Aku menulis maka aku belajar

Wednesday, June 22, 2016

Mudik

Jakarta adalah ibukota negara Indonesia tapi bukan Indonesia itu sendiri.
Masalah Jakarta adalah bagian dari masalah Indonesia tapi bukan satu-satunya masalah Indonesia. Urusan Ahok jungkir balik menangani Jakarta itu tugas dia sebagai gubernur Jakarta, tidak perlu overdosis memuja atau menghujatnya karena dia bukan gubernurnya gubernur se-Indonesia.

Masalah korupsi bukan perkara Jakarta thok. Sebab korupsi sudah membudaya nasional dan juga dihidupi sebagai tradisi lokal sejak Nusantara masih kerajaan-kerajaan hingga jadi negara-bangsa res-publica.

Kekerasan fisik dan kekerasan simbolik merambah dimana-mana sebagai kewajaran dan kewarasan menjaga dan berebut kuasa. Soal berebut harta dan kuasa bukan soal "pusat-pinggiran" tapi hasrat dan syahwat sosial. Agama-agama pun bergoyang genit di panggung-panggung kontrak politik dan transaksi bisnis.

Penggusuran komunitas lokal sudah jadi narasi populis dimana-mana yang menorehkan hidup rakyat sebagai potret orang-orang kalah dari barat Sumatra, utara Kalimantan, selatan Jawa dan timur Papua, bahkan delapan penjuru mata-angin. Meski tetap senyap di kejauhan liputan media dan ditelikung lika-liku birokrasi basi.

Menjadikan Jakarta semata-mata sebagai "barometer" Indonesia hanyalah upaya membelalakkan mata sambil mengenakan kacamata kuda. Sama naifnya dengan beriman bahwa tuhan hanya memberkati orang (yang tinggal di) Jakarta lantas menjual sepetak sawah tersisa, tanah di kampung, bahkan harga diri, demi bermimpi tentang sukses bergelimang harta dan kuasa di Jakarta.

Lantas kampung berubah pesona dari kampung halaman menjadi "kampung salaman" yang hanya riuh saat kawanan pahlawan Jakarta menyerbunya sebagai nostalgia tanpa akar pada tanah-tanah yang makin disesaki mal dan swalayan. Pasar dan pebisnisnya berjingkrak girang-riang karena harga bahan dan tiket pesawat, kereta api, kapal laut, melonjak-lonjak tak terbendung.

Semua demi "kampung salaman". Toh, setidaknya masih tersisa remah-remah cerita: mal itu berdiri di atas tanah milik bapakku, dulu. Atau mendongeng kepada anak-anak bahwa dulu, di atas tanah itu, bapakmu bermain layang-layang sepulang sekolah. Lalu anak-anakmu hanya melirik dan tersenyum kecil sambil melanjutkan keasyikan bercengkerama bersama "mahluk kecil" nan pintar membodohi, bernama smartphone dan gadget.

*Selamat mudik... Hati-hati di jalan ~ 22062016*

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces