Pertama, saya ingin menandai posisi saya. Saya warga kota (ber-KTP) Ambon dan bekerja sebagai guru biasa di Ambon. Saya tidak punya urusan dengan Gubernur DKI dan pilkada DKI Jakarta. Catatan ringkas ini dilandasi maksud membangun dialog pada tataran akademik berkaitan dengan maraknya ujaran-ujaran sektarian yang beredar di media sosial, terutama setelah Buni Yani (selanjutnya: BY) memasang statusnya mengenai “penistaan terhadap agama?” yang menyertai video pidato Gubernur DKI Jakarta. Sebagai orang yang pernah studi di luar negeri (Amerika Serikat dan Belanda), BY pasti sudah akrab dengan tradisi akademik semacam ini.
Sebagai yang demikian maka tautan-tautan yang dicantumkan pada postingan ini hendak dijadikan sebagai data mentah yang secara metodologis perlu dikonfirmasi (jika tidak tepat sasaran) dan diafirmasi (jika sudah tepat sasaran). Dengan sengaja di sini saya tidak menggunakan istilah “verifikasi” dan “falsifikasi” yang dalam telusuran epistemologi sah dipakai sebagai pengukuran analitis. Namun, karena catatan ini lebih bersifat kualitatif maka kedua terma itu tidak saya gunakan, karena ulasan di sini lebih menyangkut interpretasi simbolik bahasa (langue) dan ujaran (parole) ~ demikian untuk meminjam istilah Ferdinand de Saussure.
Titik temu untuk berdialog dengan BY adalah pada simpul identitas “dosen” dan “peneliti”. Sebagaimana akan saya tunjukkan lebih jauh pada salah satu bagian dari tesis masternya di Ohio University tahun 2002 dan juga transkrip wawancara Antaranews dengan BY (10 Oktober 2016 ~ lihat tautan di bawah). Pendakuan identitas dikatakan oleh BY sendiri bahwa dia adalah “dosen dan peneliti” (disebutkan sebanyak 5 kali dalam wawancara dengan Antaranews). Dengan demikian, titik temu itu mengandaikan bahwa dialog ini akan berlangsung pada ranah dimana batasan-batasan metodologis dan epistemologis sangat diperhitungkan dalam mengajukan suatu pernyataan baik dalam bentuk tulisan maupun lisan.
Batasan epistemik tersebut sebenarnya juga telah dipertegas oleh BY dalam tesis masternya di Ohio University Amerika Serikat. Saya kutip halaman 57 alinea ketiga:
“Working as a journalist, I experienced how a report is constructed by the way we interpret or give meaning to reality or an event. An event never stands alone for itself, but it always refers to a meaning outside itself in line with the worldview or attitudes of the interpreter. Reality is not objective in itself, but it is socially constructed (Berger and Luckmann 1967).”
Jadi, jelas sebagai seorang jurnalis dan dosen/peneliti (media), BY menyadari bahwa suatu pemberitaan tidaklah bebas-nilai melainkan selalu dibingkai oleh ideologi pembuat/penulis berita dan kepentingan korporasi/institusi yang mengemas suatu pemberitaan. Dalam konteks BY, pernyataan tersebut berkaitan dengan analisis komparatif yang dilakukannya terhadap pemberitaan konflik Maluku oleh dua koran nasional: Kompas dan Republika.
Jika dihadapkan pada pernyataan BY dalam acara ILC bahwa dia mengaku melakukan kesalahan dalam melakukan transkrip pidato Ahok di Kepulauan Seribu, dengan tidak menulis kata “pakai” sehingga yang terbaca oleh publik adalah “dibohongi Surat Al-Maidah 51” (silakan dengar sendiri rekaman video di bawah), secara metodologis (karena BY adalah jurnalis/dosen/peneliti) sulit menerimanya sebagai “kesalahan yang tidak disengaja”. Tidak sengaja? Menurut BY, transkrip itu ditulis hanya dengan mendengar dari smartphone-nya tanpa menggunakan ear-phone. Bagaimana bisa seorang peneliti komunikasi cum jurnalis tidak menggunakan alat yang memadai dalam pengamatan/pendengarannya yang ditujukan untuk menyatakan “argumentasi”-nya terhadap objek yang diamati/didengarnya? Lantas, dengan ketidakakuratan itu menyampaikan hasil pendapatnya kepada publik? Padahal, jelas secara metodologis suatu hasil pengamatan/observasi memerlukan tahapan klarifikasi internal (
check-recheck) dan eksternal (
reviewing dari analis-analis lain) agar datanya menjadi andal dan sahih untuk digunakan menyatakan opininya.
Namun, dalam transkrip wawancara dengan Antaranews, hal itu tampaknya tidak dilihat sebagai kesalahan karena BY membangun logikanya sendiri. Atas pertanyaan “Kalau menurut anda, apakah anda pantas dipolisikan atas tindakan mengunggah video tersebut?” BY menjawab: “… Coba kita belajar logika sedikit. Mestinya yang dipersoalkan itu adalah orang yang ngomong, yang menyinggung hal-hal sensitif di dalamnya. Tetapi kenapa, orang yang menyebarkannya yang dipersoalkan. Jadi sekarang ini posisi saya itu seolah-olah saya yang salah. Makanya yang saya bilang, logikanya jangan dibalik. Mestinya, isi dalam video itulah yang berbicara sensitif, yang menyinggung orang lain, itulah yang dipersoalkan. Sama sekali tidak masuk akal. Kebetulan saya dosen, mengajar soal UU ITE segala macam…”
Ada dua hal yang perlu disoroti dari jawaban BY:
[1] BY mengajak “kita” untuk belajar logika. Tapi tidak jelas pada premis mayor dan premis minor semacam apakah hingga BY tiba pada silogisme seperti yang dinyatakan pada kalimat berikutnya. Pun dengan demikian sulit menetapkan apakah silogismenya bersifat kategorial, hipotetik atau alternatif. Pada kalimat selanjutnya lebih tergambar BY membingkai argumennya dalam perspektif kausalitas (sebab-akibat).
[2] Perspektif kausalitas (sebab-akibat) yang diajukannya pun tak andal. BY menganggap bahwa pernyataan Gubernur DKI di hadapan publik “mestinya yang dipersoalkan” karena “menyinggung hal-hal sensitif di dalamnya”. Pertanyaannya: “siapa yang mempersoalkannya?” Jelas hanya BY, yang kemudian mengolahnya menjadi sebuah isu pemicu protes di ruang publik media sosial melalui artikulasi “penistaan terhadap agama?” (dengan tanda tanya – yang secara semantik bisa ditafsir sebagai afirmasi). Pidato Gubernur DKI disampaikan secara terbuka di hadapan para pejabat provinsi dan masyarakat audiensi, lalu kemudian rekaman videonya diunggah pada situs resmi pemerintah provinsi DKI. Sebelum BY memasang statusnya tidak ada yang mempersoalkannya apalagi menggugat sebagai penistaan agama. Jika itu “menyinggung hal-hal sensitif” seperti yang dikatakan BY, apakah semua pejabat provinsi dan masyarakat audiensi tuli dan karena itu tidak tersinggung (tidak sensitif?) oleh pernyataan Gubernur DKI saat itu? Dengan perkataan lain, mereka tidak menganggap pernyataan Gubernur DKI sebagai sesuatu yang menistakan keyakinan agama (Islam) mereka. Lagi pula sebegitu pandirnyakah Gubernur DKI – yang berniat mencalonkan diri periode berikut – untuk menyatakan sesuatu yang jelas-jelas akan merugikan rating elektabilitasnya dan juga peluangnya untuk meraup suara di pilkada DKI nanti? Nah, di sini perspektif kausalitas (sebab-akibat) yang diajukan BY mengandung kelemahan argumentatif karena BY tidak jeli – atau tidak mau? – melihat manakah “sebab” dan “akibat” dari persoalan yang kini membesar dan berpotensi ditunggangi oleh berbagai kepentingan politik pragmatis.
Hal lain yang perlu disoroti adalah kelemahan metodologis dalam penarikan inferensi yang menjadi dasar amatannya.
[1] Ini terlihat pada cara kerja BY yang dikatakannya untuk menanggapi pertanyaan “bagaimana kronologi diunggahnya video itu hingga akhirnya menjadi viral?” BY menjawab: “Nah, Kamis malam Jumat, saya pulang habis mengajar, kemudian saya lihat Facebook. Nah, di timeline saya keluar itu video. Wah ini kontroversial sekali, sensitif. Kemudian saya playback berulang-ulang. Lalu saya download, kemudian saya transkrip. Setelah itu saya upload ke Facebook. Kemudian menjadi viral.” Sebagai seorang dosen dan peneliti (terutama di bidang media/komunikasi), suatu informasi tidak bisa diterima begitu saja mentah-mentah. Diperlukan suatu tahapan klarifikasi kepada pihak-pihak yang dianggap berkompeten mengenai isu dalam informasi itu dan/atau langsung kepada pihak yang memberi pernyataan “sensitif” dalam informasi tersebut – dalam hal ini, Gubernur DKI. Sebagai akademisi dan jurnalis, itu bukan hal yang sulit bagi BY. Tapi mengapa BY tidak melakukannya? Hanya BY yang tahu.
[2] Inkonsistensi dan konstruksi opini publik. Tesis S2 BY memperlihatkan bahwa diperlukan suatu kehati-hatian dalam melakukan studi komparasi pemberitaan media terutama mengenai isu-isu primordial seperti agama dan etnisitas dalam konteks kemajemukan masyarakat Indonesia. Sayangnya, paradigma teoretik itu tidak digunakan dalam kasus ini oleh BY yang berprofesi sebagai dosen dan peneliti. Maka yang dihasilkan adalah “prejudice” (prasangka). Padahal, dalam tesisnya BY menggunakan perspektif hermeneutik Gadamer (hlm. 58-59) tentang "prejudice", yang diafirmasi oleh BY dengan pernyataan “The problem of “prejudice” in journalism is embedded in who produces a report” (hlm. 59). Nah, ada soal inkonsistensi kesadaran tetapi juga sekaligus motivasi personal BY untuk melakukan konstruksi opini publik tanpa suatu kajian data yang akurat dan andal.
[3] Video pidato Gubernur DKI saat itu adalah data mentah. Tetapi transkrip BY adalah hasil interpretasi terhadap data tersebut. Sebagai interpretasi, maka faktor-faktor personal, ideologi, keyakinan agama, dan pada derajat tertentu, latar belakang pendidikan, merupakan unsur-unsur determinan dalam memproduksi sebuah interpretasi terhadap realitas. Jika “video” dan “transkrip” dilihat sebagai “teks” maka teks itu punya “konteks”. Video itu punya konteks (milieu dan aktor) yang berbeda dengan konteks transkrip BY tentangnya. Jika unsur determinannya – yang memicunya menjadi viral – adalah keyakinan agama, maka sebagai dosen dan peneliti, BY seyogyanya membuka ruang diskusi dengan pihak-pihak berkompeten dalam bidang agama (Islam) – misalnya dengan MUI atau ulama-ulama lain – sebab konteks pidato Gubernur DKI bukan konteks keagamaan. Dengan cara itu barulah BY tiba pada inferensi apakah ada muatan “penistaan terhadap agama” dalam pidato Gubernur DKI itu. Karena tidak melewati tahapan-tahapan metodologis semacam itu – karena BY mendaku sebagai dosen dan peneliti – maka isu “penistaan terhadap agama” (yang muncul dalam status BY itu) jelas hanya konstruksi opini publik oleh BY tapi tidak menggambarkan sisi-sisi lain yang perlu diterangi dalam penelisikan terhadap apa yang dianggap sebagai realitas itu sendiri.
[4] BY menyatakan: “Sekarang seperti saya mengajar di kelas sama dengan ketika saya membuat status Facebook.” Menggunakan media sosial sebagai ruang pengajaran dan pembelajaran tentu sangat positif. Tetapi media sosial bukan ruang kelas (dalam arti spasial – ruang berdinding empat persegi yang berisi audiensi mahasiswa dengan tingkat nalar yang homogen). Media sosial adalah ruang virtual tak terbatas dengan tingkat heterogenitas audiensi yang sangat tinggi dan kompleks baik pada tataran nalar maupun emosional. Jika untuk mengajar di ruang kelas yang terbatas itu saja seorang dosen membutuhkan persiapan (bacaan yang mumpuni, teknik komunikasi publik, silabus matakuliah yang membatasi tema pembelajaran) apalagi media sosial yang tak terbatas itu. Tanpa persiapan dan kesadaran itu maka niat “mengedukasi masyarakat” (seperti pernyataan BY) menjadi sesuatu yang mubazir bahkan kontra-produktif. Kesadaran yang saya maksud adalah kesadaran akan “moral media” seperti yang dielaborasi oleh Lee Wilkins dan Renita Coleman dalam The Moral Media: How Journalists Reason About Ethics (New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers, 2005).
Catatan ringkas ini adalah catatan dialog akademis. Dengan dialog ini ~ jika direspons oleh BY ~ ada harapan besar kita tidak terperangkap pada asumsi-asumsi datar dengan landasan epistemik yang tipis. Setidaknya ~ meminjam istilah Gaston Bachelard ~ dapat melangkaui "epistemological break".
Referensi:
Crystal, David,
Language and the Internet, Cambridge: Cambridge University Press, 2006.
Webster, Frank,
Theories of the Information Societies, New York: Routledge, 2002.
Wilkins, Lee and Coleman, Renita,
The Moral Media: How Journalists Reason About Ethics, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers, 2005.
Yani, Buni,
Reporting The Maluku Sectarian Conflict: The Politics of Editorship in Kompas and Republika Dailies. Thesis MA: Ohio University 2002.