Di Malaysia, dikenal istilah "masuk Melayu" yang menandai konstruksi identitas kemelayuan sebagai fenomena kontestasi identitas etnis dan identitas agama yang berkelindan. Jadi, "masuk Melayu" juga berarti "menjadi seorang Muslim". Tidak perduli berasal dari etnis apa, ketika seseorang menjadi Muslim maka tetap disebut "masuk Melayu". Secara historis, "Melayu" sebenarnya merujuk pada konteks pra-kolonial kesultanan Melaka. Ketika sultan memeluk Islam sebagai agama istana, itu kemudian diikuti oleh rakyatnya sebagai tanda kesetiaan kepada sultan. Sejak itulah "masuk Melayu" sekaligus berarti "masuk Islam" (atau menjadi Muslim).
Pada masa kolonial, "masuk Melayu" dikonstruksikan secara politis untuk mengidentifikasi keberbedaan antara kaum "putih" (Eropa) dan kaum "berwarna" (masyarakat terjajah atau non-Eropa). Kaum kolonialis menciptakan mekanisme pembelahan sosial sedemikian rupa sebagai strategi hegemoni sosial-politik untuk menundukkan masyarakat setempat berdasarkan pemahaman budaya mereka (lokal).
Pada masa kolonial ini pula, konsep "masuk Melayu" mengalami pergeseran makna seturut dengan kepentingan politik kaum kolonialis. Jika di belahan barat Indonesia, "masuk Melayu" berarti menjadi Muslim, maka di belahan timur Indonesia ~ seperti kepulauan Maluku ~ "masuk Melayu" berarti menjadi Kristen. Karena kaum kolonialis (Belanda) mengintroduksi sistem pendidikan dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar (terutama untuk kalangan rakyat jelata), demikian pula dalam memperkenalkan Kekristenan. Sekolah dan Gereja pada masa kolonial merupakan agen-agen utama proliferasi kemelayuan yang tegas berbeda dengan kaum elite borjuis kolonialis, sekaligus mengasingkan masyarakat setempat dari bahasa ibunya.
Jadi, secara antropologis dan historis, "masuk Melayu" kemudian bisa dipahami sekaligus sebagai "menjadi Islam" dan "menjadi Kristen" dalam kebhinekaan budaya Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Dengan perspektif itu pula kemelayuan Islam dan kemelayuan Kristen merupakan hasil fabrikasi identitas yang mengikuti siapa yang berkuasa, sehingga memang sulit untuk menceraikan agama dan politik dalam pandangan dunia masyarakat Asia Tenggara.
Dalam konteks semacam itu, pandangan mayoritas-minoritas hanyalah pembedaan demi kepentingan kekuasaan (politik-ekonomi) tapi bukan representasi identitas bersama. Entah Islam atau Kristen, apapun latar etnisnya, kita sama-sama "orang Melayu". Dalam dialek Ambon, "katorang samua basudara" (kita semua bersaudara).
Aku menulis maka aku belajar
Friday, November 11, 2016
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment