Jakarta. Pertanyaan sederhana yang bisa ditujukan kepada kerumunan massa yang setiap hari menyusuri jalan-jalan protokol dan mempertaruhkan hidup mereka di sana sejak matahari belum terbit hingga matahari terbenam, tinggal berdesak-desakan di lorong-lorong pengap dengan deretan ruang-ruang sempit yang dihuni kaum urban miskin, menghuni pemukiman-pemukiman liar nan kumuh yang tersebar di pelosok-pelosok ibukota Jakarta.
Jauh hari kemudian, justru ketika Pak Asep telah tiada, saya terperangkap dalam perenungan pribadi mengenai teologi. Sebuah istilah yang telah saya geluti makna dan teorinya sejak mengenyam pendidikan formal teologi pada fakultas teologi. Bahkan perjumpaan saya dengan Pak Asep pun terjadi di lingkungan sebuah kampus teologi. Pak Asep bukan seorang teolog profesional dengan sederetan gelar akademis di depan dan di belakang namanya. Pak Asep tidak piawai menulis artikel-artikel teologi yang panjang-panjang dan njlimet, penuh sesak dengan istilah-istilah asing Inggris, Jerman, atau Latin. Pak Asep tak fasih berdebat teologis dan ngeyel mempertahankan argumentasinya di hadapan komite akademik. Alih-alih berdebat atau bahkan sekadar ngobrol, Pak Asep lebih memilih memperlihatkan senyum simpul di balik kumisnya yang memutih karena uban. Ia tidak menimpali siapapun dengan komentar, dan lebih memilih diam duduk dekat sepeda tuanya menghisap sebatang rokok.
Pak Asep bukan profesor doktor teologi. Tapi saya menyadari bahwa perjumpaan saya dengan Pak Asep telah membuka satu dimensi praksis berteologi yang tidak akan saya temukan di buku-buku tebal teologi karya para raksasa teologi nan njlimet bin mumet. Suatu cerminan dari proses berteologi kaum urban Jakarta menanggapi tantangan kehidupan yang terhimpit kemiskinan dan ketidakadilan. Memang tidak terkatakan oleh Pak Asep. Tapi hal itu jelas terpantul dari kegigihannya menjalani hidup berjualan siomay dengan sepeda tuanya, dari satu tempat ke tempat yang lain. Mengayuh sepeda tuanya di antara seliweran mobil-mobil mewah kaum urban konglomerat, siapa yang bisa tahu apa harapan dan mimpinya saat itu? Di tengah hiruk-pikuk perseteruan politik kaum sekolahan bergelar tinggi jebolan luar negeri, siapa yang bisa menangkap makna senyum tipis Pak Asep di balik kumisnya yang memutih beruban?
Memang tidak terkatakan oleh Pak Asep. Tapi kegigihannya menjalani hidup di tengah derasnya gempuran harga kebutuhan pokok yang kian mencekik telah memberi pelajaran sangat berharga ~ setidaknya bagi saya ~ betapa teologi kehidupan Pak Asep telah membuka satu lagi cakrawala berteologi kaum miskin urban yang dibisukan oleh kebisingan kapitalisme. Siapakah Pak Asep? Hanya segelintir orang yang tahu. Namanya tidak tercantum pada buku-buku akademik, koran ataupun majalah. Pak Asep adalah Pak Asep. Pak Asep, yang saya kenal, adalah penjual siomay dengan sepeda tuanya di pelataran depan kampus STT Jakarta. Saya mengenal Pak Asep bukan dari kemahirannya mengurai panjang-lebar kajian ekonomi-politik dll, melainkan dari pertanyaan sederhana: "Mau pake kentang? Mau pake pare? Pake saus tomat apa gak?"
Jauh hari kemudian ~ saat menulis ini ~ saya tiba-tiba menyadari bahwa pada pertanyaan sederhana itu terkandung harapan sederhana: "Semoga daganganku hari ini laku habis". Pernah suatu sore, saat bergegas hendak membeli siomay, Pak Asep dengan senyum tipisnya berkata: "Sudah habis mas." Saya kecewa karena perut lagi lapar. Tapi Pak Asep melanjutkan: "Besok ya mas, saya bikin siomay yang banyak." Pak Asep pun mengemas perkakasnya lalu mengayuh sepedanya. Keringat dan raut sayu tak mampu menutupi pancaran sukacitanya saat itu: siomay-nya habis terjual. Ia pun mengayuh sepeda tuanya pulang menyusuri Jalan Proklamasi lalu hilang dari pandangan di belokan Jalan Cipto. Pak Asep terus mengayuh sepeda tuanya dengan setia... hingga ajalnya ketika ditabrak sepeda motor.
Saya menulis catatan ini untuk menjadi sebuah kenangan perjumpaan dengan seseorang bernama Pak Asep, penjual siomay dengan sepeda tuanya. Selamat menempuh kehidupan baru, Pak Asep, bersama dengan Sang Maha Pemberi Kehidupan!
Yogyakarta, 4 Mei 2014
Aku menulis maka aku belajar
Sunday, May 4, 2014
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment