Presiden Joko Widodo baru saja mengeluarkan pernyataan dan instruksi kepada Polri/TNI untuk “kejar dan tangkap” para pelakunya. Pernyataan ini seharusnya dibaca “mundur” (preventif) dengan mengefektifkan intelijen negara apalagi jika – sebagaimana disinyalir Menkopolhukam – ada tendensi Indonesia menjadi sasaran aksi teror. Lantas, apa langkah strategis mengantisipasinya? Tapi, lebih jauh dari sekadar mengantisipasi aksi teror, mengefektifkan intelijen negara dan mengejar pelaku teror, adalah bagaimana strategi pengelolaan “sistem peringatan dini” yang semestinya dimulai dari mencermati kecenderungan-kecenderungan asosial yang berkembang melalui indoktrinasi kebencian dan fanatisme berselubung “agama” dan sentimen-sentimen primordial lainnya. Selain itu, jika akses dan izin kepemilikan serta penggunaan senjata api hanya dimiliki oleh korps Polri dan TNI, bagaimana mekanisme kontrol internal kedua institusi tersebut terhadapnya? Serangkaian konflik komunal beberapa tahun lampau, seperti Konflik Ambon, semestinya menjadi pelajaran penting bagi pemerintah (sipil/militer) Indonesia bahwa situasi konflik[-konflik] itu telah menjadi lahan subur penyebaran senjata api di tangan warga sipil anggota milisi-milisi yang ada saat itu. Jika ditelusuri sudah jelas darimana asal peredaran senjata-senjata tersebut.
Tudingan terhadap “ISIS” sebagai biang keroknya hanyalah mengarahkan telunjuk pada “papan nama” baru tanpa menyelisik lanjut kandungan ideologis yang sudah lama ada, bahkan diawetkan, melalui berbagai macam organisasi dan/atau media. Sebagai warga negara Indonesia, saya mendukung seluruh upaya optimal pihak intelijen, kepolisian dan militer Indonesia untuk mengungkap motif aksi teror, menangkap pelakunya, sekaligus – ini yang penting – mempersiapkan strategi sosial-kebudayaan sebagai “sistem peringatan dini” menangkal terorisme. Tentu saja, ada harapan besar, kita tidak sedang antre menunggu giliran diobrak-abrik, setelah kasus Belgia, Prancis dan Turki.
No comments:
Post a Comment