Aku menulis maka aku belajar

Monday, October 26, 2015

Revitalisasi Tradisi dan Politik Identitas: Ambon dalam Indonesia

Pengantar

Tidak berapa lama setelah pecah huru-hara pada 19 Januari 1999, beberapa komunitas Salam dan Sarane menggelar acara panas-pela dan panas-gandong. Suasana penuh haru dan persaudaraan menyelimuti emosi setiap orang yang terlibat langsung maupun tidak langsung. Orang-orang saling berpelukan sambil menangis, entah perasaan apa yang sedang menggelayuti diri mereka. Namun, sejak saat itu sontak muncul semacam kesadaran budaya dan sejarah mengenai tradisi-tradisi lokal (adat) dan ikatan-ikatan sosial-budaya pela dan gandong. Ungkapan-ungkapan “nyong/nona pela” dan “gandong ade/kaka” marak terdengar dimana-mana sebagai sapaan yang selama ini dianggap telah luntur dan tak lagi penting. Dalam banyak anggapan orang, konflik Maluku telah mendorong suatu kebangkitan tradisi lokal yang kian tergerus oleh cara pandang dan gaya hidup modern-kapitalistik.

Kelompok agama-agama, termasuk Gereja Protestan Maluku (GPM), pun tampaknya membuka diri untuk mengapresiasi pendekatan-pendekatan budaya Salam-Sarane sebagai salah satu media penting mendorong rekonsiliasi antara dua kelompok agama yang dipenuhi emosi berseteru. Pihak pemerintah provinsi maupun nasional juga melihat pendekatan budaya Salam-Sarane dan/atau pela-gandong sebagai salah satu strategi yang dapat digunakan untuk memfasilitasi upaya-upaya membangun perdamaian dan stabilitas keamanan. Untuk sesaat pendekatan budaya (lokal) tampaknya memberi harapan perdamaian dapat segera terwujud pasca Januari 1999. Namun demikian, kenyataan pahit yang tidak dapat disangkali justru adalah eskalasi konflik yang kian tinggi dan berlarut-larut, dengan tingkat sebaran spasial yang massif serta dampak kerusakan yang lebih parah dan korban manusia (pengungsi, cacat, tewas) lebih banyak. Bahkan para analis konflik menemukan fakta pada setiap fase eskalasi konflik terdapat konstruksi wacana/isu yang berbeda-beda: kecemburuan ekonomi, persaingan antar-etnis, komposisi Islam-Kristen, netralitas pemerintah sipil/militer, lemahnya kontrol negara dengan membiarkan intervensi kelompok-kelompok paramiliter dari luar Maluku, separatisme.

Apa yang terjadi kemudian adalah keraguan banyak orang terhadap pendekatan budaya (lokal) sebagai media rekonsiliasi antara kelompok Islam dan Kristen di Maluku. Beberapa pendapat yang saya dengar cukup sering menanggapi realitas itu antara lain adalah “makin rapuhnya ikatan budaya pela dan gandong”, “orang Maluku sudah lupa adat dan identitasnya”, “tradisi lokal makin terkikis oleh modernisasi”. Seolah-olah masalah konflik sosial 1999 itu adalah persoalan internal Salam dan Sarane di Maluku. Tentu saja, pada derajat tertentu, konflik sosial yang massif tidak terjadi semata-mata karena faktor pemicu eksternal tetapi turut dipengaruhi secara signifikan oleh kondisi-kondisi sosiologis dan kultural secara internal. Dalam konteks terbatas, dapat dipahami kegusaran Gus Dur yang menyatakan “Biarlah orang Maluku menyelesaikan persoalannya sendiri”. Namun, dalam konteks yang lebih luas, terutama pada tatanan hukum nasional dan konteks sosial-politik kenegaraan Indonesia, maka jelas bahwa eskalasi konflik sosial yang meninggi bukan semata-mata disebabkan asumsi-asumsi rapuh dan gagalnya pendekatan budaya lokal tetapi melibatkan dimensi-dimensi sosiologis, politis, ekonomi dan kebudayaan yang lebih besar, berkelindan dan powerful.

Revitalisasi Tradisi dan Pluralitas Sosial-Budaya

Tidak banyak sumber sejarah yang dapat ditelusuri untuk menelisik ketegangan-ketegangan sosial antara “pendatang” dan “masyarakat lokal” di Kepulauan Maluku pada masa-masa prakolonial. Informasi mengenai berbagai aspek dari kawasan ini kebanyakan diperoleh dari catatan-catatan para pedagang dan/atau pejabat pemerintahan kolonial Eropa dan para misionaris yang datang bersama mereka. “There are no extant indigenous sources from the sixteenth or the seventeenth centuries, and the only detailed foreign accounts are from the pens of contemporary Portuguese, Spaniards, and Dutch,” demikian catatan Andaya. Dari catatan-catatan mereka pula diperoleh gambaran mengenai interaksi para pedagang Nusantara dan masyarakat lokal Maluku, yang pada gilirannya membentuk karakter sosial yang hibrid dan sebagian telah menganut Islam, sementara sebagian lain masih mempraktikkan agama lokal – yang oleh Dieter Bartels disebut “Agama Nunusaku”.

Benturan kepentingan politik-ekonomi justru terjadi sejak masa para pedagang Portugis melakukan aktivitas perdagangan rempah-rempah melalui perjanjian-perjanjian dagang dengan para elite lokal, baik di Utara (Ternate dan Tidore) maupun di Selatan (Ambon). Perjanjian-perjanjian dagang dengan melibatkan legitimasi politik tersebut kerap berujung pada pembagian keuntungan yang tidak sesuai dengan perjanjian sehingga menimbulkan kegusaran terutama dari pihak elite lokal. Selain itu, intrik-intrik politik dalam bentuk koalisi dan konfrontasi turut mempengaruhi dinamika relasi politik-ekonomi antara masyarakat lokal dan Portugis.

Tersingkirnya Portugis dari Kepulauan Maluku oleh kedatangan VOC (Belanda) alih-alih meredam ketegangan tersebut malah makin mengguratkan kegusaran masyarakat lokal. Keberpihakan pada Hitu dalam mengusir Portugis kini menjadi bumerang ketika VOC berhasrat memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku dan menghancurkan jaringan perdagangan tradisional antara masyarakat lokal dan para pedagang Nusantara yang telah terbentuk sebelumnya. Pada masa-masa ketika VOC menerapkan kebijakan monopoli perdagangan cengkeh, sebagian besar komunitas Islam Maluku terisolasi karena dibatasi ruang geraknya oleh VOC dan menolak untuk terlibat dalam urusan-urusan administrasi VOC. Selama periode tersebut terjadi proses akomodasi Islam dan adat secara lebih intensif. Penolakan terhadap sistem sekolah Belanda menjadikan sistem pembelajaran agama (Islam) secara tradisional di kampung-kampung Muslim sebagai model pendidikan utama yang penting. Ketidakpercayaan pada sistem administrasi VOC menjadikan sistem pemerintahan adat sebagai satu-satunya cara mengelola kehidupan sosial. Ini merupakan momentum historik revitalisasi tradisi (adat) dan agama sebagai dampak tekanan-tekanan politik dan ekonomi dari luar (VOC).

Proses yang berbeda berlangsung di komunitas-komunitas Sarane Ambon. Setelah tersingkir dari Hitu, Portugis diterima oleh kelompok komunitas Leitimor dan cukup berhasil menanamkan pengaruh politik dan agama (Katolik) di sana. Namun, hal itu tidak berlangsung lama setelah VOC berhasil merebut benteng Portugis di Ambon. Konversi dari Katolik ke Protestan berlangsung begitu saja tanpa disertai upaya-upaya serius membina jemaat-jemaat Kristen di Leitimor karena kepentingan VOC lebih kepada perdagangan rempah-rempah. Meskipun banyak yang merasa dampak buruk dari kebijakan monopoli oleh VOC namun sebagian besar komunitas Sarane Ambon lebih memilih berafiliasi dengan Belanda. Dalam hal ini faktor kesamaan identitas agama (Protestan) memainkan peran penting. Karena beragama Kristen, masyarakat lokal Leitimor lebih memilih berafiliasi dengan Belanda. Karena beragama Kristen, masyarakat lokal Leitimor punya akses lebih besar untuk direkrut menjadi pegawai rendahan administrasi kolonial VOC dan serdadu kolonial.

Dengan demikian, “Kristen” dan “Belanda” (modern) kemudian menjadi penanda identitas sosial yang tegas membedakan komunitas Leitimor dengan komunitas Leihitu yang “Islam” dan “tradisional”. Afiliasi dan identifikasi dengan Belanda, melalui sistem sekolah Belanda dan Gereja, pada gilirannya meluruhkan dimensi-dimensi kebudayaan lokal pada komunitas Leitimor. Bahasa Melayu menggantikan bahasa tanah sebagai bahasa pengantar modern di sekolah-sekolah Belanda. Seperti disebutkan oleh Cooley,

It was only through the process of Christianization and colonial rule that the indigenous language was generally wiped out amongst Ambonese Christians, the so-called Ambonese-Malay replacing it. This occurred as the result of a policy vigorously pursued by both State and Church under Dutch control.

Sistem pemerintahan adat direkonstruksi dengan menyisipkan konsep dan bentuk pemerintahan kolonial dengan menjadikan “raja” sebagai perpanjangan tangan pemerintah kolonial. Sementara pada sisi lain, institusionalisasi gereja merujuk pada model-model jemaat Belanda dengan pengorganisasian di bawah otoritas pemerintah kolonial. Inilah yang kemudian menciptakan ketegangan internal antara “raja” (otoritas negeri) dan “pendeta” (otoritas agama), yang secara ideologis membentuk dikotomi substansial “adat” dan “injil”; atau yang disebut Cooley sebagai functional dichotomy.

Traditionally they have tried to overcome this ambivalence and ambiguity by attempting a functional dichotomy between the realm of Caesar with its demands (adat), and the realm of God with its demands (monotheistic faith and ethics). But this has not removed the tension; hence conflict between Session and Saniri, minister and radja, continues erupt over adat requirements.

Pesan Tobat GPM tahun 1960 dengan jelas memperlihatkan endapan ideologis tersebut. Revitalisasi tradisi dalam komunitas Kristen Maluku sebenarnya berlangsung secara liminal dan ambigu. Keterasingan dari ranah kebudayaan lokal, terutama bahasa tanah, telah menggiring Kristianitas Maluku dalam proses pencarian identitas yang panjang dan belum usai. Periode sejarah pendudukan Jepang, yang singkat tapi signifikan, dan tiga dekade konstruksi “budaya seragam” oleh rezim Orde Baru, telah membentuk karakter budaya yang mengambang (floating culture) yang bergerak kemana-mana tanpa berpijak pada satu landasan identitas entah agama ataupun tradisi. Apa yang tampak kemudian adalah fragmen-fragmen agama dan adat yang sebenarnya tidak padu tetapi dipaksakan menyatu sebagai penanda identitas berhadapan dengan liyan – yang oleh Frank Cooley disebut “Agama Ambon” – the indigenized form of Christianity.

Kontestasi identitas budaya yang berlangsung terutama sejak masa kolonial juga turut mempengaruhi relasi-relasi kekuasaan berbasis identitas. Chauvell mencatatnya terutama pada masa-masa pergerakan nasional era 1940an ketika kekuatan-kekuatan politik yang berporos pada gerakan nasionalisme republikan (Indonesia) vis-à-vis kekuatan-kekuatan politik tradisional berbasis otoritas budaya (adat) yang kukuh mempertahankan loyalitas pada pihak kolonial Belanda. Dalam konteks itu, identitas agama dan etnis berkelindan membentuk modal sosial bagi eksistensi masing-masing kelompok dalam masyarakat Ambon (Maluku). Relasi-relasi kekuasaan berbasis identitas agama dan etnis ini berlangsung terus dalam dinamika sosial-budaya di Maluku, hingga memasuki era Indonesia modern di bawah administrasi rezim Orde Baru dengan pola kekuasaan yang sentralistik dan seragam.

Konstruksi “budaya seragam” oleh rezim Orde Baru juga turut menyebabkan terjadinya pergeseran-pergeseran signifikan dalam komunitas-komunitas Salam Ambon. Akses yang lebih besar ke dalam birokrasi pemerintahan dan afiliasi dengan gerakan-gerakan Islam nasional Indonesia telah melahirkan bentuk-bentuk pemahaman politik dan interpretasi mutakhir mengenai identitas politik dan agama (Islam) di Maluku. Relasi-relasi Salam-Sarane Ambon sejak masa kolonial dan terutama selama Orde Baru memperlihatkan pergulatan kontestasi identitas yang di dalamnya kebudayaan lokal (adat) dan agama (Islam/Kristen) dimaknai secara kontekstual. Pemaknaan tersebut tidak selalu bermuara pada kesalingpahaman (mutual understanding) tetapi kerap pula menuju pada persinggungan-persinggungan yang bergesekan panas. Oleh karena itu, proses revitalisasi tradisi di Maluku sebenarnya merupakan sebuah proses kompleks dan rumit yang melibatkan banyak aktor dan campur-tangan negara. Ini sekaligus menjadi tantangan besar bagi agama-agama di Maluku untuk melakukan reinterpretasi ajarannya masing-masing dengan secara serius mempertimbangkan konteks sosial-politik-ekonomi pada tingkat lokal maupun nasional.


Otonomi Daerah dan Politik Identitas: Menggereja dalam Keragaman

Ambruknya rezim Orde Baru melalui gerakan Reformasi 1998 telah membangkitkan harapan baru akan masa depan kehidupan bernegara yang lebih demokratis di Indonesia. Proses reformasi itu sendiri bukanlah proses-jadi-semalam. Hingga saat ini masyarakat Indonesia masih bergulat dengan kompleksitas masalah sebagai akibat terbukanya kran demokrasi dan pembenahan kapasitas sistem politik-ekonomi yang lebih fungsional bagi masyarakat Indonesia yang plural. Dalam banyak hal masih terlihat ceruk kebijakan dan regulasi yang berpotensi menimbulkan perseteruan dan konflik sosial baik secara horizontal maupun vertikal; individual maupun komunal; malah memicu pula benturan antar-institusi negara (sipil maupun militer). Hiariej berargumen,

"Orde Baru sebaiknya dilihat sebagai formasi sosial kapitalis yang digerogoti dari dalam oleh kontradiksi internal yang diidapnya. Pengunduran diri Soeharto sebaiknya dipahami dalam kerangka kontradiksi internal ini, khususnya ketegangan dalam kapitalisme negara, perselisihan dalam kelas yang berkuasa dan konflik antara kelas-kelas dominan dan subordinan."

Dampak utama dari kebangkitan demokratisasi pasca-1998 adalah tuntutan akan otonomi daerah. Suara-suara daerah bergaung dimana-mana menuntut kelonggaran dari negara untuk mengelola sumber daya masing-masing. Banyak daerah merasa dimiskinkan di tengah-tengah kekayaan alam mereka karena kebijakan sentralisme pembangunan Orde Baru yang terbukti jelas-jelas menciptakan ceruk dalam kesenjangan “pusat” dan “pinggiran”; “Jakarta” dan “daerah”.

Secara prinsipil, pemberlakuan otonomi daerah memberikan kesempatan bagi pemerintah dan masyarakat daerah untuk mengelola potensi lokalnya semaksimal mungkin bagi kepentingan kesejahteraan setempat. Namun, pada kenyataannya, implementasi otonomi daerah telah menciptakan ruang-ruang konflik yang baru, terutama dalam persoalan politik identitas. Sentralisme Orde Baru kini bergeser ke ekstrem yang lain: regionalisme. Jargon nasionalisme kini beralih menjadi semangat primordialisme dengan mengedepankan aspek-aspek identitas lokal dalam arena kontestasi kewarganegaraan (citizenship) Indonesia. Agama dan tradisi lokal kemudian berperan vital dalam menentukan arah pembangunan masyarakat Indonesia, yang tampak makin fragmentaristik dalam kategori-kategori sosial kontemporer.

Otonomi daerah sudah jelas bukan mekanisme sosial-politik-ekonomi yang sempurna. Salah satu isu penting yang berkembang sebagai dampaknya adalah makin terpetak-petaknya teritori suatu wilayah menurut konstruksi batasan-batasan sosial (social boundaries) yang tidak hanya melibatkan pertimbangan sumber daya tetapi juga identitas sosial yang lebih eksklusif. Jargon “Putra/Putri Daerah” dan “pendatang/orang asli” kian mengental dan mengeras sehingga tidak hanya menyebabkan kapling-kapling wilayah tetapi juga kapling-kapling identitas. Kemajemukan sosial-budaya yang semasa Orde Baru dianggap sebagai ancaman yang berpotensi disintegrasi, melalui implementasi otonomi daerah kini perlahan tapi pasti menjadi karakter anti-kemajemukan dengan sekat-sekat identitas etnis dan agama yang berkelindan dengan kepentingan-kepentingan ekonomi-politik. Hal krusial di sini adalah terjadinya pergeseran signifikan relasi-relasi kekuasaan pada tingkat lokal dengan pola-pola klientelistik. Birokrasi pemerintahan menjadi arena kompetisi yang sengit, yang membuka celah penguatan sentimen-sentimen primordial (seagama, sesuku, sekampung, sekeluarga) sehingga gesekan-gesekan kepentingan berpotensi menjadi konflik sosial. Kondisi semacam ini turut membidani kelahiran intermediate-class – kelompok-kelompok yang berperan sebagai “broker” atau “calo” antara pihak pemerintah dan pengusaha yang mengeruk keuntungan dari kucuran dana pusat bagi pembangunan daerah/atau alokasi dana otonomi daerah serta praktik rent-seeking.

Bukanlah berita baru baik di Maluku maupun daerah-daerah lain soal maraknya tuntutan otonomi daerah dan eksesnya yang berujung konflik antarkelompok pada tingkat lokal. Dalam konteks partikular GPM, saya melihat implementasi otonomi daerah sangat mempengaruhi dinamika pelayanan jemaat-jemaat. Klasis-klasis pelayanan GPM dibentuk berdasarkan pertimbangan kewilayahan pulau-pulau. Umumnya, dalam kerja sama dengan pemerintah setempat, satu klasis lebih sering berurusan dengan satu pemerintahan kabupaten. Dengan begitu banyaknya pemekaran daerah, sebagai manifestasi semangat otonomi daerah, kini satu klasis harus berurusan dengan dua pemerintahan kabupaten karena sebagian jemaat berada di wilayah administrasi kabupaten A dan sebagian lain di wilayah kabupaten B. Apakah pemekaran daerah (kabupaten) juga harus diikuti dengan pemekaran klasis GPM? Tentu tidak semudah yang dibayangkan. Namun demikian, berbagai konsekuensi pemekaran daerah tersebut sudah semestinya menjadi salah satu agenda pengembangan wilayah pelayanan GPM dengan risiko sosial-politik seminimal mungkin. Pada konteks yang lebih luas, pemekaran daerah tingkat satu (provinsi) Maluku menjadi dua provinsi (Maluku dan Maluku Utara) tak pelak menimbulkan gesekan tersendiri dalam hubungan antara GPM dan GMIH. Hubungan yang semula diikat oleh kesepakatan saling memahami dan saling melengkapi antara dua organisasi gerejawi ini kini kerap diwarnai ketegangan-ketegangan horizontal berdasarkan klaim-klaim kewilayahan dan otoritas sinodal berbasis teritori – Maluku Utara / Halmahera adalah wilayah pelayanan GMIH dan Maluku adalah wilayah pelayanan GPM.

Selain itu, pengentalan dan pengerasan identitas sebagai efek otonomi daerah akan menjadi tantangan terbesar bagi GPM dalam menjaga keutuhan wilayah maupun soliditas sosial jemaat-jemaatnya. Dalam konteks sosial yang makin terfragmentasi semacam itu jemaat-jemaat GPM, dan juga masyarakat lainnya secara luas, sangat rentan terjerumus dalam singgungan-singgungan politik identitas (etnis dan agama). Belum lagi jika konsekuensi pemekaran daerah tersebut berpeluang bagi mengalirnya kelompok-kelompok etnis lain yang masuk dengan berbagai kepentingan (terutama ekonomi). Isu penting mengenai relasi antara “pendatang” dan “orang asli” sebenarnya bukan pada penolakan arbitrer kedatangan “orang luar” melainkan pada orientasi pembangunan yang tidak berkeadilan dan condong pada pengabaian keseimbangan relasional melalui pembiaran proses-proses marjinalisasi masyarakat lokal. Ketidakseimbangan relasional tersebut mewujud dalam bentuk-bentuk produk regulasi yang tidak menghargai hak-hak hidup masyarakat lokal, komposisi pemerintahan yang lebih berorientasi dominasi ekonomi melalui politik demografi, dan proliferasi sentimen keagamaan untuk meraih kepentingan politik-ekonomi sesaat. Dalam konteks itu maka kebijakan transmigrasi (dari Jawa ke Maluku) oleh pemerintah pusat mesti disikapi dengan mengedepankan prinsip-prinsip keadilan sosial dan kemanusiaan yang adil dan beradab, serta tidak semata-mata pertimbangan teknis demografis untuk mengurai densitas penduduk di Pulau Jawa.

GPM dan Masa Depan Keberagamaan di Indonesia

Setelah melewati pergumulan panjang dan tertatih-tatih selama 80 tahun perjalanan pelayanannya di pulau-pulau Maluku, GPM masih akan terus berhadapan dengan isu-isu utama seputar agama dan masyarakat. Isu-isu tersebut tidak dapat semata-mata dihadapi dan disikapi dengan pendekatan teologis tetapi lebih jauh diperlukan kajian komprehensif mengenai realitas sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan pendidikan, yang secara langsung memiliki hubungan kausalitas dengan dinamika pengorganisasian gereja (GPM) dan karakteristiknya sebagai organisasi keagamaan yang berbasis pada ranah kebudayaan masyarakat kepulauan dalam entitas geopolitik Republik Indonesia. Di antara beberapa isu, saya hendak fokus pada isu “stigmatisasi separatisme RMS” dan “reinterpretasi kearifan lokal dalam perspektif kemanusiaan universal”.

Stigmatisasi Separatisme RMS
Peristiwa Proklamasi Republik Maluku Selatan (RMS) pada 25 April 1950 tidak dapat dilihat sebagai peristiwa tunggal. Peristiwa tersebut mesti dilihat dalam spektrum konteks sosial-politik lebih luas yang melibatkan dimensi-dimensi kontekstual pada tingkat lokal, nasional maupun pertarungan kekuasaan global (internasional). Namun demikian, dipatahkannya pemberontakan RMS melalui infiltrasi bersenjata tentara Indonesia pada Desember 1950 ternyata meninggalkan guratan memori kolektif yang dikonstruksi secara arbitrer oleh kekuasaan negara sebagai “hantu” yang terus-menerus patut dicurigai dan dikontrol melalui pendekatan keamanan. Sejak gagalnya pemberontakan RMS tahun 1950, yang kemudian diikuti oleh penangkapan tokoh-tokoh kuncinya, sementara sebagian lain mencari jalan ke luar negeri (terutama Belanda), RMS menjadi stigma politik yang mendiskreditkan rakyat Maluku. Hampir sepanjang kekuasaan rezim Orde Baru, setiap tanggal 25 April Kota Ambon dan pulau-pulau Lease dipenuhi pasukan polisi dan tentara dengan kecurigaan bahwa tanggal tersebut memicu sentimen separatisme di Maluku. Penanganan kasus-kasus yang diklaim sebagai “aksi separatisme” pun tidak pernah tuntas ditangani sehingga “hantu” RMS ini dibiarkan terus bergentayangan serta menjadi alasan bagi pihak kepolisian dan militer menciduk siapa saja yang dianggap mencurigakan.

Label “RMS” juga dipasang sebagai strategi untuk menghambat karir atau menyingkirkan orang-orang tertentu dari posisi birokrasi hanya karena alasan kakek-neneknya atau bapak-ibunya atau paman-bibinya terlibat peristiwa RMS 1950. Itu juga yang menjadi alasan untuk menggeser posisi orang-orang tertentu dan menggantikannya dengan orang-orang yang dianggap “bersih lingkungan” oleh negara (Orde Baru). Salah satu fase eskalasi konflik sosial di Maluku 1999-2005 – pasca Orde Baru – juga memunculkan isu separatisme RMS yang dilekatkan sebagai ideologi Kristen untuk melepaskan diri dari Republik Indonesia. Dengan demikian, ideologi RMS dan politik agama (Kristen) diasumsikan sebagai satu kesatuan, antara lain melalui plesetan “Republik Maluku Sarane”. Chauvel sendiri dalam kajiannya yang komprehensif menyatakan patut diakui bahwa kontestasi identitas agama turut berperan dalam peristiwa tersebut, tetapi juga harus dilanjutkan pada temuan dan analisis bahwa motivasi mendasar gerakan separatisme tersebut lebih bersifat politis-regional ketimbang agama, serta melibatkan kompleksitas isu-isu lokal, nasional dan internasional saat itu.

Kenyataan ini memperlihatkan bahwa proses membangun kesadaran sejarah mengalami stagnasi total terutama pada ruang-ruang pendidikan formal (sekolah). Sejarah RMS menjadi sejarah bisu yang hanya dikonstruksi oleh negara sesuai kepentingan politiknya sehingga meninggalkan residu ambiguitas bagi kaum Muda Maluku untuk cerdas membaca sejarah lokalnya sendiri dan bagaimana relasi-relasi persaudaraan dengan orang-orang Maluku di Belanda sering berpengaruh pada karir dan kehidupan orang-orang Maluku di Maluku (Indonesia). Dalam konteks ini, GPM patut memberi perhatian serius bagi pendidikan sejarah politik lokal sebagai proses penguatan karakter menggereja vis-à-vis konstruksi ideologis negara dengan seluruh kepentingannya untuk terus-menerus menghidupkan “hantu” RMS. Selain itu, diskusi terbuka dengan semua pihak yang turut “memainkan” kartu RMS ini untuk kepentingan politik mereka sendiri juga perlu dilakukan agar polemik politik menjadi pembelajaran publik yang turut menentukan orientasi dan sikap politik GPM sebagai gereja bagi kemanusiaan universal, bukan bagi kepentingan primordial partikular. Tentang hal itu, temuan Turner patut diperhatikan,

Thus the change from riot to nationalist conflict was specifically facilitated by the access to these earlier myths of ‘us’ and ‘them’ and the confrontation of two ideological nationalism in which each responded to each other’s changing ideological depictions of themselves and their enemy. As 6.2 will show, just prior to the emergence of the Laskar Jihad, people in Ambon were constructing the conflict and their enemies on the basis of the nascent dynamics of the conflict at the time including socio-economic grievances of perceived bias in the public service against Muslims and higher unemployment among certain sections of the Muslim community. This left a significant role to the Laskar Jihad to galvanise local Muslims through a unifying ideology based on a systematic ideological depiction of a Christian conspiracy against Indonesian/Islamic autonomy.

Reinterpretasi Kearifan Lokal dalam Perspektif Kemanusiaan Universal
Ikatan-ikatan kultural Pela dan Gandong di Maluku pernah menjadi ikon “kerukunan umat beragama” di Indonesia. Namun, kebanggaan itu tidak disertai oleh pemahaman mendalam mengenai proses penggerusan kebudayaan lokal melalui implementasi regulasi negara seperti Undang-Undang No. 5 tahun 1979 mengenai pemerintah desa. Pela dan Gandong bukanlah produk kebudayaan yang bergerak di ruang hampa. Implementasi UU tersebut secara sistematis telah meluruhkan spirit kearifan lokal yang melanggerakkan tradisi Pela dan Gandong. Penyeragaman struktur birokrasi dan sistem pemerintahan daerah dari tingkat provinsi hingga desa selama lebih tiga dekade sebenarnya telah mematikan spirit kearifan lokal Pela dan Gandong sehingga hanya menjadi bentuk-bentuk kebudayaan tanpa “roh” yang dibangun di atas kesadaran sejarah dan kebudayaan secara matang. Hampir seluruh ekspresi kebudayaan lokal pada gilirannya tereduksi menjadi ritual-ritual eksotik tapi miskin estetik dan hermeneutik.

Konflik sosial 1999-2005 yang bersamaan dengan momentum keterbukaan dan demokratisasi pasca Reformasi 1998 menjadi ranah subur tumbuhnya kesadaran kultural-primordial (etnis dan agama) untuk menemukan kembali keragaman identitas sosial-budaya yang dimiskinkan oleh proses penyeragaman/dominasi budaya selama Orde Baru. Revitalisasi tradisi berkembang secara massif di berbagai daerah disertai dinamika politik lokal yang mencoba mengukuhkan determinasinya bagi kemandirian lokal/regional. Jika sebelumnya pada Orde Baru ketegangan terjadi akibat ketimpangan proses pembangunan pusat-daerah, kini berbagai daerah melegitimasi dirinya melalui pemekaran daerah (otonomi daerah) sebagai pusat-pusat baru yang atas nama rakyat lokal mengatur daerahnya dengan makin mengabaikan tingkat keragaman masyarakat lokal. Bentuk “penyeragaman” baru muncul melalui sekat-sekat identitas “anak daerah” dan politik primordial klientelisme.

Dalam konteks sedemikian, GPM punya peran penting dalam mendorong proses reinterpretasi kearifan lokal dalam perspektif kemanusiaan universal. Malah, Bartels mencatat: “Ohorella (1999), seorang ahli Islam, menginginkan konsep pela-gandong yang dimodernisasi dan diformalkan sehingga menjadi “gaya baru” untuk membenahi hubungan Muslim-Kristen… untuk memperluas pela ke luar desa dengan cara pertama-tama membentuk persekutuan yang terdiri dari seluruh desa dalam satu kecamatan, dan kemudian memperluasnya dengan membentuk sistem persekutuan antara berbagai kecamatan dalam satu provinsi.” Dengan perkataan lain, ikatan-ikatan Pela dan Gandong yang pada hakikatnya berbasis ikatan primordial (keluarga dan antarkampung) kini perlu dimaknai lebih luas dengan mempertimbangkan tingkat kemajemukan masyarakat sebagai akibat terbukanya kran demokratisasi dan makin membesarnya efek globalisasi karena perkembangan teknologi informasi-komunikasi.

Pertanyaan penting di sini adalah: Bagaimana kearifan lokal Maluku mampu menjadi modal sosial dan modal budaya untuk membangun masyarakat yang plural ini? Realitas kemajemukan Maluku sudah ada sejak dulu – bahkan Gerrit Knaap menyebut Ambon sebagai the city of migrants – namun realitas kemajemukan itu belum pernah dipahami dalam konteks entitas geopolitik negara kontemporer seperti Republik Indonesia. Jika dalam perjalanan pelayanannya realitas kemajemukan sosial-budaya ini menjadi salah satu isu penting maka GPM semestinya menempatkannya sebagai agenda utama gerak misiologis dan orientasi teologisnya pada abad ke-21 ini.

Dengan semua catatan itu, saya berargumen bahwa [1] revitalisasi tradisi merupakan salah satu model gerakan sosial pascakolonial yang menentang kecenderungan paradigma sentralisasi pembangunan yang bertumpu pada ideologi pertumbuhan ekonomi atau kapitalisme berporos di negara-negara industri maju. Model ini merupakan dekonstruksi pemahaman dan praksis “modernitas” yang bergerak linear dan konvensional: dari tradisional ke modern (imitasi “Barat”), dan lebih bertumpu pada paradigma multiple modernities. Artinya, modernitas bukanlah hasil proses modernisasi yang berjalan satu arah dan tunggal tetapi dalam wujud bervariasi; [2] Peran politik dan kebudayaan gereja (GPM) seyogyanya bergerak dua arah antara realitas empirik (kajian konteks secara kritis dan terukur) dan proses abstraksi (kajian tekstual dan hermeneutik) sehingga gereja bukan sekadar institusi moral tetapi agen perubahan sosial dengan visi keduniawian yang serius mempertimbangkan kemanusiaan dan lingkungan hidup semesta. Dengan demikian, teologi gereja (GPM) bukanlah semata-mata konsep yang diekstraksi dari penafsiran teks-teks suci melainkan pendalaman kritis-analitis dan reflektif terhadap realitas kemanusiaan dengan seluruh kompleksitasnya. Di situlah tugas berteologi (doing theology) menjadi rumit, melelahkan sekaligus menggairahkan karena selalu mengikuti arah perkembangan kehidupan sosial masyarakat yang menjadi akar refleksi sosial-teologisnya.

Penutup

Catatan kecil ini hanyalah sepenggal upaya merefleksikan keterlibatan saya sebagai seorang pendeta GPM yang ditugaskan oleh Sinode GPM untuk menjalani pelayanan dan pengabdian pada lingkup pendidikan tinggi Kristen (UKIM) yang didirikan oleh GPM. Masih banyak isu-isu penting yang menantang GPM dan oleh karenanya perlu diperhatikan secara serius baik pada tataran konseptual maupun praksis pelayanan. Interaksi dan diskusi terutama dengan para senior pendeta yang telah malang-melintang puluhan tahun dalam pelayanan jemaat-jemaat GPM di Maluku dan Maluku Utara memperkaya perspektif saya dalam memahami karakteristik konteks dan dinamika pelayanan jemaat-jemaat. Namun demikian, tidak semuanya dapat terelaborasi dalam ruang terbatas ini. Untuk segala dedikasi dan integritas para pendeta GPM, tulisan ini merupakan sebentuk apresiasi kepada mereka.
Di atas segalanya, komitmen dan keterbukaan untuk membaca tanda-tanda zaman mesti terus menjadi landasan kehidupan menggereja GPM dalam konteks Maluku dan Indonesia. Itu tidak akan berhenti pada titik waktu 80 tahun tetapi bergerak terus menghadapi tantangan-tantangan dan peluang-peluang kontekstual yang meyakinkan saya bahwa melaluinya GPM dengan segenap jemaat-jemaatnya sedang ditempa untuk membarui dirinya, bersama-sama dengan seluruh rakyat Maluku dan Indonesia. Selamat mengalami anugerah Tuhan dengan 80 tahun pelayanan di Maluku dan Indonesia. Upulahatala Lanite Tapele memberkatimu! Mena Muria!


Senarai Acuan

Bartels, Dieter, 1977, Guarding the Invisible Mountain: intervillage alliances, religious syncretism and ethnic identity among Ambonese Christians and Moslems in the Moluccas. Dissertation: Cornell University.
Brauchler, Birgit , “Cyberidentities at War: Religion, Identity, and the Internet in the Moluccan Conflict”. INDONESIA 75 (April 2003): hlm. 123-151.
Chauvel, Richard, 1990, Nationalists, Soldiers and Separatists: the Ambonese Islands from Colonialism to Revolt 1880-1950. Leiden: KITLV Press.
Cooley, Frank L., 1961, Altar and Throne in Central Moluccan Societies: a study of the relationship between the institutions of religion and the institution of local government in a traditional society undergoing rapid social change. Dissertation: Yale University.

Darmawan, Rachmad E.D., 2008, The Practices of Decentralization in Indonesia and Its Implication on Local Competitiveness. Enschede: University of Twente.
Gottowik, Volker (ed.), 2014, Dynamics of Religion in Southeast Asia: Magic and Modernity. Amsterdam: Amsterdam University Press.
Hiariej, Eric, 2005, Materialisme Sejarah Kejatuhan Soeharto: Pertumbuhan dan Kebangkrutan Kapitalisme Orde Baru. Yogyakarta: IRE Press.
Knaap, Gerrit J. , “A City of Migrants: Kota Ambon at the end of the seventeenth century”. INDONESIA 51 (April 1991): hlm. 105-128.
Nordholt, Henk Schulte & van Klinken, Gerry (eds.), 2007, Renegotiating Boundaries: Local Politics in Post-Suharto Indonesia. Leiden: KITLV Press.
Ramstedt, Martin & Thufail, Fadjar Ibnu (eds.), 2011, Kegalauan Identitas: Agama, Etnisitas, Kewarganegaraan pada Masa Pasca-Orde Baru. Jakarta: Gramedia.
Reid, Anthony (ed.), 1993, Southeast Asia in the Early Modern Era: trade, power, and belief. Ithaca: Cornell University Press.
Turner, Kathleen T., 2006, Competing Myths of Nationalist Identity: Ideological Perceptions of Conflict in Ambon, Indonesia. Dissertation: Murdoch University.
Tyson, Adam, 2010, Decentralization and Adat Revivalism in Indonesia: the politics of becoming indigenous. New York: Routledge.
Ukru, Yunus, Erwin Panjaitan & Roem Topatimasang (eds.), 1993, Potret Orang-orang Kalah: Kumpulan Kasus Penyingkiran Orang-orang Asli Kepulauan Maluku. Hasil Pengamatan Lapangan tanggal 13 April – 10 Mei 1993.
Van Klinken, Gerry, 2007, Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia. Jakarta: KITLV Press.

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces